Kandidat dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 dinilai tidak serius dan tidak jujur melaporkan dana kampanyenya. Dana yang dilaporkan tidak masuk akal, mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 1 juta. Badan Pengawas Pemilu didorong agar intens mengawasi pelaporan dan penggunaan dana kampanye, serta berani menindak ketika ada manipulasi dana kampanye.
Berdasarkan data yang diunggah di laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), infopemilu2.kpu.go.id, sebanyak 715 pasangan calon kepala/wakil kepala daerah sudah menyampaikan laporan awal dana kampanye (LADK) hingga Selasa (29/9/2020) malam. Meski demikian, dari laporan yang masuk, banyak pasangan calon yang mengisi LADK sangat rendah dibandingkan dengan batas pengeluaran dana kampanye yang dibolehkan.
Calon bupati dan wakil bupati Kepulauan Konawe, Musdar dan Ilham Jaya, misalnya, hanya melaporkan Rp 100.000 dari limit pengeluaran Rp 3,1 miliar. Bahkan, calon bupati dan wakil bupati Kepahiang, Ujang Syaripudin-Firdaus Jaelani, hanya menyampaikan LADK Rp 50.000. Sementara calon bupati dan wakil bupati Pegunungan Arfak, Yosias Saroy dan Marinus Mandacan, melaporkan LADK sebesar nol rupiah,
Di luar itu, masih banyak yang melaporkan penerimaan LADK sangat minim mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 1 juta.
Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, jika ditemukan penerimaan LADK masih nol rupiah, ada dua kemungkinan. Pertama, pasangan calon tersebut memang belum memiliki dana awal kampanye. Kedua, pasangan calon tidak melaporkan sama sekali dana awal kampanyenya.
”Kalau dia sampai tidak melaporkan (LADK), tentu dia melanggar ketentuan. Cuma, kan, nanti dengan diumumkan oleh KPU, publik bisa menilai apakah mungkin aktivitas pilkada yang ada kegiatan kampanyenya dan lain-lain, tetapi laporan awal dana kampanye nol atau kecil nilainya,” jelasnya.
Penyerahan LADK dimulai Jumat (25/9/2020) dan diumumkan sehari setelahnya. Tahapan selanjutnya, penyerahan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) pada 31 Oktober.
Raka mendorong agar pasangan calon mengedepankan transparasi dan akuntabilitas dalam pelaporan dana kampanye. Sebab, publik tidak bisa dibohongi. Aktivitas kampanye, misalnya, bukan suatu hal yang murah.
”Tentu kami mendorong semua pihak, termasuk pasangan calon dan tim kampanye, untuk melaporkan dana kampanye sesuai dengan kenyataan sehingga kita semua ini bisa mematuhi aturan dan rasional di dalam pelaksanaannya,” ucap Raka.
Pengawasan
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, mengatakan, Bawaslu akan terus mengawasi perkembangan pelaporan dana awal kampanye. Diharapkan pelaporan sesuai dengan penerimaan dan pengeluaran riil oleh pasangan calon selama masa kampanye. Masa kampanye pilkada serentak 2020 dimulai 26 September hingga 5 Desember.
”Laporan awal dana kampanye yang masih kecil itu kemungkinan karena ada kewajiban membuka di awal. Nanti akan dilihat lagi perkembangannya apakah realistis dengan biaya penerimaan dan pengeluaran. Kami berharap semuanya patuh pada pelaporan dana kampanye,” ujar Fritz.
Untuk saat ini, Bawaslu lebih memfokuskan pengawasan pada rekening khusus dana kampanye. Sebab, berkaca pada pemilihan sebelumnya, masih banyak calon yang menerima dan mengeluarkan dana kampanye melalui rekening pribadi.
”Pada tahap awal ini, obyek pengawasan Bawaslu masih sebatas apakah rekening sudah dibuka atau belum. Belum sampai pada jumlah nominal yang dilaporkan,” ujar Fritz.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap dana kampanye, Bawaslu tetap bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Kerja sama difokuskan pada peningkatan penerimaan dana di rekening pribadi pasangan calon. Penerimaan di rekening pribadi itu akan dibandingkan dengan penerimaan di rekening khusus dana kampanye. Jika jumlah penerimaan di rekening pribadi berbeda jauh dengan yang ada dalam rekening khusus dana kampanye, patut diduga ada manipulasi dana kampanye.
Kerja sama dengan PPATK juga untuk mengawasi penerimaan dana kampanye calon dari donatur. Sumbangan dari donatur diingatkan Fritz tak boleh melebihi batas maksimal seperti ditetapkan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Dana Kampanye Peserta Pilkada.
Tidak jujur
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan, nominal pelaporan yang relatif sangat kecil bahkan nol menunjukkan bahwa pasangan calon masih tidak serius dan tidak jujur dalam melaporkan LADK. Ini potret yang terus berulang dalam setiap kali penyelenggaraan pilkada.
Padahal, jika mereka sadar, LADK dapat menjadi proteksi awal agar terlindung dari potensi korupsi politik. Sebab, sumber uang mereka dibuka dengan akuntabilitas yang transparan kepada publik.
”Ini adalah modal penting dalam kepemimpinan demokrasi,” tambahnya.
Menurut Fadli, PKPU No 12/2020 sudah cukup untuk mengatur perihal dana kampanye. Bawaslu dapat berperan aktif menelusuri kebenaran laporan dana kampanye tersebut. Penelusuran itu bisa dimulai dari komparasi aktivitas awal sebelum yang bersangkutan menjadi pasangan calon.
”Bawaslu dapat lebih berfokus mengawasi laporan awal dana kampanye dan melakukan hal-hal strategis untuk mengawasi kampanye, seperti menindak mereka yang terbukti memanipulasi dana kampanye,” ujar Fadli. (NIKOLAUS HARBOWO/DIAN DEWI PURNAMASARI)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 30 September 2020 di halaman 2 dengan judul “Pelaporan Dana Kampanye Tak Serius”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/30/pelaporan-dana-kampanye-tak-serius/