Pelaporan sumbangan dana kampanye pada Pilkada Serentak 2020 belum dilakukan secara serius oleh pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah. Pelaporan relatif hanya untuk memenuhi syarat administrasi semata. Padahal, laporan dana kampanye yang akurat, selain menjadi bentuk transparansi dan akuntabilitas pasangan calon, sekaligus juga untuk mencegah praktik politik uang dan mencegah korupsi politik.
Relasi antara korupsi politik dan pendanaan kampanye berkali-kali diperingatkan pemangku kepentingan pemilu dan pemberantasan korupsi. Hasil analisis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, sering kali kekayaan pasangan calon tidak cukup untuk pendanaan pilkada sehingga mereka memanfaatkan donasi dari pihak lain, terutama pengusaha. Sementara donatur berharap mendapat imbalan proyek setelah calon terpilih (Kompas, 11/11/2020).
Terkait pendanaan pilkada, kandidat kepala daerah-wakil kepala daerah punya tiga kewajiban pelaporan dana kampanye. Kewajiban itu ialah laporan awal dana kampanye (LADK) di awal masa kampanye Pilkada 2020 (26 September), laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) di pertengahan kampanye (31 Oktober), serta laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) di akhir masa kampanye (6 Desember).
Hasil olah data laporan dana kampanye yang diambil dari laman daring Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu (11/11/2020) menunjukkan dari 739 pasangan calon, ada 31 pasangan yang melaporkan LADK nol rupiah. Kemudian pada LPSDK, sebanyak 35 pasangan calon (4,7 persen) melaporkan penerimaan sumbangan dana kampanye nol rupiah.
Pasangan kandidat yang melaporkan LPSDK nol rupiah itu terdiri dari dua pasangan yang berkontestasi di tingkat provinsi, 23 pasangan calon di tingkat kabupaten, dan 10 pasangan di tingkat kota. Dari 35 pasangan calon yang melaporkan LPSDK nol rupiah, sembilan di antaranya merupakan petahana.
Adapun LPSDK memuat penerimaan sumbangan dari pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik, sumbangan pihak lain perseorangan, sumbangan pihak lain kelompok, serta sumbangan pihak lain badan hukum swasta. Sumbangan bisa berbentuk uang, barang, dan jasa. UU Pilkada membatasi nominal sumbangan kampanye dari perseorangan maksimal Rp 75 juta, sedangkan dari partai politik, kelompok, dan atau badan hukum swasta maksimal Rp 750 juta.
Pelaporan LPSDK nol rupiah tidak hanya terjadi pada Pilkada 2020. Pada Pilkada 2018, ada empat pasangan calon yang juga melaporkan sumbangan dana kampanye nol rupiah (Kompas, 30/4/2018).
Memutus rantai korupsi
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menegaskan, pelaporan dana kampanye dengan jujur menjadi bukti transparansi yang dapat dipertanggungjawabkan kelak ketika calon kepala daerah terpilih. ”Jika transparan, jujur, dan akuntabel, bukan saja memutus mata rantai korupsi, tapi sang cakada (calon kepala daerah) akan memimpin dengan tenang dan fokus pada kesejahteraan masyarakatnya,” kata Lili.
Karena itu, dia berharap, calon kepala daerah sadar untuk tidak bermain-main demi meraih suara. Namun, kata Lili, laporan penerimaan sumbangan dana kampanye belum tentu tidak jujur, kecuali laporan tersebut sudah ditelaah dan dilakukan investigasi mendalam dengan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang disampaikan saat mendaftar serta dengan pengeluaran dana pilkada.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding menambahkan, jika benar ada puluhan pasangan calon kepala daerah melaporkan penerimaan sumbangan dana kampanye nol rupiah, hal ini menunjukkan pelaporan dana kampanye belum sepenuhnya mencerminkan realitas dari penerimaan dan pengeluaran dana kampanye peserta pilkada.
Hal itu juga terkonfirmasi dari studi benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada berdasarkan survei dan wawancara terhadap 198 responden bekas kandidat pada 2018. KPK menemukan terdapat indikasi LPPDK, LPSDK, dan LHKPN tak dilaporkan secara benar dan tepat. Sebanyak 39 responden mengaku mengeluarkan dana pribadi melebihi biaya yang tercantum di LPPDK.
KPK berharap, kata Ipi, pasangan calon berkomitmen menjaga akuntabilitas dengan menyampaikan laporan yang sebenarnya. Sebab, dari survei yang sama, KPK juga mendapatkan kecenderungan bahwa rata-rata harta pasangan calon tidak mencukupi untuk membiayai kampanye sehingga kandidat mencari sumber pendanaan lain.
Persoalan administrasi
Salah satu kandidat yang melaporkan penerimaan sumbangan dana kampanye nol rupiah, Lalu Makmur Said, di Mataram, mengatakan, pihaknya sebenarnya menerima sumbangan alat peraga kampanye. Namun, sumbangan itu tidak dimasukkan dalam LPSDK karena masalah administrasi.
”Sekarang ada lebih dari 150 sumbangan yang masuk. Kami akan laporkan agar tak mendapat teguran dari KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu),” kata Lalu yang merupakan calon wali kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Saat dihubungi, anggota KPU, Ilham Saputra, mengatakan, LPSDK nol rupiah menunjukkan memang tidak ada penerimaan sumbangan, baik berupa uang, barang dan jasa. KPU sudah melakukan pengecekan di Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam) terkait laporan tersebut. Penyebab lain, menurut dia, pasangan calon menggunakan sumbangan yang diterima di LADK untuk kebutuhan kampanye di masa periode LPSDK sehingga penerimaan sumbangan nol rupiah.
”Pelaporan sumbangan para kandidat akan diketahui secara detail, transparan, dan patuh pada saat audit dana kampanye oleh kantor akuntan publik,” ujar Ilham.
Terkait hal itu, anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengingatkan agar pasangan paslon dan tim pemenangan mencatat dengan baik seluruh pemasukan dan pengeluaran kampanye. Dengan banyaknya kampanye tatap muka atau pertemuan terbatas, kelengkapan dokumen menjadi lebih banyak, seperti pengeluaran untuk konsumsi, bahan kampanye, pengganti transportasi, penyewaan alat, dan kebutuhan pendukung lainnya.
”Selain memudahkan pelaporan, hal itu juga penting untuk transparansi laporan akhir dana kampanye, yaitu LPPDK,” katanya.
Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, mempertanyakan anggaran yang digunakan pasangan calon untuk berkampanye jika dana yang dilaporkan ke KPU sangat rendah. Di masa pandemi Covid-19, kampanye ternyata masih didominasi metode kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas. Metode itu memerlukan biaya yang cukup besar.
Dengan demikian, menurut dia, sangat kecil kemungkinannya kandidat tidak mendapatkan sumbangan dari pihak lain. Jika ada kandidat yang melaporkan tidak ada sumbangan dana kampanye, maka transparansi dan kepatuhan terhadap peraturan patut dipertanyakan.
”Pemilih bisa mencermati laporan dana kampanye untuk melihat komitmen transparansi, akuntabilitas, kejujuran, dan sikap antikorupsi paslon (pasangan calon),” katanya.
Menurut dia, terulangnya LPSDK nol rupiah setidaknya dalam dua kali penyelenggaraan pilkada serentak disebabkan aturan yang lemah. Laporan dana kampanye hanya dianggap sebagai formalitas sehingga pasangan calon terkesan menyepelekan kewajiban tersebut.
Periksa kondisi riil
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, Bawaslu perlu melakukan pengecekan dana kampanye pasangan calon. Bawaslu bisa membandingkan penerimaan dana kampanye dengan aktivitas kampanye yang dilakukan kandidat. Beberapa indikator yang bisa digunakan antara lain kegiatan kampanye, alat peraga kampanye, dan bahan kampanye yang dibagikan kepada pemilih.
”Penyelenggara tidak bisa menutup mata jika melihat sumbangan dana kampanye dengan aktivitas kampanye yang sudah dilakukan,” katanya.
Pengecekan masih sangat diperlukan karena komitmen pasangan calon untuk membuat laporan dana kampanye yang transparan dan akuntabel masih rendah. Laporan dana kampanye, menurut dia, sekadar hanya menjadi formalitas tanggung jawab sebagai pasangan calon tanpa menjunjung nilai-nilai kejujuran.
Menurut dia, pelaporan dana kampanye masih sebatas formalitas. Aturan yang ada hanya mengukur kepatuhan pasangan calon tentang ketepatan waktu pelaporan dan jumlah maksimal sumbangan dana kampanye. Prinsip transparansi dan akuntabilitas belum sepenuhnya hadir dalam tahapan ini.
”Salah satu masalah dalam pemerintahan daerah adalah tingkat korupsi yang tinggi, dan saya yakin hulunya adalah ketidakjujuran dalam pelaporan dana kampanye,” ucap Titi. (SYA/ZAK/PDS)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 12 November 2020 di halaman 2 dengan judul “Pelaporan Sumbangan Tidak Serius”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/11/12/pelaporan-sumbangan-kampanye-pilkada-tidak-serius/