Cherian George, guru besar studi media pada Departemen Jurnalisme di Hong Kong Baptist University, sekaligus direktur Pusat Riset Media dan Komunikasi, meluncurkan buku berjudul “Hate Spin: the Manufacture of Religious Offense and Its Threat for Democracy” pada akhir tahun 2016. Buku ini memotret fenomena global komodifikasi ujaran kebencian berbasis agama oleh broker-broker politik di tiga negara, yakni Amerika Serikat (AS) , India, dan Indonesia. Sontak, karena relevansinya, buku ini segera diterjemahkan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Paramadina.
Secara garis besar, buku yang dalam Bahasa Indonesia berjudul “Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi” ini menggambarkan cara kerja politisasi atau pelintiran kebencian yang digunakan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan kepala negara. Sebagai hasilnya, pelintiran kebencian menjadi mesin politik yang tak hanya mempengaruhi cara kerja demokrasi, melainkan menimbulkan dilema demokrasi dan dipercaya dapat membusukkan demokrasi secara perlahan tapi pasti.
Amerika, India, Indonesia, tiga negara dengan agama mayoritas
Pelintiran ujaran kebencian menjadi fenomena di tiga negara yang memiliki agama mayoritas. Di Amerika, meskipun karakter masyarakatnya sekuler, tetapi nilai-nilai agama Kristen mewarnai mayoritas penduduk. Di India, agama Hindu merupakan agama yang dianut oleh populasi terbesar. Di Indonesia, komposisi umat Muslim lebih dari 69 persen.
Cherian menuliskan bahwa agama mayoritas dimainkan di ketiga negara menjelang dan pada saat berlangsungnya tahun politik untuk memanen suara kepada salah satu pasangan calon (paslon). Ketersinggungan mayoritas terhadap agamanya dikapitalisasi dan narasi solidaritas keumatan direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan politik segelintir golongan.
Ragam narasi kebencian yang dipolitisasi
Di Amerika, politisasi kebencian memanfaatkan kasus 9/11 di Ground Zero yang telah terjadi enam belas tahun yang lalu. Pada kampanye Donald Trump, rencana umat Muslim Amerika untuk membangun Islamic Center, yang sebenarnya telah diwacanakan sebelum peristiwa 9/11 terjadi, diserang dengan ujaran dan kampanye kebencian. Para pendukung Trump memojokkan Muslim Amerika dengan mengatakan tak boleh ada Islamic Center di Ground Zero sebab tempat tersebut merupakan forensik kekerasan yang dilakukan umat Muslim atas nama jihad.
Kemudian, di India, partai nasionalis Hindu konservatif, Bharatiya Janata Party (BJP), memenangkan pemilu legislatif (pileg) secara telak setelah memainkan pelintiran kebencian. BJP, partai Perdana Menteri Narendra Modi, menggunakan sentimen mayoritas terhadap Muslim India untuk menyatukan suara seluruh penganut Hindu agar memilih Modi dan BJP.
“Jadi, penganut Hindu yang sekuler, yang taat, yang liberal, semuanya dimobilisasi dengan pelintiran kebencian tadi agar memilih Modi dan BJP. Permainan ini berhasil sehingga untuk pertama kalinya, BJP menang besar dan tidak perlu membentuk koalisi dengan partai lain untuk membentuk parlemen,” kata Direktur PUSAD Universitas Paramadina, Ihsan Ali Fauzi, yang mengkoordinatori penerjemahan buku Cherian, pada acara peluncuran buku tersebut di D Lab, Menteng, Jakarta Pusat (21/12).
Salah satu konspirasi yang diekspos oleh Cherian yakni, penggiringan opini publik bahwa pria Muslim tampan bertugas mendakwahi perempuan Hindu untuk mengkonversi agamanya kepada Islam dan menjadikan mereka istri keempat. Narasi yang dikemas, “Hati-hati dengan orang Islam India.” Muslim di India menjadi kambing hitam dalam kepentingan politik penyatuan suara umat Hindu.
Di Indonesia, khususnya pada Pilkada DKI Jakarta 2017, pelintiran kebencian menjadi mesin politik di tengah sengitnya rivalitas kontestasi dan tingginya persaingan antar organisasi masyarakat (ormas). Ihsan menyatakan bahwa dirinya tak heran terhadap fenomena yang terjadi di Jakarta, sebab berdasarkan studi yang dilakukan di empat kota, termasuk Medan dan Surabaya, “politik hitam” seringkali dimainkan apabila terdapat ormas yang bersaing dan kontestasi paslon kepala daerah cukup sengit.
“Ormas-ormas akan dipakai kalau pilkadanya sangat kompetitif. Tapi sebenarnya, ketika kita interview orang-orang parpol (partai politik), mereka bilang kalau tidak harus menggunakan kekuatan jalanan, mereka gak akan menggunakan sebab lebih banyak mudharatnya,” jelas Ihsan.
Hasutan, rekayasa ketersinggungan
Kembali pada Cherian. Menurut mantan jurnalis The Straits Time ini, pelintiran kebencian merupakan bombardiran hasutan yang merakayasa ketersinggungan. Biasanya, ada jeda antara kasus aktual dengan pengaduan, sesuai dengan adanya kepentingan strategis segelintir kelompok yang hendak memanfaatkan peluang.
Hasutan ini, kata Cherian, mengincar minoritas atau kelompok rentan sebagai korbannya. Di berbagai kasus, kelompok yang lebih lemah atau kalah kuat dengan mayoritas selalu menjadi objek pelintiran kebencian. Ironisnya, polisi ragu-ragu mengambil tindakan karena takut akan opini publik yang digulirkan oleh tokoh-tokoh mayoritas.
Pelintiran kebencian jadi trend berbahaya di Indonesia
Pemimpin redaksi The Jakarta Post, Endy M. Bayuni, berpendapat bahwa cara kerja pelintiran kebencian telah ditiru oleh pelaku lain. Di Indonesia, kasus persekusi terhadap Ustad Somad oleh kelompok Hindu garis keras di Bali menjadi contoh paling dekat.
“Mereka menggunakan cara yang sama (seperti yang dilakukan oleh pelaku pelintiran kebencian di Pilkada DKI Jakarta). Inilah kenapa hate spin menciderai demokrasi,” ujar Endy di acara yang sama.
Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menilai pemerintah dan aparat penegak hukum mesti cerdas dan tepat menangani tren pelintiran kebencian yang mungkin akan semakin banyak terjadi di negeri ini, mengingat Indonesia memasuki tahun-tahun politik. Kuncinya, pemerintah dan aparat harus berpijak pada perlindungan konstitusi setiap warga negara, tak mengambil jalan pintas menghindari amarah warga, dan menyelesaikan melalui cara-cara demokratis.
“Jadi, ketika misalnya ada diskusi yang diadakan oleh minoritas di suatu daerah yang mendiskusikan hal yang berlawanan dengan pandangan mayoritas di sana, polisi harusnya melindungi hak warga negara yang melakukan diskusi itu, bukan justru membubarkan diskusi karena ingin menghindari kemarahan warga,” ujar Alissa.
Pemerintah dan aparat harus bahu-membahu memenangkan isi kepala masyarakat. Mengganti pemahaman eksklusivisme beragama masyarakat vis a vis demokrasi salah kaprah dengan pemahaman bahwa demokrasi adalah inklusifitas dan tak semata-mata soal kuasa mayoritas.
Demokrasi akan membusuk jika pemerintah dan aparat tak memiliki pemahaman yang benar dalam menyelesaikan kasus-kasus pelintiran kebencian. Separah apapun perbuatan kolektif non demokratis harus ditangani dengan cara yang demokratis. Kekerasan dan pembubaran tak pernah dapat menyelesaikan masalah, jika memperhatikan sejarah.
Media dan pemulihan demokrasi
Maraknya pelintiran kebencian telah merongrong demokrasi yang sehat. Demokrasi dimaknai sebatas sebuah sistem majoritarian yang tak mengindahkan kehadiran atau suara-suara minoritas. Gus Dur pernah mengatakan, “Kebenaran dan keadilan tak bisa ditentukan dengan voting”.
Pelintiran kebencian telah membelah masyarakat Jakarta pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya, menjadi dua kutub. Hal ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia yang usianya terbilang lebih muda dari demokrasi di Amerika dan India. Ia menajamkan dualisme mayoritas-minoritas dan memperuncing politik identitas yang semakin jauh dari inklusifitas. Demokrasi dalam ancaman kejahatan politis, jika meminjam istilah Alissa.
Sebagai tawaran solusi, Cherian, juga Endy, menekankan pada pemanfaatan media untuk melawan semua bentuk pelintiran kebencian Media independen non partisan harus diperbanyak dan didukung. Pemerintah harus meminta komitmen pemilik media arus utama untuk berkontribusi membangun iklim demokrasi yang sehat, yang tak semata-mata mengutamakan kepentingan komersil.
“Media itu sebenarnya punya andil besar. Tapi kalau media komersial, terhadap hal yang seharusnya tidak perlu diberitakan, tetap diberitakan karena yang begitu itu banyak dibaca orang. Jadi, harus ada media yang bebas dan independen, yang memungkinkan jurnalisnya bekerja untuk kepentingan publik,” tegas Endy.
Media, di tengah kemajuan teknologi dimana hampir setiap orang, terutama di kota-kota, memiliki akses kepada internet, harus menunjukan budi baiknya terhadap demokrasi. Dengan klik, konten media punya tugas untuk memenangkan isi kepala masyarakat untuk meninggalkan ekslkusivisme beragama, dan “tak membeli” barang ilegal politik kebencian yang diperdagangkan mafia-mafia demokrasi.
“Jika di Indonesia yang minstream adalah yang toleran, berarti yang anti mainstream adalah yang intoleran. Jika sebaliknya, berarti yang anti mainstream adalah yang toleran. Hati-hati! Yang bisa membalikkan status quo adalah yang anti mainstream,” kata Alissa.
Seorang filsuf Denmark, Soren Kierkegaard, mengingatkan pada abad ke-19 bahwa masyarakat harus hati-hati terhadap pendapat yang digadang-gadang sebagai pendapat mayoritas atau pendapat umum. Individu harus berpikir, siapa yang mengumpulkan pendapat individu per individu sehinga merumuskannya sebagai pendapat mayoritas, siapa yang memiliki kepentingan, dan kenapa dirinya harus terbawa pada masifikasi pendapat tersebut.