Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum, Rabu (13/1/2021), menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Arief Budiman sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum. DKPP menilai Arief melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu terkait pengaktifan kembali Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU.
Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) itu mengisyaratkan adanya desain hubungan kelembagaan antara KPU dan DKPP yang perlu dibenahi oleh pembuat undang-undang.
Dalam sidang perkara nomor 123-PKE-DKPP/X/2020, lima dari tujuh anggota majelis DKPP menilai Arief terbukti melanggar Pasal 14 Huruf c juncto Pasal 15 Huruf a dan juncto Pasal 19 Huruf c dan e Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Adapun satu anggota DKPP menyatakan abstain dan satu anggota lainnya menyatakan pendapat berbeda.
Arief sebelumnya diadukan kepada DKPP karena menemani anggota KPU non-aktif Evi Novida Ginting saat Evi mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait pemberhentiannya oleh DKPP pada 18 Maret 2020. Arief juga diadukan karena membuat keputusan yang diduga melampaui kewenangannya, yakni menerbitkan surat KPU RI Nomor 663/SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020 tanggal 18 Agustus 2020 yang meminta Evi kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai anggota KPU.
”Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan Ketua KPU kepada teradu Arief Budiman selaku Ketua KPU sejak putusan ini dibacakan,” kata Ketua Majelis DKPP Muhammad.
Saat dihubungi seusai sidang, Arief mengaku belum menentukan langkah hukum selanjutnya. Dia masih menunggu salinan putusan dari DKPP sebelum mengambil sikap. ”Saya tidak pernah melakukan pelanggaran dan kejahatan yang mencederai integritas pemilu,” katanya.
Desain kelembagaan
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, menilai putusan DKPP itu menunjukkan ada desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang perlu dibereskan pembuat undang-undang.
Sebab pangkal soal putusan DKPP ini adalah perkara Evi Novida Ginting, dimana putusan DKPP yang memberhentikan Evi dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena dinilai diputuskan dengan melanggar prosedur. Sehingga putusan ini tidak lepas dari persoalan yang timbul akibat relasi kelembagaan antara KPU dan DKPP yang problematik.
“Padahal menyelenggarakan pemilu Indonesia yang besar dan kompleks ini diperlukan kelembagaan penyelenggara pemilu yang bisa menopang penyelenggaraan pemilu secara tertib, profesional, dan berintegritas. Sementara desain yang ada saat ini menimbulkan rivalitas antar penyelenggara dimana ada hegemoni kelembagaan yang coba ditunjukkan oleh suatu lembaga atas lembaga lain,” katanya.
Menurut Titi, desain kelembagaan harus didesain menjaga kemandirian dan integritas lembaga penyelenggara pemilu. Mekanimse internal bisa jadi pilihan sepanjang disertai mekanisme kerja yang jelas dan desain kewenangan yang tegas. “Jangan sampai bekerja dibayang-bayangi ketakutan dan ancaman pemecatan,” tuturnya.
Namun selama ini mekanisme internal tidak dipilih karena dianggap prosesnya tidak akuntabel dan cenderung mengedepankan semangat kebersamaan. Padahal hal itu bisa dicegah dengan skema pengawasan internal yang kuat dan solid.
“Pak Arief bisa mengambil upaya hukum ke PTUN, namun harus menunggu keputusan pemberhentian sebagai ketua dari rapat pleno KPU. Jadi yang diuji di PTUN keputusan KPU, bukan putusan DKPP. Sudah ada preseden soal ini, seperti kasus Evi,” tutur Titi.
Sementara itu, pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity sekaligus anggota KPU 2012-2017, Hadar Nafis Gumay, menyatakan prihatin dengan putusan yang menimpa Arief. Putusan tersebut menambah putusan pelanggaran etika terhadap penyelenggara pemilu. Atas putusan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan melakukan evaluasi dan tetap bekerja lebih baik lagi.
“Saya berharap Pak Arief menghormati putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat,” ujarnya.
Adapun, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai, putusan DKPP tersebut menjadi puncak gunung es dalam hal etika penyelenggara pemilu. Hal itu dikhawatirkan berdampak pada kepercayaan publik terhadap perilaku para penyelenggara pemilu. Apalagi, pelanggaran etika tidak hanya terjadi di KPU pusat, melainkan di daerah.
“KPU sebagai penyelenggara pemilu yang melahirkan pemimpin-pemimpin yang menduduki jabatan publik seharusnya memiliki etika yang lebih tinggi dibandingkan yang lain,” katanya.
Tidak menghormati DKPP
Anggota Majelis DKPP, Didik Supriyanto, mengatakan, DKPP sangat memahami ikatan emosional Teradu dengan Evi Novida Ginting Manik yang merintis karier sebagai penyelenggara pemilu dari bawah hingga menjadi komisioner di KPU RI untuk periode 2017-2022. Namun, ikatan emosional sepatutnya tidak menutup atau mematikan sense of ethic dalam menjalani aktivitas individual yang bersifat pribadi.
Seharusnya, lanjut dia, Arief dapat menempatkan diri pada waktu dan tempat yang tepat di ruang publik dan tidak terjebak dalam tindakan yang bersifat personal dan emosional yang menyeret lembaga dan berimplikasi pada kesan pembangkangan dan tidak menghormati putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat.
Majelis juga menilai Arief tanpa dasar hukum meminta Evi kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai anggota KPU RI melalui Surat Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020. Surat yang dikeluarkan tersebut mengacu pada Surat Kementerian Sekretariat Negara RI Nomor B.210.
“Tindakan Teradu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang, baik dalam kategori melampaui kewenangan di luar ketentuan hukum baik kategori mencampuradukan kewenangan di luar materi kewenangan,” kata Didik.
Anggota DKPP, Ida Budhiati, menambahkan Arief sama sekali tidak memiliki dasar hukum maupun etik memerintahkan Evi aktif kembali sebagai anggota KPU RI. Menurut hukum dan etika, Evi dinilai tidak lagi memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilu setelah diberhentikan berdasarkan Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.
“Bahwa pengaktifan kembali menurut Teradu dibuat atas dasar keputusan bersama secara collective collegial. Tetapi pernyataan tersebut tidak didukung dengan alat bukti yang cukup berupa dokumen Berita Acara Rapat Pleno atau alat bukti lainnya, sehingga keputusan tersebut menurut DKPP merupakan tindakan sepihak Teradu tanpa melibatkan atau sepengetahuan anggota lainnya,” kata Ida.
Sementara itu, anggota DKPP, Mochammad Afifuddin, bersikap abstain. Sedangkan anggota lainnya, Pramono Ubaid Tanthowi, memberikan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Menurut Pramono, Arief membubuhkan tanda tangan dalam surat 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020 dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPU RI bukan atas nama pribadi. Tindakan itu juga dinilai tidak termasuk pelanggaran berat yang mencederai integritas proses atau integritas hasil-hasil pemilu.
“Teradu tidak memiliki niat jahat untuk memanipulasi proses atau hasil pemilu atau pilkada,” ujarnya. (RINI KUSTIASIH/IQBAL BASYARI)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 13 Januari 2021 di halaman 1 dengan judul “Pemberhentian Arief Budiman Menjadi Evaluasi Kelembagaan”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/14/pemberhentian-arief-budiman-menjadi-evaluasi-kelembagaan/