19 lembaga masyarakat sipil mengadakan pekan konferensi pers proyeksi atas Indonesia lima tahun ke depan. Pada salah satu tema, yakni demokrasi, masyarakat sipil yang tergabung menilai pemerintahan hasil Pemilu 2019 merupakan buah dari regulasi politik yang oligarkis. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) misalnya, melalui Direkturnya, Asfinawati, mengatakan pemerintahan hasil Pemilu 2019 sebagai cermin konsolidasi oligarki masa Orde Baru dan Reformasi. Alih-alih Pemilu 2019 membuahkan oposisi yang baik bagi iklim demokrasi, oligarki yang memegang kendali atas partai-partai politik peserta pemilu justru bersatu berbagi kuasa.
“Syarat menjadi peserta pemilu, itu mahal sekali. Kawan dari KoDe (Konstitusi dan Demokrasi) Inisiatif, kalau tidak salah, pernah mengatakan kalau untuk materainya saja, sebagai syarat menjadi peserta pemilu, itu 500 juta rupiah. Nah itu uang siapa yang bisa membiayai kalau bukan oligarki. Jadi, oligarki sudah melakukan konsolidasi yang sangat solid. Ada banyak partai sekarang, tapi tiba-tiba sepakat memilih satu orang,” tandas Asfinawati pada konferensi pers “Habis Gelap Terbitlah Kelam” di Gondangdia, Jakarta Pusat (15/10).
Senada dengan YLBHI, Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menilai anggota parlemen hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 tak cukup berkualitas. Pasalnya, calon legislatif terpilih tak berasal dari sistem rekrutmen dan proses kaderisasi partai yang demokratis.
“Dari proses Pemilu, tidak memberikan anggota parlemen yang berkualitas. Dari sisi rekrutmen anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) saja, di partai politik, proses kaderisasi dan rekrutmen masih sangat lemah. Partai lebih banyak ambil yang sudah popuer, anak pejabat, isteri pejabat,” kata Direktur Kopel, Anwar Razak.
Menyoroti hasil Pemilu 2019, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak partai politik untuk melakukan reformasi terhadap institusi partai politik. Ada tujuh langkah awal yang perlu dilakukan. Pertama, mengubah syarat pembentukan dan kepesertaan pemilu partai politik dengan prinsip proporsional. Perludem mengkritik syarat pembentukan partai politik berbadan hukum dan syarat menjadi peserta pemilu yang terlalu berat. Syarat berat menjadi penyebab partai politik oligarkis. Semestinya, syarat partai boleh dibentuk dan ikut pemilu tak dipaksa bersifat nasional. Partai dapat memilih untuk eksis dan mengikuti pemilihan legislatif di tingkat kabupaten/kota atau provinsi tertentu.
“Kalau syaratnya seperti sekarang, memang hanya partai-partai yang punya modal besar yang bisa lolos. Akhirnya, partai yang muncul dari grass root gagal. Oleh karena itu, untuk jadi peserta pemilu, cukup membuktikan bahwa dia punya anggota sebanyak kursi yang diperlukan di kabupaten/kota atau provinsi saja. Misal, satu kursi seribu suara. Jadi, partai mesti punya seribu anggota. Jadi, agar tidak mahal,” jelas Deputi Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati.
Dengan sistem tersebut, menurut Perludem, akan menyehatkan partai berbasis massa. Partai buruh yang memiliki basis massa di beberapa kabupaten daerah industri, bisa dibentuk dan mengikuti pemilu hanya di tingkat kabupaten untuk wakil DPR Daerah (DPRD) di daerah basis massa partai buruh. Partai hijau, yang cenderung bisa diterima ideologinya di masyarakat urban, bisa membentuk dan memulai kepesertaan pemilu di tingkat kota atau provinsi tertentu.
“Jadi representasinya di parlemen betul-betul mengikuti wilayah dimana ideologi mereka diterima oleh konstituen mereka. Mereka bisa berkarir secara bertahap. Kalau sukses, ya nanti bisa naik ke tingkat provinsi, bahkan bisa juga nasional,” tukas Khoirunnisa.
Kedua, demokratisasi rekrutmen kandidat pemilihan DPR, DPRD dan Pilkada. Revisi Undang-Undang (UU) Partai Politik harus memuat metode rekrutmen kandidat yang akan diusulkan sebagai calon legislatif dan calon kepala daerah. Adanya metode yang diatur di UU akan memaksa partai politik untuk melakukan rekrutmen secara demokratis. Sistem rekrutmen mesti terbuka, mengutamakan penilaian kandidat pada kualitas dan integritas, serta dapat diikuti oleh semua anggota partai.
“Agar orang yang sudah lama berkarir di partai, tidak kalah degan orang yang sekadar punya nama besar dan modal besar. Tujuannya, agar tabiat partai yang keputusannya hanya ditentukan oleh satu-dua orang saja, bisa pelan-pelan didemokratiskan,” ujar Khoirunnisa.
Ketiga, transparansi tata kelola keuangan partai. Partai politik sebagai institusi publik dituntut untuk membuka laporan keuangannya kepada publik. Dengan terbukanya laporan keuangan partai, selain dapat mencegah politik transaksional, juga berfungsi sebagai informasi mengenai aktor-aktor yang berpotensi memiliki kepentingan ekonomi dari kebijakan yang dihasilkan.
Transparansi keuangan partai politik dinilai Perludem perlu menjadi syarat kepesertaan pemilu. Sambungannya dengan pemerintahan hasil pemilu, yakni memastikan partai yang berkompetisi dalam pemilu telah memenuhi salah satu aspek penting pencegahan korupsi dan tujuan pembentukan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Keempat, reformulasi bantuan dana partai. Peningkatan besaran bantuan dana partai diharapkan dapat menjadi pintu masuk reformasi partai politik. Partai bisa memperoleh bantuan dana partai setelah memenuhi persyaratan tertentu, seperti melaporkan secara jujur tata kelola keuangan partai, dan memberikan pendidikan politik dan kaderisasi perempuan. Pemberian bantuan pun mesti dilakukan secara bertahap.
“Selama ini kan partai tidak mau membuka laporan keuangannya kepada publik dengan alasan bantuan negara kepada mereka juga sangat sedikit. Nah, dengan kita tingkatkan bantuan dana partai, dengan syarat-syarat tertentu, partai politik jaid punya tanggungjawab untuk melaporkan. Dananya juga tidak diberikan sekaligus atau gelonggongan, tapi bertahap,” tegas Khoirunnisa.
Kelima, audit forensik dana kampanye dan penguatan wewenang instansi terkait. Audit kepatuhan dinilai tak cukup untuk memastikan kejujuran penerimaan dan pengeluaran kampanye peserta pemilu. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan pihak perbankan perlu berkoordinasi guna mencegah terjadinya politik transaksional sejak tahapan pemilu dimulai. PPATK dapat mengawasi rekening partai politik dan rekening khusus dana kampanye, dan apabila ditemukan transaksi yang ganjil, yakni transaksi dalam jumlah lebih besar dari semisal 500 juta rupiah, PPATK dapat melaporkan kepada Bawaslu atau lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap keuangan partai politik, untuk kemudian ditindaklanjuti.
“Poinnya, sistem pengawasan, pencegahan, dan penindakan mesti dibangun secara operasional dengan batas kewenangan yang jelas,” ucap Ninis.
Reformasi partai politik dinilai mendesak untuk segera dilakukan. Gelombang protes di berbagai daerah pada September 2019 dipicu oleh salah satunya ketidakpercayaan kepada institusi partai politik, juga kinerja buruk DPR yang menghasilkan produk-produk legislasi kontroversial. Sebut saja Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan UU (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).