Maret 19, 2024
iden

Pemilih Pindah Bisa Kehilangan Hak Suara

JAKARTA, KOMPAS — Calon pemilih yang namanya sudah masuk dalam daftar pemilih tetap Pemilu 2019, tetapi menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara yang berbeda, bisa kehilangan hak suara. Ketentuan ini perlu diantisipasi oleh penyelenggara, partai politik, dan calon pemilih.

Pengaturan perpindahan tempat pemungutan suara (TPS) pemilih itu diatur dalam draf Peraturan KPU tentang Penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu yang diuji publik di Jakarta, Selasa (5/12). Hal itu masuk dalam pengaturan Pasal 34 terkait daftar pemilih tambahan (DPTb), yakni para pemilih yang sudah terdaftar dalam DPT di suatu TPS, tetapi memberikan suara di TPS lain.

Pemilih dinyatakan akan kehilangan hak suaranya jika perpindahan lokasi memilih itu berbeda dari daerah pemilihannya, baik untuk pemilihan DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, maupun DPR dan DPD. Contohnya, jika pemilih pindah TPS di kabupaten/kota berbeda di luar daerah pemilihannya, tetapi masih dalam satu provinsi, ia akan kehilangan hak suara untuk DPRD kabupaten/kota. Namun, masih berhak menggunakan hak pilih untuk DPRD provinsi, DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. “Ini kembali ke pengaturan Pemilu 2004, berbeda dari Pemilu 2009 dan 2014,” kata anggota KPU, Hasyim Asy’ari.

Menurut Hasyim, hal itu perlu mendapat perhatian karena bisa saja orang-orang masih mengacu pada pengaturan Pemilu 2014. Saat itu, meski pindah TPS, mereka masih mendapat semua hak pilih. Namun, hal itu sudah berubah dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Hal ini juga penting dipahami oleh petugas lapangan karena petugas lapangan-lah yang menentukan apakah seseorang diakomodasi penggunaan hak pilihnya di TPS.

Dalam sesi umpan balik dari para peserta uji publik, pasal ini juga sempat disoroti perwakilan partai politik. KPU diminta memastikan pengaturan di PKPU itu benar-benar bisa diimplementasikan di daerah, tetapi tidak merugikan calon pemilih.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, menilai pengaturan bahwa seseorang tidak bisa memilih anggota legislatif karena bukan memilih di daerah pemilihan tempat ia terdaftar tidak sepenuhnya tepat. “Perlu diperhatikan logis atau tidaknya pengaturan itu karena akan ada pemilih yang bisa memilih eksekutif, tetapi tak bisa memilih legislatif. Apalagi, representasi pemilih dalam pemilu itu bisa disalurkan ke parpol,” katanya.

Pencocokan dan penelitian

Dalam draf Peraturan KPU Penyusunan Daftar Pemilih dalam Pemilu juga diatur bahwa KPU kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada serentak 2018 tidak melakukan pencocokan dan penelitian terhadap daftar pemilu. Menurut anggota KPU, Viryan Azis, hal itu dilakukan demi efisiensi karena pemutakhiran data pemilih pada pilkada serentak 2018 dilakukan pada Januari 2018, tidak terpaut jauh dari penyusunan daftar pemilih Pemilu 2019.

KPU kabupaten/kota penyelenggara Pilkada 2018 kemudian menyusun daftar pemilih sementara (DPS) Pemilu 2019 dengan menggunakan basis DPT pilkada serentak 2018 ditambah pemilih pemula dalam data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri.

Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengingatkan agar KPU memastikan semua warga negara bisa memiliki hak pilih. Dia mempertanyakan, dengan peniadaan pencocokan dan penelitian terhadap daerah penyelenggara Pilkada 2018, apakah KPU bisa memastikan hak pilih warga tidak hilang, terutama pemilih pemula. (GAL)