October 3, 2024

Pemilu 2019, Penentu Masa Transisi Demokrasi Indonesia

“Pemilu 2019 sangat penting karena dia akan mengevaluasi berbagai tujuan yang telah ditetapkan. Dan juga, 2019 adalah momen transisi demokrasi kita. Ada kesepakatan dari berbagai ahli politik, kalau sebuah negara telah lima kali berhasil menjalankan pemilu yang demokatis, maka negara itu wajib menjadi rujukan dan obsevasi lebih dalam. Nah, Indonesia akan lebih banyak menyumbang untuk berbagai belahan dunia. Terutama Indonesia mayoritas muslim. Banyak yang akan mencari tahu mengapa muslim bisa kompatibel dengan demokrasi,” ujar Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz, pada konferensi pers “Bersama Mewujudkan Pemilu Bersih dan Damai” di Cikini, Jakarta Pusat (14/4).

Ucapan August diamini oleh para pegiat pemilu lainnya seperti Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, dan Sigit Pamungkas, Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI). Pemilu 2019 dinilai memiliki arti penting dalam sejarah perjalanan demokrasi Indonesia, bukan hanya karena merupakan pemilu serentak untuk pertama kalinya, namun menentukan apakah Indonesia mampu beranjak dari masa transisi, yakni dari masa pemerintahan otoriter menuju masa pemerintahan sipil yang demokratis. Indonesia akan menjadi objek observasi atas berbagai pertanyaan, seperti benarkah pemilu serentak menghasilkan pemerintahan presidensial yang efektif, dan apakah sebuah negara modern dengan penduduk mayoritas muslim dapat mempertahankan sistem demokrasi.

Karena arti penting tersebut, Koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas Perludem, JaDI, SPD, Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), Indonesia Corruption Watch (ICW), Kemitraan, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Election School Project, dan Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), mendorong semua masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu 2019. Pemilu yang bersih, aman, dan demokratis merupakan tanggung jawab semua pihak.

“Masyarakat sipil Indonesia peduli pada praktik peilu, dan kami akan ambil bagian dan peran untuk ikut memastikan pemilu kita berlangsung bersih dan damai. Bersih itu konteksnya sangat luas, bukan hanya luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil), di dalamnya ada inklusifitas, aksesibiliats, dan sebagainya. Dan juga, aman, kita harus pastikan praktik pemilu kelima pasca reformasi bisa kita lalui dengan baik,” tandas Titi.

Elit politik diharap tak memprovokasi massa

Pemilu yang demokratis, bersih, dan damai membutuhkan keterlibatan elit politik. Elit politik tak semestinya mengkapitalisasi isu dan memprovokasi massa di bawahnya untuk kepentingan pemenangan semata. Jika menemukan kesalahan atau pelanggaran, para pihak dapat menempuh jalur hukum yang tersedia.

“Kalau kemudian ditemukan atau menurut mereka terdapat permasalahan dalam proses penyelenggaraan pemilu, kami imbau gunakan jalur-jalur hukum yang telah ada. Jadi, jangan elit politik mengkapitalisasi isu hanya untuk sekadar memanas-manaskan suasana,” tukas Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari.

Pencegahan kecurangan pemilu dapat dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Jika pengawas pemilu dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dianggap tak cukup, partai politik dapat memaksimalkan fungsi saksi partai atau pendukung partai untuk mengawal proses. Kekhawatiran hanya dapat dihilangkan dengan terlibat langsung dalam pengawasan.

“Titik kunci partai politik adalah kesiapan saksinya. Sudahkah partai menyiapkan saksi secara optimal? Ingat! Saksi adalah mata dan telinganya partai,” tandas pegiat pemilu Kemitraan, Wahidah Suaib.

Menurut Wahidah, ada tiga jenis saksi. Satu, saksi yang hadir tepat waktu dan mengikuti semua proses dan menjalankan fungsi dengan baik. Dua, saksi yang tidak mengikuti semua proses dan tidak optimal dalam menjalankan fungsi koreksi jika ada kesalahan penyelenggara pemilu. Tiga, saksi yang optimal menjalankan fungsi koreksi, tetapi tak hadir dari awal hingga akhir proses.

“Pastikan saksi partai berfungsi optimal, datang tepat waktu, dan mengikuti semua proses. Kalau salah satunya tidak berjalan baik, akan sangat mempengaruhi proses ke depan. Penting juga dipastikan agar saksi partai tidak beprihak pada calon tertentu di partainya. Dia harus objektif pada hasil perolehan suara,” kata Wahidah.

Profesionalisme dan integritas penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum akan diuji

Profesionalisme, netralitas, dan integritas penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum akan diuji pada masa tenang yang tengah berlangsung hingga Selasa (16/4), hari pemungutan suara, hingga penetapan hasil Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI (Polri) diharapkan tidak melakukan mobilisasi terhadap keluarga untuk memilih atau memenangkan kandidat tertentu. Sebaliknya, TNI dan Polri dapat bekrontribusi untuk menciptakan Pemilu 2019 yang demokratis, bersih, dan aman dengan melakukan patroli bersama Bawaslu untuk mencegah praktik-praktik pelanggaran pemilu dan melindungi pemilih agar dapat menggunakan hak suaranya secara bebas, tanpa intimidasi dan mobilisasi.

“Minggu tenang bukan berarit kita tenag semunya. TNI dan Polri harus memastikan tidak ada mobilisasi untuk paslon atau caleg tertentu. Mereka harus menjaga keamanan dan ketertiban negara. Jangan berdiam diri di kantor aja. Lakukan patroli bersama Bawaslu untuk mencegah prkatik-praktik pelanggaran,” ujar pegiat pemilu dari Universitas Andalas, Charles Simabura.

Mobilisasi dapat dilakukan oleh ASN, suami kepada istri, orangtua kepada anak, guru kepada murid, pemuka agama kepada jamaah, juga bos kepada buruh.

Penegak hukum juga didorong untuk menindak kasus-kasus pelanggaran pemilu secara adil dan transparan. Tak boleh ada perbedaan sikap penanganan dan putusan dalam perkara yang sama.

Masyarakat diharap dewasa, tak mudah terprovokasi, dan ikut mengawal proses

Kisruh dalam Pemilu 2019 akan menjadi cerita buruk yang akan disorot oleh dunia internasional. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk menyaring setiap informasi yang didapat, tidak mudha terprovokasi, dan ikut mengawal proses pungut-hitung-rekap. Jika masyarakat menemukan pelanggaran, seperti ketidaknetralan ASN, politik uang, penggunaan C6 atau surat undangan memilih oleh orang yang bukan pemilik C6, diharap tak ragu untuk melaporkan kepada pengawas pemilu terdekat.

“Media dan pemilih, ketika nanti sudah mencoblos, jangan langsung pulang. Awasi TPS (Tempat Pemungutan Suara) agar tidak terjadi kecurangan,” pungkas Peneliti bidang Korupsi Politik ICW, Almas Sjafrina.

Pemilu 2019 merupakan milik semua pihak. Pemilu kelima yang akan menjadi pertaruhan jalannya demokrasi di Indonesia hanya dapat berlangsung damai dan aman, jika semua pihak berpartisipasi secara aktif dan mengunakan cara-cara yang demokratis.