October 6, 2024

Pemilu 2019, Tanggung Jawab Bersama

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia telah menentukan melalui Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 bahwa tanggal 17 April 2019 akan dilakukan pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tentu, di pemilu 2019 nanti publik tidak menginginkan adanya sebuah pelanggaran yang merugikan kita semua.

Empat kerawanan

Setidaknya ada empat kerawanan yang jika bisa diselesaikan bersama-sama dengan baik, maka pemilu demokratis akan tercipta. Kerawanan tersebut yaitu pada tahap pemuktahiran daftar pemilih dan penyusunan daftar pemilih, kampanye, pendistribusian logistik serta pemungutan dan penghitungan suara.

Pertama, pemuktahiran daftar pemilih dan penyusunan daftar pemilih. Ini memang selalu menjadi masalah dalam setiap pemilu. Padahal bangsa ini sudah berulangkali menyelenggarakan pemilu, namun hanya pemilu pertama pada tahun 1955 yang dianggap terbaik oleh ilmuwan maupun praktisi politik sebagai pemilu terbaik tanpa ada kecurangan. Setelah itu pemilu pun selalu diangap bermasalah terutama dalam hal daftar pemilih.

Menurut penulis prinsip dari pemuktahiran daftar pemilih yang dilakukan oleh panitia pendaftaran pemilih (Pantarlih) hanya terfokus dua hal saja, pertama pencoretan pemilih (meninggal, pindah kewarganegaraan, beralih status menjadi TNI/Polri, dan gangguan jiwa). Kedua yaitu menambahkan (warga yang sudah berumur 17 tahun atau sudah kawin, beralih status menjadi sipil dan warga yang sudah sembuh dari penyakit gangguan jiwa).

Dua prinsip ini sesungguhnya mudah untuk dilaksanakan oleh Pantarlih, namun menjadi sulit tatkala pemerintah (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) tidak memberikan data daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang akurat kepada KPU dan tidak menyelesaikan proyek Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik.

Jika pemerintah memberikan DP4 yang akurat dan proyek KTP elektronik selesai, maka bisa dipastikan KPU tidak perlu repot-repot membentuk pantarlih untuk mendata kembali pemilih. Selama pemerintah tidak mau memberikan DP4 dan menyelesaikan KTP elektronik, selama itu pula permasalahan pemuktahiran daftar pemilih akan terus ada.

Kedua yaitu kampanye. Untuk memastikan kampanye berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan kita tidak bisa mengandalkan pengawas pemilu. Meski dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu, tugas, wewenang dan kewajiban Bawaslu diperkuat namun tetap saja dibutuhkan kesadaran partai pollitik dan kader-kadernya yang maju menjadi calon legislatif untuk bersama-sama menciptakan kampanye yang bersih.

Lalu ketiga adalah pendistribusian logistik. Distribusi logistik adalah tanggung jawab KPU sebagai pelaksana penyelenggaraan pemilu. Bawaslu hanya mengingatkan dan mengawasi jika ada kesalahan dalam pendistribusian tersebut. Namun, bawaslu harus memiliki paradigma mengedepankan pencegahan, bukan menunggu KPU melakukan pelanggaran. KPU pun harus mendengar saran, masukan atau peringataan yang diberikan oleh Bawaslu. Jika kedua penyelenggara ini sudah satu persepsi maka pendistribusian logistik saya pikir tak akan ada masalah.

Dan yang keempat adalah pemungutan dan penghitungan suara. Tahapan ini yang paling krusial. Kecurangan dan pelanggarannya pun “tingkat tinggi”. Oleh karenanya dibutuhkan pengawasan dan partisipasi masyarakat. Bagaimana caranya? Dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah di Jakarta 2017 lalu, Bawaslu sudah melakukan pengawasan berbasis Ilmu Teknologi (IT) yakni dengan menggunakan handpone seluler yang bisa merekam dan mendokumentasikan kegiatan di TPS.

Namun, pengawasan berbasis IT tersebut tak dipakai kembali dikarenakan biaya yang mahal. Bawaslu harus menyediakan pulsa internet untuk menyimpan hasil pengawasan ke google drive. Dan di google drive, Bawaslu akan mengambil data tersebut.

Dalam pemungutan dan penghitungan suara, masyarakat dapat merekam dengan ponsel pribadi dan di upload ke media sosial dengan memberikan keterangan video. Ini akan memudahkan Bawaslu dalam proses pengawasan yang mungkin tak terlihat oleh pengawas TPS, Panwaslu Kelurahan, dan Panwaslu Kecamatan.

Tugas dan kewajiban

Empat tahapan yang bisa memicu kericuhan, kecurangan memang harus diawasi bersama, saling mengingatkan, dan memahami tugas dan kewajibannya masing-masing lembaga menjadikan pemilu minim akan pelanggaran.

Oleh karenanya, diperlukan kesadaran kolektif bahwa semua stackholder memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing untuk menciptakan pemilu yang demokratis, jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Pertama adalah Pemerintah. Selama pemilu dilaksanakan kecuali pemilu 1955, pemerintah terlihat tak serius dalam bekerja. adalah DP4 yang selalu menjadi polemik awal pemilu. Disini seharusnya pemerintah bekerja maksimal dalam memuktahirkan data kependudukan, minimal persatu semester. Ini seperti saya sebutkan diatas, akan mempermudah penyelenggara dalam prosesi pencoklitan.

Selain itu, pemerintah juga memiliki kewajiban memberikan fasilitas kepada penyelenggara pemilu yakni kantor, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Terkait dengan PNS dalam tubuh Bawaslu memang selalu menjadi permasalahan. Pasalnya, PNS yang diperbantukan mayoritas mereka yang tak memiliki ilmu kepemiluan dan gagap teknologi (Gaptek). Oleh karenanya, diharapkan pemilu 2019 ini pemerintah lebih mengutus mereka yang paham dengan pemilu, agar penyelengara tak kesulitan dalam komunikasi. Jika pemerintah menyepelekan fasilitas ini, maka pekerjaan penyelenggara pemilu bisa dipastikan kurang maksimal.

Yang kedua yakni KPU. Sudah menjadi rahasia umum jika KPU kurang transparan kepada Bawaslu. KPU selalu berlindung dalam peraturan perundang-undangan perihal transparansi. Contoh kecil, pendistribusian surat undangan untuk memilih (C6). KPU tak pernah memberikan data tersebut dengan alasan tak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Padahal, ini sangat penting untuk diketahui apakah C6 benar-benar sampai ke tangan pemilih? Dengan banyaknya kasus yang menggunakan hak pilih orang lain. Ini menandakan bahwa pendistribusian C6 tak tepat sasaran.

Pola berpikir KPU haruslah dirubah. Jika data tersebut bisa meminimalisir kecurangan ada baiknya KPU memberikan atau bahkan memberikan jadwal kapan pendistribusian C6 ke Bawaslu.

Kemudian yang ketiga adalah Bawaslu. Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang saat ini masih tetap dipakai oleh Bawaslu yang baru sangatlah baik. Dalam sosialisasi yang diberikan Bawaslu ada 3 cara dalam menentukan kerawanan. Pertama membandingan dari satu daerah terhadap daerah lain dengan melihat jumlah penduduk, tingkat kriminalitas, dan gesekan antar calon. Jika sudah dilihat dan diteliti maka yang kedua adalah menentukan tingkat kerawanan. Dan yang terakhir, data tersebut harus di share (kirim) dan didiskusikan ke pihak terkait seperti pemerintah, keamanan (Kepolisian), tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama.

Jika tugas dan kewajiban masing-masing lembaga dilaksanakan dengan baik, pemilu yang demokratis, jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia akan mudah tercipta.

Meski demikian, jangan juga publik lengah dalam tahapan daftar pemilih, kampanye dan pemungutan dan penghitungan suara. disini publik harus lebih kritis dan menolak politik uang, karena ini yang selalu menjadi kendal pemilu tatkala warga lebih memilih politik pragmatis dan pasif saat pemilu. Padahal pemilu adalah kegiatan yang legitimit dalam menentukan masa depan bangsa.

Menjadi hal yang sia-sia jika masing-masing lembaga (Pemerintah, KPU dan Bawaslu) sudah bekerja maksimal namun rakyatnya lebih memilih politik pragmatis. Semoga tidak. []

AHMAD HALIM

Ketua Panwas Kota Administrasi Jakarta Utara