Maret 28, 2024
iden

Pemilu 2024 dan Hak-Hak Politik Perempuan OLEH ASEP SAHID GATARA

Sejauh ini hak-hak politik perempuan tidak menjadi isu menarik untuk dilirik menjelang Pemilu 2024. Publik lebih banyak ”dipaksa” melirik sajian isu-isu pencapresan.

Padahal, hak-hak politik perempuan merupakan amanat undang-undang tentang politik afirmasi (affirmative action) kuota 30 persen keterwakilan perempuan yang belum tertunaikan secara ajek dari pemilu ke pemilu. Amanat yang bersumberkan suara-suara perempuan serta berjangkarkan kesadaran kolektif atas pentingnya penghapusan ketidakadilan jender dalam setiap ruang politik.

Amanat undang-undang tentang afirmasi tersebut terutama berada pada level proses pemilu. Undang-undang belum menyentuh pada level hasil pemilu. Maka sebenarnya bisa dipandang wajar apabila komposisi perempuan di legislatif hasil pemilu belum terkonfirmasi secara ajek karena memang belum menjadi amanat yang tegas.

Pada level proses pemilu, afirmasi tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. UU No 2/2008 mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat dan di tingkat daerah (Pasal 2 dan Pasal 20).

Sementara UU No 10/2008 menegaskan bahwa partai politik bisa menjadi peserta pemilu selain jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat, juga daftar bakal calon legislatif harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan, baik di DPR maupun di DPRD provinsi/kabupaten/kota (Pasal 8 dan 53).

Afirmasi lebih dipertegas lagi dengan adanya penerapan zipper system (Pasal 55). Yaitu, setiap tiga bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu perempuan bakal calon dengan nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. Belakangan, ketegasan itu diperkuat dengan adanya PKPU yang menyajikan mekanisme diskualifikasi menjadi peserta pemilu yang mampu memaksa partai politik untuk memenuhi kuota minimal 30 persen perempuan dalam pencalonan legislatif.

Dengan itu, keterwakilan perempuan di legislatif, terutama di DPR, hasil pemilu memang menunjukkan tren meningkat. Hasil Pemilu 2009, misalnya, menunjukkan keterwakilan perempuan sebesar 18 persen atau 101 orang, Pemilu 2014 mencapai 14,32 persen atau sebanyak 97 orang, dan Pemilu 2019 mencapai 20,5 persen atau 118 orang (Kompas.com, 26/07/2019).

Meskipun demikian, tren hasil pemilu tersebut tampak belum ideal. Dan hal itu secara normatif sangat dimungkinkan karena tidak ada penegasan tentang 30 persen keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Oleh karena itu, dalam UU MD3, setidaknya melalui revisi kelima UU No 17/2014, harus dimasukkan klausul tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Klausul tersebut, misalnya, dapat dimuat dalam bagian susunan dan ataupun keanggotaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Sebut saja seperti klausul ”MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum yang mencerminkan 30 persen keterwakilan perempuan”. Ataupun ”keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan presiden dengan memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan”.

Selain revisi UU MD3, diperlukan juga sistem pemilu yang sejalan. Selama ini sistem pemilu proporsional terbuka belum ramah perempuan karena lebih banyak menekankan ”kontestasi rimba”. Semua calon didefinisikan sekaligus diposisikan memiliki kekuatan yang sama. Padahal senyatanya ada ketimpangan kekuatan, terutama kekuatan dalam aspek isi tas (modal finansial) dan popularitas sang calon.

Berdasarkan itu, kembali pada sistem proporsional daftar tertutup dapat menjadi pilihan untuk mengatasi problematika keterwakilan perempuan di legislatif. Dengan sistem itu, calon legislatif perempuan yang menempati nomor urut 1 sampai 3 dan seterusnya, karena penerapan zipper system, akan punya peluang besar mendapatkan kursi di legislatif. Rakyat pemilih tidak lagi memilih orang per orang, tetapi memilih partai politik. Melalui sistem itu, setiap calon legislatif akan terdorong untuk saling bersinergi dan berkolaborasi dalam mengumpulkan suara demi kemenangan partai politik.

Dengan penerapan sistem pemilu daftar tertutup tentu tidak hanya dapat mengatasi problem keterwakilan perempuan di legislatif, tetapi juga ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, bisa menjawab segala ekses negatif yang selama ini terproduksi dalam sistem pemilu sebelumnya.

Pertama, daftar tertutup cenderung akan mendekatkan rakyat kepada partai politik yang sejak pelaksanaan Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019 mengalami kerenggangan bahkan ketegangan. Renggang dan tegang karena rakyat memilih calon legislatif bukan lagi berdasarkan pertimbangan latar partai politiknya, melainkan lebih pada pertimbangan kedekatan, keterkenalan, dan (bahkan) kekayaan personal sang calon.

Kedua, daftar tertutup membuka celah bagi rakyat untuk mengidentifikasi diri dengan partai politik. Situasi yang dibutuhkan untuk memperkuat party-ID (party identification) sebagai upaya mendongkrak derajat kedekatan rakyat dengan partai politik yang berimbas pada keyakinannya untuk dipilih kapan pun pemilu digelar. Suatu kedekatan karena ikatan visi dan emosi semata bukan karena ikatan materi. Situasi yang juga dibutuhkan untuk memutus mata rantai politik uang yang membuat biaya politik sangat mahal.

Tentu langkah itu sangat tidak populer karena melawan arus dan langkah mundur. Tetapi jika yang dilawan adalah arus anti-politik, seperti arus politik uang dan ketidakadilan jender, itu adalah keniscayaan.

Demikian juga jika langkah mundur dipilih sebagai strategi, seperti ancang-ancang untuk melompat jauh ke depan, mengapa tidak? Mundur untuk menyegerakan pembuatan garis start politik yang sama bagi semesta warga, termasuk warga perempuan. Wallahu’alam bi shawab.

Asep Sahid Gatara
Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Wakil Ketua Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (Apsipol)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/opini/2021/11/29/pemilu-2024-dan-hak-hak-politik-perempuan