Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Muhammad Afiffudin menyampaikan kondisi terbaru fenomena politisasi bantuan sosial (bansos) oleh kepala daerah petahana. Fenomena itu terjadi di Kabupaten Klaten, Sulawesi Tenggara (Sultra), Kabupaten Lombok Utara, Kota Karawang, Kabupaten Lampung Timur, dan Kabupaten Way Kanan. Di daerah-daerah tersebut, ditemukan paket bansos dengan foto kepala daerah.
“Bahkan di Karawang, bersaing antara kepala daerah dan wakilnya. Di Sultra gubernurnya. Tapi tidak semuanya, memang mereka ini ada saat akan melakukan Pilkada. Tapi foto gubernurnya nangkring,” kata Afif pada webkusi “Kepastian Pelaksanaan Pilkada dan Politisasi Dana Bansos” yang diselenggarakan oleh Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) pada Selasa (12/5).
Afif menyampaikan pihaknya kesulitan menindak politisasi bansos oleh petahana kepala daerah. Pasalnya, Pasal 71 Undang-Undang (UU) Pilkada mengatur kepala daerah dilarang mengeluarkan kebijakan atau program yang menguntungkan atau merugikan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon (paslon) sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih. Hingga saat ini, belum ditetapkan tanggal penetapan paslon dan tanggal penetapan paslon terpilih.
Namun sebagai tindak pencegahan, Bawaslu telah menerbitkan Surat Edaran No.0266 yang berisi pengingatan potensi pelanggaran oleh kepala daerah. Surat Edaran itu telah dikirim kepada kepala-kepala daerah melalui jajaran Bawaslu di daerah.
“Ini kita kirimkan ke jajaran kami. Oleh mereka, kami perintah dikirim ke kepala daerah terutama yang Pilkada. Dari situ, ada beberapa provinsi yang sudah membuat SE turunan. Lampung, Riau. Jadi, ini dilakukan sebelum perpu keluar. Nah, pasca perpu kedua, harapan kami, makin pasti kita,” ujar Afif.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Pramono Ubaid menduga politisasi bansos akan semakin jamak terjadi karena Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.2 telah menyatakan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan di bulan Desember. Untuk mencegahnya, Pramono mendorong agar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), paslon penantang petahana, dan masyarakat sipil ramai-ramai mengkritik politisasi bansos. Pencegahan dan penanganan politisasi bansos bukan hanya tugas Bawaslu.
“Kita tidak bisa sepenuhnya hanya menyandarkan harapan kita ke Bawaslu umtuk menindak ini. Ada aktor-aktor lain yang harus berperan sehingga politisasi bansos bisa ditekan seminimal mungkin. Ada partai-partai politik di tingkat lokal, calon rival yang akan mucul, mereka harusnya bersuara, mengkritik petahana yang mulai memanfaatkan bansos,” pungkas Pramono.
Fenomena politisasi bansos dipandang oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini sebagai dampak dari beririsannya distribusi bansos di tengah pandemi dengan Pilkada Serentak 2020. Namun, menurut Titi, politisasi bansos bukanlah hanya persoalan integritas pemilu, melainkan integritas tata kelola negara yang bersih. Oleh karenanya, institusi negara lainnya, seperti DPRD sebagai pengawas pemerintah daerah (pemda), juga pemerintah pusat sebagai pembina pemda, dapat memberikan sanksi kepada kepala daerah yang melakukan politisasi bansos.
“Mereka bisa memberi sanksi. Ada UU No.23/2014 tentang pemda. Mestinya mereka juga melakukan langkah-langkah hukum supaya kepala daerah tidak dibolehkan menempatkan pencitraan di setiap bansos yang dibagikan,” tandas Titi.
Titi menyebut survey Saiful Mujani Research Center (SMRC) yang menunjukkan 70 persen masyarakat Indonesia merasa ekonominya terpuruk selama pandemi korona. Data ini, dinilai Titi, membuka ruang penyimpangan berbentuk politik transaksional oleh paslon kepala daerah.
“Ini kan jadi ruang untuk melakukan penyimpangan dan membuka ruang politik transaksional karena masyarakat merasa beban ekonomi lebih dominan ketimbang menempatkan politik elektoral,” tukasnya.