April 19, 2024
iden

Pendidikan Politik Pilkada

Pertengahan Februari 2017, bangsa kita akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak di 101 daerah: tujuh provinsi dan sisanya kabupaten dan kota. Ini adalah perhelatan kedua setelah pilkada serentak pertama pada Desember 2015.

Peristiwa politik besar dan terencana seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak semestinya dapat berfungsi sebagai alat pendidikan politik yang efektif bagi bangsa. Ia bisa efektif karena sifatnya yang masif dan dapat merangsang perhatian penuh dari semua lapisan masyarakat. Ia dapat merangsang perhatian penuh masyarakat karena dalam pilkada, hal-hal penting menyangkut kehidupan masyarakat daerah sering dipertaruhkan.

Kekuasaan paling terlihat sebagai soal yang dipertaruhkan. Kadang pertaruhannya antarkelompok elite, antarkelompok masyarakat, atau antarkelompok elite berhadapan dengan kelompok masyarakat. Melalui kekuasaan sumber daya daerah didistribusikan, untuk pembangunan, atau semata untuk melanggengkan pemegang kuasa.

Karena terkait dengan distribusi sumber daya, pilkada jelas menarik perhatian banyak orang. Setiap orang berkeinginan mendapatkan akses kepada sumber daya karena terkait dengan kualitas hidup. Maka apabila pilkada dapat menjadi sarana pendidikan politik, niscaya ia akan lebih efektif. Bukan saja ia dapat menjadi pembelajaran langsung (mengalami), melainkan juga terkait dengan nasib setiap orang.

Selain itu, proses pilkada berlangsung lama, berbilang bulan, bahkan tahun. Menurut undang-undang memang proses resmi pilkada, terutama kampanye, hanya dalam kisaran tiga bulan. Itu pun dapat dikatakan cukup lama. Di luar jadwal kampanye resmi, proses pilkada sebenarnya sudah berlangsung bahkan sebelum pendaftaran calon dimulai. Tentu sayang sekali kalau peristiwa politik yang berlangsung lama dan memakai energi banyak orang ini tidak memiliki makna positif dari segi pendidikan politik.

Namun, berjalan tidaknya pilkada sebagai pendidikan politik bergantung pada bagaimana ia dilaksanakan dan apa yang menjadi isi dalam pelaksanaannya. Apabila ia hanya terjebak pada politik adu kuat perebutan kekuasaan dan sumber daya, aspek pendidikan politik pilkada akan kalah dengan menonjolnya sisi negatif dan pragmatis politik saja.

Pendidikan politik

Konsep dan rincian dari pendidikan politik (political education) hingga kini masih menjadi perdebatan. Belum ada kesepakatan yang bulat. Namun, sebagian besar ahli sepakat dengan tujuan-tujuan umum yang bisa dicapai melalui pendidikan politik (Rothe, 1999).

Menurut Rothe, pendidikan politik bertujuan mengembangkan dan memperkuat kesadaran akan nilai-nilai demokrasi. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip kehidupan bersama dan bernegara seperti kedaulatan rakyat, musyawarah, aturan main, dan penegakan hukum serta pengawasan.

Pendidikan politik juga bertujuan membangun pemahaman dan kemauan menjalankan tugas mendasar dari politik, yaitu menyelesaikan masalah dan perbedaan secara damai. Pendidikan politik juga bermaksud mempertontonkan kepada khalayak bahwa keputusan yang diambil atas masalah-masalah tersebut—termasuk di dalamnya masalah yang bersifat kontroversial—bersifat mengikat dan menuntut kepatuhan semua pihak.

Tujuan penting lain dari pendidikan politik adalah memperkuat pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap masalah-masalah atau isu-isu penting yang terkait dengan kehidupan sehari-hari ataupun masa depan bersama. Tercakup di sini antara lain soal masa depan demokrasi dan ancamannya, hubungan antara ekonomi dan lingkungan, apakah kehidupan masyarakat itu harus didasarkan pada konsumerisme atau tidak, apa saja pengaruh global terhadap kehidupan sehari-hari, dan sebagainya.

Yang tak kalah penting, pendidikan politik dapat membuat orang melihat dan mempelajari keterampilan penting dalam politik. Mencari dan mengolah serta menyebarkan informasi menjadi keterampilan yang wajib dimiliki setiap orang pada era abad ke-21 sekarang ini. Juga kemampuan berhubungan dengan dan memperlakukan berbagai media, baik media reguler maupun media sosial, adalah kebutuhan yang niscaya. Pendidikan politik harus memberikan atau mencontohkan berbagai keterampilan tersebut agar masyarakat dapat maju bersama dalam kehidupan politik sehari-hari dan berbangsa.

Jadi, pendidikan politik semestinya berdampak pada penguatan pemahaman dan keterikatan masyarakat pada nilai-nilai dasar positif yang telah disepakati bersama. Selanjutnya, ia juga memberikan kesempatan kepada masyarakat dan semua pihak untuk melihat, mengalami, dan memahami berbagai pengambilan keputusan politik, siapa saja yang melakukannya, apa saja kepentingan yang mendasarinya, dan apakah proses dan keputusan tersebut memiliki keabsahan untuk dilaksanakan dan dipatuhi.

Apabila pilkada kita harapkan sebagai salah satu sarana dan momentum pendidikan politik, proses dan isi pilkada harus mencerminkan terakomodasinya berbagai tujuan penting pendidikan politik tersebut. Masalahnya adalah tidak mudah menjadikan peristiwa politik sebagai pendidikan politik, apalagi dengan tujuan ideal seperti diuraikan tersebut.

Realitas pilkada

Adalah naif, misalnya, untuk berharap bahwa peserta pilkada bertujuan memberikan pendidikan politik melalui keikutsertaannya. Yang logis, tujuan utama peserta pilkada adalah merebut atau mempertahankan kekuasaan. Kadang, atau mungkin sering kali, berbagai jalan akan dianggap sah atau disahkan untuk mencapai tujuan kekuasaan tersebut. Terlalu mewah untuk berharap lebih dari mereka.

Peserta pilkada bolehlah disebut sebagai aktor utama pilkada. Merekalah yang terus menjadi sorotan alias pusat perhatian. Dalam kompetisi pilkada, biasanya mereka membujuk masyarakat dengan menonjolkan dua hal: adu program dan adu rekam jejak atau pengalaman.

Maka masyarakat disodori berbagai tema program, seperti sekolah gratis, pengobatan/kesehatan gratis, pembangunan jalan, pemeliharaan budaya, pengentasan rakyat miskin, pengurangan pengangguran, pemeliharaan keamanan, dan janji untuk selalu melayani. Masalahnya, hampir dapat kita pastikan semua kandidat biasanya menyampaikan hal yang lebih kurang sama. Tentu saja ada pengecualian di sejumlah tempat dan itu tidak banyak.

Ini wajar saja karena biasanya para kandidat yang muncul tidak memiliki perbedaan ideologi dan atau platform kebijakan yang jelas. Karena tidak ada kontras dari segi ideologi dan program, perdebatan substantif sulit muncul. Padahal pendidikan politik justru biasanya akan terjadi apabila perdebatan substantif ini ada.

Dari segi rekam jejak demikian pula adanya. Kebanyakan kandidat berlatar belakang birokrat, pengusaha, politisi, atau militer/polisi. Yang paling banyak dieksplorasi biasanya jika seorang kandidat adalah petahana yang cukup sukses. Ini akan memudahkan seorang kandidat berkata bahwa dia sudah memberi bukti, bukan sekadar janji. Apabila tidak, biasanya belum banyak yang secara kreatif menunjukkan apa hubungan latar belakangnya dengan posisi kepala daerah yang sedang diperebutkan.

Memang, biasanya ada debat kandidat. Namun, hampir dapat dipastikan debat kandidat kepala daerah umumnya tak lebih dari sekadar lomba pidato. Masih jarang kita temui perdebatan substantif tentang kebijakan dan atau personalitas para kandidat dalam proses debat kandidat resmi yang diadakan penyelenggara pilkada. Lagi-lagi, kita harus mengatakan ada sejumlah pengecualian yang jumlahnya tak banyak soal ini.

Melakukan kampanye negatif sebenarnya bisa menjadi pilihan yang bisa berdimensi pendidikan politik. Kampanye negatif adalah upaya untuk menjelaskan kepada publik bahwa kandidat lain memiliki kekurangan, baik dari segi kebijakan maupun kepemimpinan di daerah yang bersangkutan. Ini hal yang baik karena akan memberikan informasi yang lebih lengkap kepada publik. Namun, umumnya kandidat, kecuali di beberapa tempat seperti Jakarta, jarang melakukan ini. Salah satu penyebabnya mungkin khawatir terpeleset menjadi kampanye hitam alias fitnah.

Dengan demikian, tidak terlalu banyak yang bisa kita harapkan dari segi pendidikan politik kalau hanya bertumpu pada kandidat. Orientasi utama mereka bukan pada pendidikan politik, melainkan bagaimana agar kekuasaan dapat dipertahankan atau diraih. Meletakkan pilkada dan pendidikan politik dalam satu kalimat seolah bersifat oxymoron (menyandingkan dua hal yang secara alamiah bertentangan).

Maka, harapan akan pilkada sebagai pendidikan politik harus terpulang kepada masyarakat dan penyelenggara pilkada. Kapasitas dan netralitas penyelenggara pemilu menentukan dalam hal ini. Catatan negatifnya, kita masih sering mendengar penyelenggara pilkada yang dihukum, terutama secara etik, akibat tidak menjalankan tugasnya sesuai garis yang sudah ditetapkan.

Bagi masyarakat, sesungguhnya apa pun proses dan isinya, pilkada mestinya dapat menjadi sarana pendidikan politik. Namun, ini terpulang kepada tingkat kedewasaan masyarakat kita. Kalau masyarakatnya terlalu pragmatis, misalnya lebih mengharapkan pemberian uang dari kandidat untuk menghargai suara mereka, maka pilkada sebagai pendidikan politik juga tidak akan banyak berjalan. Kalau melihat indikator pendidikan masyarakat kita yang mayoritas (lebih dari 50 persen) masih berpendidikan rendah (SLTP ke bawah), peran aktif masyarakat ini lebih banyak masih berupa harapan daripada kenyataan.

Akhirnya, harapan yang masih ada tinggal di pundak para aktivis yang tercerahkan, para jurnalis yang independen, dan organisasi masyarakat sipil yang peduli. []

DJAYADI HANAN, DIREKTUR EKSEKUTIF SMRC; DOSEN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PARAMADINA

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161123kompas/#/6/