Pelaksanaan Pemilu 2024 mesti berpegang pada prinsip perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia atau HAM. Pengabaian pemenuhan HAM berpotensi mencederai pemilu dan sulit melahirkan kepemimpinan yang berpihak pada HAM.
Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab mengatakan, pemilu merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan pemenuhan HAM, bukan sekadar mencari penguasa. Jangan sampai wacana mengenai pemilu hanya diisi dengan penggantian kekuasaan tanpa memperhatikan prinsip pemenuhan HAM dalam kepemiluan.
Menurut dia, wacana-wacana yang berkembang dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 masih terlalu berkutat pada hal-hal teknis dan belum terlalu membahas hal-hal yang prinsip. Jika ini terus dibiarkan, penyelesaian hal-hal teknis akan kesulitan karena hal-hal prinsip tidak terpenuhi.
”Sebaiknya hal-hal prinsip didahulukan karena menurut konstitusi, pemilu merupakan upaya mewujudkan kedaulatan rakyat,” ujar Amiruddin saat diskusi publik bertajuk ”HAM dalam Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024”, Senin (1/11/2021).
Selain Amiruddin, hadir sebagai pembicara Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan, Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abd Rohim Ghazali, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Hairansyah, serta Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Amiruddin mengatakan, pelaksanaan Pemilu 2024 mesti berpegang pada perlindungan dan penghormatan pada HAM. Tanpa pegangan itu, akan sulit memperbaiki situasi bangsa karena prinsip-prinsip pemenuhan HAM tidak terpenuhi dalam suksesi kepemimpinan. Tanpa pemenuhan prinsip-prinsip HAM, pemilu akan sama seperti masa Orde Baru yang hanya menjadi ajang pencarian penguasa tanpa pemenuhan substansi.
”Kami berharap pemilu dapat menghasilkan pemimpin yang punya kepedulian terhadap pemenuhan hak konstitusi dan hak warga negara. Akan sangat memprihatinkan jika hasil pemilu dan pilkada tidak memberikan perbaikan pemenuhan HAM, padahal sudah habis mahal dan banyak korban,” ujarnya.
Abhan mengatakan, pemilu dan pandemi memiliki karakter yang berlawanan. Satu sisi pemilu memiliki prinsip mobilisasi, sedangkan pandemi perlu mengurangi interaksi untuk mencegah penularan. Tantangan ini akan dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 sehingga harus ada titik temu untuk menjamin hak pilih dan kesehatan.
Oleh sebab itu, perlu prasyarat pelaksanaan pemilu pada masa pandemi agar bisa menjamin pemenuhan HAM itu. Prasyarat itu adalah kerangka hukum yang kuat, dukungan anggaran yang cukup, pelaksanaan teknis penyelenggaraan yang matang, serta penerapan protokol Covid-19 yang ketat.
Menurut Titi, ada ancaman pemenuhan HAM bagi peserta, penyelenggara, dan pemilih dalam Pemilu 2024. Bagi peserta pemilu antara lain pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden dan pilkada serta ambang batas parlemen membuat parpol terhambat mencalonkan kader terbaiknya. Selain itu, adanya mahar politik, kuasa uang dan dana kampanye, serta pembegalan caleg terpilih.
Kemudian dari sisi penyelenggara, ancaman HAM terletak pada gangguan akan kemandirian dan kapasitas penyelenggara pemilu, terutama terkait penentuan jadwal dan anggaran. Penyelenggara juga sering kali menjadi sasaran atas ketidakpuasan dan kecurigaan antarpendukung sehingga membuat sulit bisa bekerja secara bebas dan adil.
Dari sisi pemilih, lanjut Titi, kepemilikan KTP-el menjadi salah satu penghambat hak pilih. Kemudian pemilih sulit menjaga kemurnian suaranya karena serangan dan tekanan politik uang yang tidak terbendung.
Rohim mengatakan, pemilu menjadi kunci pelaksanaan hak-hak dasar. Jika pemilu mampu melahirkan kepemimpinan yang baik, pelaksanaannya bisa dinilai berjalan baik. Namun saat pemilu tidak bisa dilaksanakan dengan baik, seperti ada pemaksaan dan intimidasi terhadap pemilih, hasilnya pun tidak akan baik.
Menurut dia, pemilu yang baik akan melahirkan pemimpin yang baik pula, yang memberikan hak-hak dasar kepada rakyat. Publik mesti mulai menilai kandidat-kandidat yang telah mengemuka di publik dan memilih calon yang memiliki persepsi HAM yang baik.
Hairansyah mengatakan, wacana penundaan pemilu berpotensi melanggar HAM. Sebab penting untuk memastikan pemilu tetap berjalan pada masa pandemi dengan tetap memperhatikan keamanan dan HAM warga negara. ”Undang-undang semestinya adaptif terhadap kemungkinan pandemi yang belum selesai,” ucapnya. (IQBAL BASYARI)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/11/02/pengabaian-pemenuhan-ham-berpotensi-cederai-pemilu