Kasus dugaan suap yang melibatkan bekas anggota Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan menjadi salah satu bagian kecil dari adanya potensi pengabaian suara rakyat melalui upaya partai politik mengganti anggota legislatif terpilih hasil Pemilu 2019. Kondisi ini tidak hanya merugikan caleg terpilih, tetapi juga merusak pemilu, dan menafikan suara rakyat yang diberikan kepada calon tertentu.
Kasus Wahyu Setiawan tidak dapat dilepaskan dari upaya penggantian terhadap Riezky Aprilia, yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai caleg terpilih PDI-P di daerah pemilihan (dapil) 1 Sumatera Selatan.
Riezky sudah dilantik sebagai anggota DPR. Partai menginginkan perolehan suara caleg Nazaruddin Kiemas yang meninggal sebelum pemungutan suara agar diberikan kepada Harun Masiku, caleg yang perolehan suaranya ada di urutan ketiga dari bawah.
Namun, KPU tak mengabulkannya karena sesuai dengan Peraturan KPU dan UU 7/2017 tentang Pemilu. Menurut aturan, kursi itu harus diberikan kepada peraih suara terbanyak berikutnya.
Sebelum itu, dalam konteks berbeda, ada caleg DPR terpilih yang digantikan caleg lain karena caleg terpilih tersebut diberhentikan partai politik. PDI-P mengganti caleg terpilih di dapil Kalimantan Barat 1, Alexius Akim. Dia dipecat dari PDI-P dan Michael Jeno, yang mendapat suara kedua terbanyak, mundur.
Akhirnya, Maria Lestari yang mendapat suara terbanyak ketiga mendapat kursi DPR. Selain itu, Partai Gerindra juga mengganti sejumlah caleg terpilih setelah gugatan caleg Gerindra Mulan Jameela dan kawan-kawannya dikabulkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tidak hanya di pusat, penggantian caleg terpilih juga terjadi di daerah. KPU mencatat setidaknya ada empat caleg terpilih yang batal dilantik, yakni dua caleg di Sulawesi Selatan dan dua caleg di Maluku.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Arif Wibowo saat dihubungi di Jakarta, Minggu (26/1/2020), mengatakan, peserta pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 ialah partai politik sehingga partai memiliki wewenang diskresi untuk menentukan penggantian caleg terpilih di dapil tertentu. Partai memiliki pertimbangan khusus yang sifatnya rahasia dan subyektif.
Untuk menghindari perselisihan pada masa mendatang, PDI-P mendorong mengembalikan sistem pemilu legislatif dari proporsional terbuka menjadi tertutup. Artinya, saat pemilu, partai yang menentukan caleg dengan nomor urut teratas yang berhak mendapat kursi di DPR. Ini berbeda dengan sistem proporsional terbuka di mana kedaulatan menentukan caleg yang masuk ke Senayan, ada pada rakyat pemilih. Arif beralasan, perubahan sistem itu untuk menguatkan institusi partai politik dan kepemimpinan di partai.
”Ini juga sekaligus untuk memastikan sistem kaderisasi berjalan, hasil kaderisasi itu yang akan tecermin di susunan caleg, jadi tidak sekadar caleg yang memiliki uang saja yang bisa masuk ke DPR, tetapi hasil kaderisasi partai,” katanya.
Pembenahan partai
Guru Besar Ilmu Perbandingan Politik Universitas Airlangga Surabaya Ramlan Surbakti mengatakan, fenomena ini dapat pula dipandang sebagai dampak dari sistem pemilu Indonesia yang saat ini pengaturannya campur aduk. Dalam kasus Nazaruddin Kiemas, yang meninggal, misalnya, UU Pemilu mengatakan, suara untuknya tetap sah, tetapi diberikan untuk partai. Di sisi lain, penetapan calon terpilih dalam kondisi itu diberikan kepada caleg dengan raihan suara terbanyak berikutnya.
Bila tetap ingin menggunakan sistem proporsional terbuka, menurut Ramlan, parpol harus konsisten dengan aturan yang ada, yakni memberikan kursi kepada peraih suara terbanyak berikutnya. Namun, menurut Ramlan, sistem apa pun yang diterapkan harus tetap diimbangi pembenahan demokratisasi internal parpol.
”Partai harus dikelola demokratis. Pengambilan keputusan atau isu penting dalam partai harus melibatkan anggota sehingga sifatnya inklusif. Juga harus ada transparansi pendanaan partai,” katanya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhanil mengatakan, penggantian caleg terpilih oleh parpol di tengah jalan berpotensi jadi modus baru mengganti orang secara semena-mena.
”Ini membuat pemilu jadi tak sehat. Seharusnya tidak boleh ada penggantian caleg terpilih di saat mereka dalam proses menunggu pelantikan. Hal itu sebaiknya dilakukan melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW),” katanya.
Menurut Fadli, penggantian caleg terpilih ini bukan persoalan sistem pemilu, melainkan problem elite dan parpol yang tidak konsisten terhadap demokrasi di internal parpol.
Terkait penggantian caleg terpilih, anggota KPU Evi Novida Ginting mengatakan, hal itu sudah jelas diatur di dalam UU Pemilu. Ada empat hal yang bisa mengakibatkan seorang caleg terpilih diganti, yaitu meninggal, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi syarat sebagai caleg, dan terbukti melakukan tindak pidana pemilu.
”Penggantian caleg terpilih dan PAW sudah diatur di dalam peraturan KPU dan UU Pemilu sehingga kami mengacu pada peraturan tersebut. Mekanisme penggantian caleg terpilih dan PAW berbeda. PAW dilakukan ketika caleg terpilih telah dilantik, sementara penggantian caleg terpilih dilakukan ketika belum dilantik,” kata Evi.
Selain itu, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) mengatur, anggota DPR berhenti antarwaktu karena meninggal, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Pemberhentian anggota DPR dilakukan, antara lain, apabila yang bersangkutan berhalangan tetap tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan; melanggar sumpah/janji dan kode etik DPR; dinyatakan bersalah berdasarkan putusan peradilan yang sudah berkekuatan hukum tetap karena pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih; atau diusulkan parpolnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, M Afifuddin, mengatakan, fenomena penggantian itu karena dinamika internal parpol. (RINI KUSTIASIH, AGNES THEODORA, INGKI RINALDI)
Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas. https://kompas.id/baca/polhuk/2020/01/26/kenaikan-ambang-batas-parlemen-berpotensi-meningkatkan-politik-uang/