Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo terdapat banyak sekali tindakan represif negara terhadap masyarakat sipil, mulai dari perusakan lingkungan, penyusutan ruang dan hak perempuan, pekerja, dan warga sipil, serta meningkatnya jumlah kasus korupsi. Hal tersebut disampaikan sejumlah organisasi masyarakat sipil dalam Pengadilan Rakyat Indonesia, sebagai upaya mekanisme alternatif penyelesaian sengketa hukum karena kurangnya ruang bagi demokrasi dan penegakan konstitusi.
Mereka juga menuding upaya presiden mempertahankan kekuasaannya melalui pelanggaran konstitusi dengan mengusung Gibran Rakabuming sebagai capres Prabowo Subianto. Melalui itu pemerintah hanya menargetkan penegakan hukum pada masyarakat sipil dan menutup mata terhadap petinggi yang melanggar hak asasi manusia. Hal tersebut yang melatar belakangi sejumlah masyarakat sipil menggelar pengadilan rakyat, karena masyarakat sipil dan korban yang memperjuangkan hak mereka tidak terlindungi.
“Pelanggaran HAM dan konstitusi terjadi pada masa rezim Jokowi menunjukkan kemunduran demokrasi dan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip negara hukum, sehingga berujung pada pelanggaran konstitusi. Kita dihadapkan pada kekerasan, perampasan tanah, kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ambisius demi kebijakan nasional,” kata ketua bidang advokasi dan jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zainal Arifin di Jakarta (7/5).
Pengadilan Rakyat mencatat sembilan dosa Jokowi selama menjabat sebagai presiden. Mereka menyebutnya sebagai “Nawadosa”, diantaranya; menyusutnya ruang dan penyingkiran paksa masyarakat akibat ambisi investasi Jokowi. Mereka menilai, pemerintah menggunakan kata eco atau green untuk menciptakan citra ramah lingkungan, namun sejatinya menimbulkan kerusakan ekologi dan permasalahan sosial.
Kemudian, kekerasan, persekusi, kriminalisasi dan diskriminasi terhadap orang yang menuntut haknya, kejahatan terhadap kemanusiaan dan berlanjutnya impunitas, serta komersialisasi, penyeragaman dan penaklukan sistem pendidikan yang berdampak pada kacaunya sistem akademik di Indonesia dan tingkat kesejahteraan guru.
“Impunitas yang terjadi pada rezim ini memberikan ruang bagi berlanjutnya perbuatan salah, karena tidak ada mekanisme hukuman. Jadi, penyelesaiannya harus diserahkan pada mekanisme yang disepakati masyarakat untuk memberantas impunitas,” tegas Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya.
Selain itu, pemerintah juga dianggap melindungi koruptor, dengan lemahnya putusan terhadap koruptor serta pemecatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menolak upaya pelemahan KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pemberantasan korupsi terparah terjadi pada sepuluh tahun pemerintahan Jokowi. Dari sekian kasus korupsi dengan kerugian triliunan rupiah, hanya kurang dari 10 persen yang dikembalikan ke negara.
“Sayangnya, presiden tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk memberantas kasus korupsi. Pemerintah bahkan memotong taringnya (KPK) untuk melakukan pemberantasan kasus korupsi. Selain itu, nepotisme dan politik dinasti juga diperlihatkan secara terang-terangan pada pemilu presiden tahun ini,” terang Peneliti ICW, Yassar Aulia.
Hal senada juga diungkapkan Transparency International Indonesia (TII), menurut catatan TII pelemahan pemberantasan korupsi berdampak pada kepastian hukum dan dunia usaha. TII menganalogikannya sebagai “pintu putar” yang memiliki arti pejabat pemerintah adalah pengusaha begitu juga sebaliknya.
“Praktik pintu putar” sudah biasa diterapkan di Indonesia dan menjadi salah satu hal yang paling kami tekankan dalam Pengadilan Rakyat ini,” kata peneliti TII, Bagus Pradana.
Dosa lainnya, eksploitasi sumber daya alam dan program solusi iklim yang salah kaprah. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencontohkan, eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran di Indonesia Timur untuk proyek hilirisasi nikel, solusi ketenagalistrikan menggunakan batu bara, dan penggunaan biomassa yang berdampak pada menebang hutan.
“Hari ini kita berduka karena lubang tambang di Samarinda, Kalimantan Timur, telah merenggut nyawa dua orang pelajar berusia sembilan tahun. Sejak tahun 2011 hingga 2024, terdapat 47 korban meninggal dunia di lubang tambang di Kalimantan Timur,” jelas peneliti Jatam, Muhammad Jamil.
Jumlah tersebut, lanjutnya, belum termasuk korban dari lubang tambang lainnya. Jamil mengatakan sektor pertambangan lainnya juga banyak korban akibat kondisi kerja yang tidak layak. Menurutnya penting untuk terus menuntut keadilan dan pertanggungjawaban pemerintah dan pebisnis tambang.
Pengadilan Rakyat juga menggugat pemerintahan Jokowi UU Cipta Kerja yang diberlakukan selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi. Menurut mereka UU Cipta Kerja menyebabkan buruh kehilangan hak-hak pekerja, termasuk sistem upah rendah, outsourcing, kemitraan buruh yang merugikan, dan kurangnya perlindungan keselamatan di tempat kerja.
Selain itu, mereka juga mengecam pembajakan peraturan perundang-undangan, termasuk UU ITE, Omnibus Law, Bank Tanah, Perppu Ormas, UU Minerba, dan RUU KUHP baru (RKUHP). Forum Pengadilan Rakyat menyebut aturan-aturan tersebut mempersempit demokrasi dan meningkatkan kekerasan terhadap masyarakat sipil. []