Aturan teknis bisa didesain mengetatkan pencalonan eks narapidana di pilkada. KPU perlu mendetailkan tata cara pengumuman status eks napi yang maju di pilkada.
Selain menanti putusan Mahkamah Konstitusi terkait permohonan pengaturan jeda pencalonan 10 tahun bagi eks narapidana, pengetatan syarat pencalonan bagi eks napi yang mencalonkan diri di pemilihan kepala daerah juga bisa dilakukan melalui aturan teknis. Hal ini bisa dilakukan Komisi Pemilihan Umum dengan menjabarkan secara detail ketentuan bagi eks napi untuk mengumumkan statusnya secara terbuka ke publik.
Permohonan pengaturan jeda pencalonan itu termaktub dalam permohonan uji materi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Uji materi diajukan terhadap Pasal 7 Ayat 2 Huruf g UU Pilkada.
Pemohon meminta agar ada masa tunggu atau jeda pencalonan bagi mantan napi selama 10 tahun. Dengan demikian, mantan napi tidak bisa langsung mencalonkan diri sebagai kepala daerah tanpa jeda waktu. Proses persidangan atas permohonan itu masih berlangsung di MK.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara di Jakarta, Jumat (25/10/2019), mengatakan, sekalipun belum ada putusan MK soal pengetatan syarat bagi eks napi, hal itu semestinya bisa diinisiasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat yang menyelenggarakan pilkada. Sebab, MK dalam putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015, mensyaratkan agar eks napi itu mengumumkan statusnya secara terbuka kepada pemilih. Dengan ketentuan itu, idealnya pemilih dapat mempertimbangkan dengan seksama pilihan mereka dalam pilkada.
”Tetapi ketentuan itu tidak pernah diatur detil dalam regulasi pilkada kita, misalnya, di mana pengumuman status itu harus dilakukan. Apakah di media cetak, online, atau radio, dan harus berapa lama pengumuman itu dipampang oleh eks napi,” kata Anggara.
Karena ketidakjelasan mekanisme pengumuman status eks napi itulah, ada peluang calon kepala daerah eks napi merebut hati pemilih. Pengumuman status itu juga semestinya disertai keterangan yang jelas eks napi itu dihukum dalam kasus apa.
”Hal-hal teknis itu sebenarnya bisa diatur KPU, sehingga ada aturan yang jelas bagaimana pengumuman status sebagai eks napi itu dilakukan. Tidak lagi pengumuman itu dilakukan hanya untuk memenuhi syarat pencalonan,” kata Anggara.
Dua kali masa jabatan
Kuasa hukum Perludem dan ICW Fadli Rahmadanil mengatakan, masa tunggu 10 tahun untuk eks napi itu dihitung berdasarkan dua kali periode masa jabatan kepala daerah. “Kami berharap MK mengatur kembali adanya jeda atau masa tunggu bagi cakada dari eks napi untuk mencalonkan diri. Kalau dalam putusan tahun 2009 diatur masa tunggu selama lima tahun, kini kami mengajukan masa tunggu itu selama 10 tahun,” ujarnya.
Sementara itu, anggota KPU Hasyim Asy’ari, mengatakan pengajuan uji materi tersebut tentu sudah melalui sejumlah pertimbangan dari pemohon. Di antaranya fakta terdapat sebagian kepala daerah yang berstatus mantan narapidana koruptor, kembali ditangkap setelah menjabat untuk periode selanjutnya.
”Saya kira itu (uji materi) upaya bagus. Jadi di level UU ada (larangan eks napi koruptor segera mencalonkan kembali). KPU tinggal mengadopsi saja,” sebut Hasyim.
Sementara terkait Peraturan KPU pencalonan dalam Pilkada Serentak 2020, Hasyim mengatakan saat ini proses revisi masih berjalan. Draf revisi PKPU Pencalonan Pilkada sudah diajukan ke Komisi II DPR untuk dikonsultasikan dalam rapat dengar pendapat antara KPU dengan DPR dan pemerintah. RINI KUSTIASIH DAN INGKI RINALDI
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 26 Oktober 2019 di halaman 3 dengan judul “Pengetatan Syarat Pencalonan Eks Napi Bisa Lewat Aturan Teknis” https://kompas.id/baca/polhuk/2019/10/26/aturan-teknis-kewajiban-kpu/