Diskriminasi bahkan pelecehan seksual mulai dialami perempuan yang maju sebagai calon kepala daerah di Pemilihan Kepala Daerah 2020. Fenomena ini merefleksikan bahwa politik Indonesia masih belum bisa menghargai kesetaraan jender.
Calon wakil wali kota Tangerang Selatan, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Selasa (10/11/2020), melapor kepada kepolisian atas dugaan kasus pelecehan seksual dalam kontestasi Pilkada Tangsel 2020. Seseorang bernama Bang Djoel mengunggah foto Saraswati yang tengah hamil dengan keterangan gambar bernarasi pelecehan. Saraswati dalam Pilkada 2020 berpasangan dengan calon Wali Kota Tangsel, Muhammad.
Kasus hampir serupa terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Spanduk bernada diskriminasi terhadap perempuan ditemukan di sejumlah titik, di antaranya di Kecamatan Banyuwangi dan Kecamatan Glagah. Spanduk tersebut bertuliskan ”Wong wedok iku nggone nang sumur, dapur, dan kasur, gak dadi Bupati” (Perempuan itu tempatnya di sumur, dapur, dan kasur, tidak menjadi Bupati).
Jika merujuk pada Pilkada Banyuwangi 2020, calon perempuan bupati yang dimaksud berarti Ipuk Fiestiandani yang berpasangan dengan Sugirah. Adapun di spanduk itu tidak tercantum nama pembuatnya.
Dari dua kasus itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati melihat bahwa masih banyak orang yang belum menyadari bahwa bentuk pelecehan seksual itu bukan sekadar pelecehan secara fisik, tetapi bentuknya bisa berbagai macam.
”Perempuan yang maju sebagai calon kepala daerah bisa rentan dengan kasus seperti ini. Sebab, bisa saja lawan politik menggunakan cara-cara seperti ini untuk kampanye negatif,” ujar Khoirunnisa.
Fenomena ini, lanjut Khoirunnisa, mengonfirmasi laporan Global State of Democracy yang dikeluarkan pada 2019 oleh The International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA). Dalam laporan itu terdapat beberapa aspek demokrasi yang melambat di dunia, salah satunya upaya kesetaraan jender.
Bahkan, menurut The International IDEA, jika mengacu pada tingkat keterwakilan perempuan di parlemen secara internasional saat ini, dibutuhkan 46 tahun lagi untuk mencapai kesetaraan jender. ”Dan melihat praktik-praktik di atas tampaknya memang demikian,” ucap Khoirunnisa.
Untuk itu, Khoirunnisa menilai, upaya afirmasi atau mendorong kesetaraan jender dalam politik di Indonesia tidak bisa sebatas mendorong jumlah 30 persen keterwakilan perempuan. Ruang yang ramah bagi perempuan untuk berkompetisi dalam pemilu dan pilkada juga penting diciptakan.
”Jadi, tidak sekadar jumlah (keterwakilan perempuan) yang harus diperjuangkan, tetapi mulai dari partai harus menciptakan ruang itu. Terkadang masalahnya juga ada di partai, misalnya perempuan tidak ditempatkan pada posisi yang strategis di partai politik, atau tidak di posisi yang bisa mengambil keputusan,” kata Khoirunnisa.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Divisi Pengawasan dan Sosialisasi, Mochammad Afifuddin, menyampaikan, di masa kampanye, terkadang segala cara dilakukan untuk menjatuhkan lawan. Oleh karena itu, ia pun mendorong agar kasus-kasus seperti itu diproses hukum.
Anggota Bawaslu RI Divisi Penindakan, Ratna Dewi Pettalolo, menambahkan, sejauh ini, pihaknya belum mendapat laporan terkait denga kasus yang menimpa Saraswati. ”Karena memang kewenangannya ada di kepolisian,” ucapnya.
Namun, terkait kampanye negatif seperti yang terjadi di Banyuwangi, jika terdapat laporan dari masyarakat, Bawaslu akan menindaklanjutinya. Namun, katanya, spanduk-spanduk tersebut telah diturunkan oleh Bawaslu, kepolisian, dan satuan polisi pamong praja. ”Sampai hari ini, belum diketahui siapa pelakunya,” ucap Ratna.
Khoirunnisa mengkritik Bawaslu yang hanya bekerja sesuai laporan masyarakat. Seharusnya, mereka bisa aktif menindaklanjuti temuan di lapangan.
Ia juga menyayangkan, di dalam Undang-Undang Pilkada, ada ketentuan bahwa dalam kampanye dilarang melakukan kampanye hitam, menyebarkan berita bohong, politisasi suku, adat, ras, dan antargolongan (SARA). ”Nah, seharusnya, itu tidak dimaknai kampanye secara konvensional saja, tetapi termasuk juga kampanye di media sosial,” ujar Khoirunnisa.
Saraswati lapor ke polisi
Sementara itu, menanggapi pelecehan yang dialaminya, Saraswati membuat laporan ke polisi. Saraswati yang lama memperjuangkan hak-hak perempuan, penuntasan pelecehan ini membutuhkan upaya jangka panjang dan kepemimpinan.
”Ini bukan soal pilkada. Ini contoh kecil yang dialami ribuan perempuan di seluruh Indonesia,” kata Rahayu saat dihubungi lewat telepon seusai ia melaporkan pelecehan yang ia alami ke Polres Kota Tangerang Selatan, Selasa (10/11/2020).
Sebelumnya, calon wakil wali kota Tangerang Selatan ini melaporkan akun Facebook yang bernama Bang Djoel yang menulis ”Yg Mau Coblos Udelnya Silahkan.. Udel Dah Diumbar.. Pantaskah Jadi Panutan Apalagi Pemimpin Tangsel?” di Group Facebook TANGSEL RUMAH dan KOTA KITA dan ditujukan kepada Rahayu Saraswati Djojhadikusumo.
Tulisan dari akun tersebut disandingkan dengan foto dirinya. Padahal foto di media sosial itu merupakan foto saat kehamilannya lima tahun lalu. Tangkapan layar akun Facebook tersebut kemudian beredar luas dan menjadi viral di media sosial, khususnya di kalangan masyarakat Kota Tangerang Selatan.
”Ini soal kemanusiaan dan penegakan keadilan,” ucapnya. Ia mengatakan, perbaikan harus dari segi teladan para pemimpin yang melakukan perbaikan sistem pendidikan yang mengutamakan cara berpikir kritis dan empati. Selain itu, perlu ada edukasi soal kesehatan reproduksi untuk mengajarkan soal hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang menghormati harkat dan martabatnya.
Kuasa hukum Saraswati, Maulana Bungaran, menyatakan, tuduhan itu memuat unsur pelecehan seksual serta kampanye politik hitam (black campaign) dan kampanye jahat. (NIKOLAUS HARBOWO DAN EDNA PATTIASINA)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas 11 November 2020 dengan Judul “Rendah, Penghargaan terhadap Kesetaraan Jender ” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/11/10/penghargaan-pada-kesetaraan-gender-masih-rendah/