JAKARTA, KOMPAS -Penahanan sejumlah calon kepala daerah peserta Pemilihan Kepala Daerah 2018 akibat dugaan korupsi menjadi pelajaran bagi partai politik dalam merekrut calon anggota legislatif untuk Pemilu 2019. Proses pencalonan yang transparan, tanpa mahar politik, serta berbasis kapasitas dan integritas jadi awal untuk memerangi korupsi.
Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilu 2019, partai politik sudah mulai bisa mendaftarkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, serta DPRD kabupaten dan kota pada 4 Juli-11 Juli 2018.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, di Jakarta, Selasa (27/3), menuturkan, undang-undang memang memberi kewenangan mutlak bagi partai politik untuk mengusung atau mengajukan nama-nama calon anggota legislatif (caleg) di semua tingkatan. Namun, dia juga mengingatkan pentingnya partai politik merekrut caleg secara transparan.
”Ini penting untuk memastikan kualitas dan kapasitas calon anggota legislatif. Selain itu, pada pilkada ini ada banyak calon yang ditetapkan sebagai tersangka ataupun terkena OTT (operasi tangkap tangan) KPK. Ini jadi pelajaran bagi parpol untuk mencalonkan anggota yang tidak bermasalah,” kata Abhan.
Pada Pilkada 2018 yang diselenggarakan secara serentak, sudah ada delapan calon kepala daerah, sebagian besar petahana, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi oleh KPK. Sebagian dari mereka langsung ditahan KPK.
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengatakan, idealnya partai politik menerapkan seleksi terbuka bagi kadernya lalu menginformasikan nama-nama mereka di laman daring sehingga publik bisa memberikan masukan. Dia juga menilai, proses pendaftaran caleg menjadi titik awal untuk mencegah korupsi politik saat mereka sudah terpilih sebagai anggota legislatif. Proses yang tidak transparan, bahkan melibatkan mahar politik bisa menjadi pintu masuk korupsi kolektif yang melibatkan legislatif dan eksekutif seperti yang diduga terjadi di Kota Malang, Jawa Timur, dan Jambi.
Tidak merevisi
Banyaknya calon kepala daerah Pilkada 2018 yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi membuat pemerintah mengusulkan perubahan Peraturan KPU terkait pencalonan. Dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Selasa siang, KPU dimintai pendapat mengenai hal itu. Rapat membahas persiapan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Menurut Ketua KPU Arief Budiman, belum ada rencana merevisi PKPU tentang pencalonan pilkada. Menurut dia, jumlah calon yang menjadi tersangka juga jauh lebih kecil daripada total calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang lebih dari 1.000 orang. Perubahan PKPU dengan memasukkan klausul pergantian calon, kata dia, bisa merepotkan karena bisa saja ada penetapan tersangka dengan waktu sangat dekat hari pemungutan suara. ”Nanti dianggap tidak melindungi hak pemilih?” kata Arief.
Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, menuturkan, perubahan PKPU terkait dengan pencalonan untuk memberikan tafsir ”berhalangan tetap” bagi calon yang ditahan sehingga bisa diganti membuat KPU rentan digugat. Dia menilai, sebaiknya mekanisme itu diatur dalam revisi Undang-Undang tentang Pilkada untuk pemilihan berikutnya.
ANTONY LEE DAN AGNES THEODORA