December 14, 2024

Perempuan Perlu Afirmasi

UU Pilkada perlu direvisi agar lebih banyak perempuan politisi menjadi peserta pilkada. Namun, perempuan politisi tetap harus menjaga kualitas demokrasi.

JAKARTA, KOMPAS Undang-Undang tentang Pilkada perlu direvisi untuk mengakomodasi kebijakan afirmasi guna memberi kesempatan yang lebih besar bagi perempuan politisi untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Partai politik juga dinilai bertanggung jawab membentuk sistem internal guna menyiapkan kader perempuan menuju pertarungan pilkada.

Hasil olah data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) atas data pencalonan Pilkada 2018 dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, dari 1.140 bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mendaftar, hanya 8,85 persen atau 101 perempuan yang menjadi bakal calon. Komposisi ini tidak jauh berbeda dari Pilkada 2015 (7,47 persen) dan Pilkada 2017 (7,17 persen).

Kajian Perludem terhadap latar belakang perempuan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah juga menunjukkan, mereka sebagian besar berasal dari jaringan kekerabatan, kader partai, petahana, atau bekas anggota legislatif. Kecenderungan itu konsisten muncul dalam tiga gelombang pilkada serentak. Bahkan, pada Pilkada 2018, kajian Perludem menunjukkan 42,86 persen perempuan calon kepala daerah punya latar belakang jaringan kekerabatan walaupun sebagian juga beririsan latar belakang lain.

”Apakah ini salah? Tidak juga, apalagi jika mereka memang punya kapasitas. Namun, kader berlatar belakang lembaga swadaya masyarakat, aktivis masyarakat, atau akademisi juga perlu mendapat ruang,” kata Ketua Umum Kaukus Perempuan Politik Indonesia Dwi Septiawati Djafar dalam diskusi ”Masihkah Afirmasi Keterwakilan Perempuan Mendapat Tempat?”, di Jakarta, Rabu (21/2).

Diskusi itu dihadiri pula oleh Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, Ketua Presidium Nasional Kaukus Perempuan Parlemen RI GKR Hemas, Koordinator Maju Perempuan Indonesia Lena Maryana Mukti, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, dan peneliti Perludem, Maharddhika.

Selain itu, Lena menuturkan, selama ini belum ada sistem pengaderan khusus bagi perempuan untuk disiapkan berkontestasi dalam pilkada. Menurut dia, jauh hari sebelum proses pencalonan pilkada berlangsung, parpol hendaknya menjaring kader perempuan yang punya basis sosial kuat untuk menjadi kader dari ”bawah”, serta aktivis untuk ”dilatih” intensif guna jadi calon kepala daerah di wilayah yang menjadi preferensi mereka.

Meskipun ada keinginan memudahkan perempuan dalam pilkada, GKR Hemas meminta calon tetap menjaga kualitas demokrasi sehingga tidak mencederai sistem dengan politik uang ataupun kapitalisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan.

Mengembalikan modal

Dalam dialog publik bertema ”Pilkada 2018: Pesta Politik dengan Semangat Kebangsaan”, di Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya, Jakarta, yang diprakarsai Unika Atma Jaya bersama Institute of Public Policy dan Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia, Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) Putut Prabantoro, yang berminat menjadi calon legislatif dalam Pemilu 2019, menyoroti besarnya biaya politik pilkada dan pemilu.

”Kondisi ini akan memunculkan korupsi, jual-beli jabatan, dan pembangunan yang tidak fokus,” kata Putut.

Dalam kesempatan yang sama, Staf Divisi Humas Polri Komisaris Besar Sri Suari Wahyudi mempertanyakan tidak sedikit orang mencalonkan diri dalam pilkada yang biayanya tidak sebanding dengan penghasilan sebagai kepala daerah. ”Nanti mengembalikan modalnya dari mana, ya,” ujarnya.

Adapun Direktur NU Online Savic Ali mengungkapkan, pertarungan dunia maya untuk merebut dukungan rakyat dalam pilkada juga akan berlangsung sengit. Menurut Savic, kampanye melalui internet juga memerlukan biaya yang besar. (GAL/TRA)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2018 di halaman 4 dengan judul “Perempuan Perlu Afirmasi”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/02/22/perempuan-perlu-afirmasi/