October 9, 2024

Perkuat Aturan Laporan Dana Kampanye

Dalam empat gelombang pemilihan kepala daerah serentak di Tanah Air, pelaporan dana kampanye masih sekadar menjadi formalitas. Tanpa perbaikan mekanisme pelaporan dan pemberian kewenangan investigatif ke pengawas pemilihan, pelaporan dana kampanye tidak akan menjadi sarana yang efektif untuk mencegah politik uang atau korupsi politik.

Dalam catatan Kompas, kritik soal pelaporan dana kampanye yang tidak sesuai kondisi riil sudah muncul di pilkada serentak tahun 2015, 2017, dan 2018. Di pertengahan masa kampanye Pilkada 2020, persoalan yang sama kembali muncul terkait akurasi laporan awal dana kampanye (LADK) dan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK).

Berdasarkan data yang diambil dari laman daring Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari 739 pasangan calon, ada 31 pasangan yang melaporkan LADK nol rupiah. Kemudian di LPSDK, 35 pasangan melaporkan penerimaan sumbangan nol rupiah. Sembilan di antaranya calon petahana.

Di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), pasangan  Lalu  Pathul  Bahri-M  Nursiah melaporkan awal dana kampanye Rp 500.000. Sementara di LPSDK, mereka melaporkan sumbangan nol rupiah. Selama masa kampanye yang sudah berjalan lebih dari sebulan, dari pantauan Kompas, alat peraga kampanye (APK) dari pasangan calon itu bertebaran di sejumlah daerah, kendati tak sebanyak pasangan lain, misalnya di Kecamatan Pringgarata.

Saat dikonfirmasi, juru bicara pasangan Pathul-Nursiah Lalu Amrillah, Kamis (12/11/2020), mengaku menerima banyak sumbangan perseorangan, tapi masih dikalkulasi. ”APK yang dipasang sekarang masih pakai bantuan KPU. Kalau untuk belanja lainnya, itu bantuan perseorangan, tapi belum dimasukkan ke laporan,” katanya.

Di Kota Mataram, NTB, Lalu Makmur Said-Badruttamam Ahda juga melaporkan LPSDK nol rupiah. Makmur mengatakan, hal itu lebih ke masalah administrasi. Dia mengaku menerima sumbangan dalam bentuk barang. ”Sudah ada kuitansi berapa biayanya, tetapi memang belum dimasukkan,” katanya.

Di Indramayu, Jawa Barat, pasangan calon Nina Agustina-Lucky Hakim melaporkan sumbangan terendah dibandingkan tiga kandidat lain. Nina-Lucky menerima Rp 35,2 juta. Pasangan calon Muhamad Sholihin-Ratnawati melaporkan Rp 145 juta, sedangkan Toto Sucartono-Deis Handika Rp 1,5 miliar, dan Daniel Mutaqien S-Taufik Hidayat Rp 1,8 miliar.

”Setiap donasi yang kami terima tercatat di rekening tim yang terdaftar di KPU. Memang segitu yang dilaporkan,” ujar Tommy Sugih, Ketua Tim Sukses Nina-Lucky.

Kontrol publik

Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan, berdasarkan survei KPK, pasangan yang melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dengan kondisi sebenarnya kurang dari 50 persen.

”Artinya, laporan masih jadi instrumen basa-basi karena tidak ada penegakan hukum ketika tidak menyampaikan atau menyampaikan (tetapi) isinya tidak benar,” kata Pahala.

Ia menambahkan, transparansi dana kampanye bisa mencegah korupsi karena sponsor akan terbuka. Masyarakat bisa mengontrol ketika nanti ada proyek yang diberikan kepada sponsor. Namun, kondisi itu sulit terjadi selama pelanggaran terhadap pelaporan dana kampanye tidak ditindak.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengatakan, regulasi pelaporan dan pengawasan dana kampanye harus diperkuat. JPPR mendorong agar direvisi UU Pilkada kelak, Bawaslu diberi kewenangan investigasi. Selama tak ada audit investigasi, pelaporan dana kampanye hanya akan dianggap formalitas.

Dari sisi sanksi, anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, menuturkan, UU No 10/2016 tentang Pilkada cukup baik. Pada Pasal 187 Ayat (7) disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye dipidana penjara paling singkat 2 bulan atau paling lama 12 bulan serta denda.

Namun, hal itu sulit diterapkan karena terbatasnya kewenangan pengawasan. Audit hanya dilakukan di rekening khusus dana kampanye, padahal potensi pelanggaran biasanya terjadi di rekening yang tidak terdaftar. ”Kami berharap Bawaslu diberikan kewenangan mengawasi rekening pribadi dan dana kampanye agar bisa mengecek pengeluaran di lapangan dengan laporan di rekening,” ucapnya.

Transaksi, menurut dia, sebaiknya dilakukan secara digital agar bisa dilakukan penelusuran. Jika sumbangan dilakukan dengan uang kontan, akan sulit ditelusuri. Selain itu, diperlukan standar barang umum dari bahan kampanye yang dikeluarkan pasangan. Dengan harga terstandardisasi, audit bisa dilakukan Bawaslu.

Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, mengingatkan, pemodal besar cenderung memberikan sumbangan mendekati pencoblosan karena melihat potensi kemenangan. Bahkan ada sumbangan yang diberikan ke pasangan dalam bentuk uang tunai agar tidak terdeteksi publik.

Di sisi lain, masyarakat juga belum memiliki kultur transparansi yang baik. Sebagian penyumbang tak melaporkan sumbangan kepada tim pemenangan. Sumbangan itu baru akan diakui ketika pasangan yang didukung memenangkan kontestasi dengan harapan mendapatkan imbalan sesuai dukungan yang diberikan. (SYA/PDS/ZAK/OKA/IKI/ESA/JOL)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 13 November 2020 di halaman 1 dengan judul “Perkuat Aturan Laporan Dana Kampanye” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/11/13/perkuat-aturan-laporan-dana-kampanye/