Koordinasi antara Badan Pengawas Pemilu, Kepolisian Negara RI, satuan polisi pamong praja, dan peserta pemilu dalam pelaksanaan kegiatan kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas harus ditingkatkan. Koordinasi menjadi langkah awal untuk mencegah terjadinya pelanggaran protokol kesehatan saat kampanye, termasuk untuk melindungi pengawas saat menjalankan tugasnya.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mochammad Afifuddin, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (19/11/2020), mengatakan, tidak semua kegiatan kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas diawasi oleh kepolisian dan satpol PP. Padahal, keberadaan seluruh pihak dalam kegiatan kampanye dinilai mampu mengurangi potensi pelanggaran protokol kesehatan. Jika terpaksa dilakukan pembubaran, pengawas pemilu yang melakukan penindakan akan merasa lebih aman.
”Kepolisian harus memberikan jaminan keamanan dan perlindungan hukum terhadap pengawas pemilu saat bertugas di lapangan karena kami tidak memiliki perangkat seperti mereka,” katanya.
Kepolisian harus memberikan jaminan keamanan dan perlindungan hukum terhadap pengawas pemilu saat bertugas di lapangan karena kami tidak memiliki perangkat seperti mereka.
Berdasarkan data Bawaslu, sebanyak 398 dari total 17.738 kegiatan kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas yang digelar calon kepala-wakil kepala daerah selama 5-14 November 2020 melanggar protokol kesehatan. Dari jumlah itu, sebanyak 381 kegiatan mendapatkan peringatan tertulis dan 17 kegiatan dibubarkan.
Pelanggaran protokol kesehatan pada 10 hari kelima tahapan kampanye itu merupakan yang tertinggi sejak kampanye dimulai pada 26 September. Bahkan, saat melakukan pembubaran kampanye, sebanyak 31 pengawas pemilu mengalami kekerasan fisik dan verbal.
Menurut Afif, kepolisian dan satpol PP juga memiliki peran penting dalam mencegah pelanggaran protokol kesehatan. Mereka memiliki kewenangan untuk menindak pelanggar protokol kesehatan, terutama aparat di daerah-daerah yang sudah memiliki dasar hukum pencegahan Covid-19, baik berupa peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah.
”Pilkada merupakan sebuah rutinitas dari berbagai aktivitas lain di tengah wabah, seperti perdagangan, yang harus mematuhi aturan protokol kesehatan,” ucapnya.
Sebagai langkah pencegahan, Afif meminta jajaran Bawaslu di daerah meningkatkan koordinasi dengan tim pemenangan saat membuat jadwal kampanye. Mereka diminta membuat grup percakapan yang beranggotakan seluruh liaison officer (LO) atau penghubung dari semua kandidat.
Dalam grup percakapan itu, seluruh pihak dapat mengingatkan untuk melakukan kegiatan kampanye yang sesuai protokol kesehatan. Setiap pihak kemudian bisa mengantisipasi jika terjadi pelanggaran, bahkan diupayakan agar tidak ada pelanggaran yang terjadi setelah semua kegiatan dikoordinasikan.
Di sisi lain, peserta pilkada harus tegas dalam mengatur peserta kampanye. Jika aturan hanya memperbolehkan kegiatan kampanye tatap muka maksimal 50 orang, peserta pilkada harus bisa mengatur massa yang datang jika jumlahnya melebihi ketentuan. ”Tidak ada logikanya jika ada lebih dari 50 orang berkumpul di waktu dan lokasi yang sama jika tidak ada koordinasi,” ujar Afif.
Penindakan lemah
Kami menemukan beberapa kandidat seperti di Jambi, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara berkali-kali melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Berkali-kali pula mereka hanya diberikan sanksi berupa teguran tertulis.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby menilai pelanggaran protokol kesehatan yang cenderung meningkat disebabkan penindakan yang lemah. Sanksi berupa peringatan tertulis tidak memberikan efek jera bagi kandidat.
”Kami menemukan beberapa kandidat seperti di Jambi, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara berkali-kali melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Berkali-kali pula mereka hanya diberikan sanksi berupa teguran tertulis,” katanya.
Menjelang akhir masa kampanye, kegiatan kampanye diperkirakan semakin meningkat. Potensi pelanggaran protokol kesehatan pun kemungkinan akan meningkat. Oleh sebab itu, Bawaslu harus lebih berani memberikan sanksi berupa pembubaran atau bahkan pengurangan masa kampanye. Dengan sanksi tersebut, kandidat akan berpikir ulang jika kampanyenya melanggar protokol kesehatan. ”Hanya penindakan dengan sanksi paling tegas yang bisa menimbulkan efek jera,” ucap Alwan.