Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merilis kajian hasil Pemilu 2024 terhadap proyeksi keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasilnya angka keterwakilan perempuan diproyeksikan naik menjadi 128 kursi atau 22,1% dibanding Pemilu 2019 dengan 20,5% atau 118 kursi. Perludem menilai pada pemilu keenam sejak Reformasi 1998 harusnya angka keterwakilan perempuan sudah bisa mencapai 30%.
“Kesimpulan kami, andai saja Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa memastikan setiap dapil bisa 30% keterwakilan perempuan, angka keterwakilan perempuan bisa meningkat lebih jauh dari ini,” kata Peneliti Senior Perludem, Heroik Pratama dalam diskusi “Proyeksi Keterwakilan Perempuan di DPR Hasil Pemilu 2024” di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat (28/3).
Sebelumnya KPU melalui PKPU/10/2023 dianggap mengeluarkan kebijakan yang memundurkan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam bentuk kuota pencalonan 30% perempuan di parlemen. Kebijakan tersebut berisi formula penghitungan keterwakilan perempuan berupa pembulatan ke bawah pada penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) pada tiap daerah pemilihan (dapil). Mahkamah Agung (MA) telah mengoreksi kebijakan tersebut melalui Putusan MA No.24 P/HUM/2023 yang memerintahkan KPU mencabut pasal tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD, UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), dan UU Pemilu. Namun KPU mengabaikan perintah itu hingga DCT ditetapkan.
Akibatnya, setidaknya terdapat 266 DCT dari total 1.512 DCT anggota DPR yang ditetapkan dan diumumkan KPU tidak memuat ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Selain itu imbas lain dari kebijakan tersebut, dari 18 partai politik peserta pemilu 2024, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memenuhi syarat 30% keterwakilan perempuan di 84 dapil, sementara 17 partai politik sisanya tidak semua dapil memenuhi kuota caleg perempuan.
“Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya ada tren kenaikan jumlah keterwakilan perempuan namun jumlahnya belum signifikan,” jelas Heroik.
Setelah pengumuman resmi hasil pemilu oleh KPU, Perludem melakukan konversi perolehan suara partai politik untuk mengukur perolehan kursi partai dan angka keterwakilan perempuan di DPR masing-masing partai. Penghitungan dilakukan menggunakan data perolehan suara berdasarkan formulir rekapitulasi perolehan suara model D. Hasil melalui Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Menurut Heroik angka keterwakilan perempuan masih sangat mungkin bisa berubah, tergantung putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Proyeksi perolehan kursi perempuan caleg paling banyak terdapat di Partai PDIP dengan 27 kursi atau 24,5% dari jumlah total 110 kursi partai. Sementara partai Golkar diisi 20 perempuan caleg (19,6%) dari 102 total kursi partai, 19 kursi caleg perempuan (22,1%) diperoleh Partai Gerindra, Partai Nasdem 21 kursi (30,4%), PKB 14 kursi (20,6%), PKS 9 kursi (17%), PAN 9 kursi (18,8%), dan Partai Demokrat sebanyak 9 kursi didapat perempuan caleg (20,5%).
“Total angka keterwakilan perempuan di DPR RI kurang lebih 128 perempuan yang terpilih dengan persentase 22,1%. Angka ini masih jauh dengan standar keterwakilan yang ditetapkan secara global,” jelas Heroik.
Lebih lanjut, Heroik menerangkan sejatinya nomor urut dalam sistem proporsional tidak memiliki arti, namun ternyata angka keterwakilan perempuan erat kaitanya dengan nomor satu atau dua yang dianggap caleg prioritas. Sementara hanya caleg perempuan tertentu yang memiliki kedekatan dengan elite partai dan sumber dana yang kuat yang mendapatkan nomor urut prioritas. Setidaknya terdapat 73 caleg perempuan yang terpilih adalah caleg dengan nomor urut 1, 26 caleg dengan nomor urut 2, 18 caleg dengan nomor urut 3, dan 4 caleg dengan nomor urut 4.
Menurutnya, salah satu faktor penyebab rendahnya keterwakilan perempuan karena penempatan calon perempuan mayoritas menggunakan nomor 3 ke atas. Padahal seharusnya jika menggunakan sistem zipper penentuan nomor dilakukan dengan sistem silang laki-laki dan perempuan.
“Rata-rata 60% DPR yang terpilih ditempatkan di angka 1, sementara angka perempuan yang ditempatkan di nomor 1 masih jauh sekali dibandingkan dengan laki-laki, mayoritas perempuan di nomor urut 3,” jelasnya.
Sementara itu terdapat 16 dapil yang diproyeksikan tanpa keterwakilan perempuan sama sekali, artinya semua kursi diisi oleh caleg laki-laki. Dapil tersebut diantaranya adalah; Aceh I dan Aceh II, Jambi, Kepulauan Riau, Jawa Tengah (Jateng) I dan X, Jawa Timur (Jatim) II, IV dan V, Kalimantan Barat II, Kalimantan Selatan I, Gorontalo, Papua, Papua Selatan, Tengah, dan Papua Pegunungan.
Terdapat juga Dapil dengan keterwakilan perempuan 10%-28% yang tersebar di 28 dapil, sementara itu terdapat 20 dapil dengan keterwakilan perempuan 30%-50%. Bengkulu menjadi dapil dengan persentase keterwakilan perempuan terbanyak dengan 100% kursi diisi oleh perempuan, 5 dapil lainnya seperti Jabar I, Jatim I, Sumatera Utara, Maluku Utara, dan Maluku rata-rata memperoleh 50%-100% keterwakilan perempuan.
Menanggapi hal itu, Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Kurniawati Hastuti mengapresiasi perjuangan perempuan caleg, karena dalam kondisi Pemilu 2024 yang cukup buruk masih bisa mengkonsolidasikan diri. Namun sayangnya dari caleg yang terpilih mayoritas adalah caleg mempunyai sumber daya dan kuasa yang kuat, menurutnya hal itu tercermin dari caleg yang memperoleh nomor prioritas adalah caleg yang mempunyai hubungan dengan dinasti politik.
“Sebenarnya banyak sekali tantangan yang dihadapi, selain struktural juga ekonomi karena biaya politik yang dibutuhkan tinggi. Investasi sosial terhadap jejaring perempuan ini ternyata belum cukup kuat,” ucapnya.
Sementara itu Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati mengatakan, 22,1% keterwakilan perempuan tersebut masih jauh dari kata cukup, karena kursi perempuan caleg belum cukup signifikan untuk menentukan kebijakan berperspektif keadilan gender. Harusnya perjuangan bertahun-tahun affirmative action keterwakilan perempuan sudah mencapai 30% pada Pemilu 2024.
“Harusnya Pemilu 2024 ini 30% itu tercapai, bukan stagnan. Ini mungkin juga bisa dijadikan peta jalan untuk revisi peraturan UU Pemilu. Harusnya sistemnya diubah agar anak muda dan perempuan juga punya ruang,” tegasnya.
Direktur Program The Habibie Center, Julia Novrita memandang jika pemerintah tidak mengupayakan dan mengintervensi keterwakilan perempuan, ruang demokrasi untuk perempuan hanya sebatas 20% saja. Menurutnya hal itu juga dampak banyaknya stigma soal perempuan di masyarakat, untuk itu perlu upaya yang terlembagakan untuk mendorong keterwakilan perempuan.
“Jika ingin negara ini lebih baik demokrasi lebih baik mari kita bersama-sama mendorong perempuan dalam politik,” tegas Julia. []