Maret 19, 2024
iden

Permasalahan Pemilihan Anggota KPU Bawaslu Tanpa Voting

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah memilih anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 17 Februari 2022 dini hari. DPR tidak menggunakan mekanisme pemilihan berdasarkan suara terbanyak (voting). Pilihan mekanisme ini punya permasalahan yang menggambarkan integritas dan kualitas buruk serta bisa berdampak pada Pemilu 2024.

DPR menyiarkan semua proses uji kelayakan dan kepatutan calon anggota KPU Bawaslu secara langsung melalui TV Parlemen dengan tautan https://tvr.dpr.go.id/tv. Dimulai sejak 14 Februari 2022 dalam rapat pleno, DPR mengakhiri dan menutupnya pada 16 Februari 2022 sekitar 22.45 WIB. Lalu rapat pleno dibuka kembali pada 17 Februari dini hari sekitar 1.20 WIB dengan menghasilkan semua nama anggota KPU Bawaslu.

Tujuh nama anggota KPU terpilih, sesuai abjad: 1. August Mellaz; 2. Betty Epsilon Idroos; 3. Hasyim Asy’ari; 4. Idham Holik; 5. Mochammad Afifuddin; 6. Parsadaan Harahap; dan 7. Yulianto Sudrajat.

Lima nama anggota Bawaslu terpilih, sesuai abjad: 1. Herwyn Jefier Hielsa Malonda; 2. Lolly Suhenty; 3. Puadi; 4. Rahmat Bagja; dan 5. Totok Haryono.

Masalah perubahan mekanisme

Mekanisme pemilihan anggota KPU Bawaslu tersebut bisa menjadi masalah jika dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya. Pada 2012 dan 2017, DPR menggunakan mekanisme voting. Anggota KPU Bawaslu terpilih pada 2012 dan 2017 merupakan nama-nama yang memperoleh suara terbanyak dari anggota DPR.

Mengubah mekanisme pemilihan menjadi tanpa voting merupakan sebuah masalah karena ada dalam ketentuan undang-undang yang sama. Pemilihan anggota KPU Bawaslu pada 2022 menggunakan UU 7/2017. Pemilhan anggota KPU Bawaslu 2012 dan 2017 pun menggunakan ketentuan yang sama dalam UU 15/2011.

Pasal 25 dan 121 ayat (7) UU 7/2017 serta Pasal 15 dan 89 ayat (7) UU 15/2011 bertuliskan:

Pemilihan calon anggota KPU dan Bawaslu yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan berdasarkan mekanisme yang berlaku di DPR.

Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini berpandangan, pilihan mekanisme DPR tanpa voting membuat peta koalisi sulit dilihat hubungannya dengan hasil keterpilihan anggota KPU Bawaslu. Dalam voting pada 2012 dan 2017, semua bisa menyaksikan siapa calon anggota KPU Bawaslu yang memperoleh suara terbanyak dan siapa yang paling sedikit. Perbedaannya suaranya bisa signfikan. Ada yang mendapat suara banyak sekali, ada yang hanya satu suara.

“Tinggal jumlahkan kursi partai lalu komparasikan dengan suara yang didapat tiap calon anggota KPU Bawaslu. Dengan ini kita bisa tahu,” kata Titi (17/2).

Masalah peringkat

Mekanisme pemilihan anggota KPU Bawaslu 2022 yang tanpa voting, berkonsekuensi pada nama-nama tanpa peringkat atau pengurutan yang tidak jelas. Peringkat keterpilihan anggota KPU Bawaslu 2012 dan 2017 berdasarkan suara terbanyak dari anggota DPR. Keterpilihan anggota KPU Bawaslu 2012 dan 2017 pun bisa disaksikan secara terbuka oleh seluruh rakyat Indonesia secara langsung.

Undang-undang pemilu yang berlaku sekarang masih mempunyai ketentuan peringkat. Berikut sejumlah ketentuan peringkat dalam UU 7/2017 yang bisa menjadi masalah:

Pertama, Pasal 15 dan 89 ayat (3) UU 7/2017 yang berbunyi: Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan 7 (tujuh) calon anggota KPU dan 5 (lima) calon anggota Bawaslu peringkat teratas sebagai calon KPU dan Bawaslu terpilih.

Kedua, Pasal 37 dan 135 ayat (5) huruf a yang berbunyi: anggota KPU dan Bawaslu digantikan oleh calon anggota KPU dan Bawaslu urutan peringkat berikutnya dari hasil pemilihan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Negrit), Hadar Nafir Gumay menilai, mekanisme tanpa voting punya masalah undang-undang dan berkonsekuensi pada masalah yang lain. Menurutnya, UU 7/2017 sudah jelas punya ketentuan peringkat.

“Pasal 25 ayat (3) jelas menyebutkan adanya urutan peringkat. Jadi perlu ada dasarnya. biasanya digunakan angka atau peniliaian. Selama ini dengan jumlah suara. Kali ini tidak jelas,” ujar Hadar (17/2) yang merupakan salah satu dari anggota KPU terpilih pada 2012.

Jumlah suara yang diperoleh tiap calon anggota KPU Bawaslu hasil voting menghasilkan peringkat dari yang paling banyak suaranya sampai yang paling sedikit suaranya. Ini bukan hanya sebagai bagian menjalankan undang-undang tapi juga jadi dasar bukti keterpilihan dan pergantian jika calon terpilih mengalami pergantian tetap pada tengah periode.

Masalah administrasi

Mekanisme pemilihan anggota KPU Bawaslu tanpa voting pun bisa bermasalah secara administrasi. Masalah ini bisa diajukan keadilannya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Akademisi Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menjelaskan, dalam peradilan PTUN ada tiga hal yang bisa dipermasalahkan. Pertama, bukan kewenangan. Kedua, mencampuradukan kewenangan. Ketiga, dan sewenang-wenang.

“Tiga hal itu salah satu alat ukurnya adalah melanggar undang-undang,” jelas Feri.

Mekanisme tanpa voting ini membuat proses dan hasil uji kelayakan dan kepatutan calon anggota KPU Bawaslu yang dijalankan oleh DPR semakin jauh dari undang-undang. Sebelumnya, Feri biasa menekankan ketentuan komposisi perempuan minimal 30% dalam anggota KPU Bawaslu. DPR dengan kewenangannya, telah memilih anggota KPU Bawaslu tanpa voting, lalu tidak punya dasar peringkat yang jelas sekaligus menghasilkan perempuan anggota KPU Bawaslu di bawah 30%.

Masalah integritas

Permasalahan tersebut menggambarkan integritas buruk dari keseluruhan alur pemilihan anggota KPU Bawaslu. Mekanisme tanpa voting DPR yang terbuka menjadi setali tiga uang dengan mekanisme tanpa keterbukaan di Tim Seleksi. Dugaan sudah ada nama-nama pasti, seperti menjadi terbukti. Ini semua menyia-nyiakan waktu panjang dan pendanaan besar penyelenggaraan negara.

Titi menyampaikan, tujuh nama anggota KPU dan lima nama anggota Bawaslu yang dipilih pada 17 Februari 2022 merupakan nama-nama yang sama dengan informasi yang beredar sejak 11 Februari 2022. Jika penentuan pemilihan melalui voting dan proses yang terbuka, semua rakyat bisa mengetahui proses bagaimana hasil keterpilihan itu bisa dicapai.

“Aneh. Ini persis sama dengan nama-nama yang pertama kali bocor. Peringkat selama ini di seleksi anggota KPU Bawaslu dan banyak lembaga independen lain, dimaknai sebagai peringkat suara yang diperoleh dari anggota DPR. Voting para anggota DPR merupakan wujud keterbukaan dan pertanggungjawaban,” tutur Titi.

Hadar menambahkan, hasil ini semua dengan mekanisme tanpa voting, merupakan konsekuensi dari DPR yang sudah menentukan nama-nama sejak awal. DPR tidak siap dengan catatan, suara, dan angka yang bisa disaksikan langsung dan dipertanggungjawabkan.

“Jika mau musyawarah mufakat, DPR bisa juga lewat rapat yang terbuka, sehingga bisa kita dengar kenapa si A dipilih diletakan pada peringkat sekian dengan segala pertimbangannya,” ujar Hadar.

Anggota KPU Bawaslu 2022-2027 akan menyelenggarakan Pemilu Serentak 2024. Pada pesta demokrasi ini, semua jenis pemilu dari pemilihan presiden, pemilu DPR-DPD-DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta pemilihan gubernur-bupati/walikota diselenggarakan dalam satu tahun. Pemilu Serentak 2019 sebelumnya, punya permasalahan integritas dan kualitas di antaranya korupsi anggota KPU Wahyu Setiawan dan 800-an korban nyawa petugas pemilu. Keterpilihan anggota KPU Bawaslu 2022 yang tanpa voting dan tertutup, seperti melupakan harapan tinggi terhadap perbaikan integritas dan kualitas pemilu Indonesia. []

USEP HASAN SADIKIN