Pemilihan tim seleksi penyelenggara pemilu diharapkan terbuka pada sebanyak mungkin masukan dari masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan tim seleksi memiliki rekam jejak sekaligus kapasitas dan integritas yang baik karena akan berpengaruh pada kualitas penyelenggara pemilu yang dipilih.
Sesuai Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Presiden membentuk keanggotaan tim seleksi yang berjumlah paling banyak 11 orang dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Tim seleksi bertugas membantu Presiden menetapkan calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang akan diajukan ke DPR.
Dalam diskusi daring ”Apa Kabar Tim Seleksi KPU dan Bawaslu” yang diselenggarakan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu 2024, Rabu (6/10/2021), ditegaskan, kualitas penyelenggara pemilu akan sangat bergantung pada kualitas tim seleksi yang dibentuk Presiden.
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu 2024 yang terdiri atas 13 organisasi meminta Presiden untuk membentuk tim seleksi yang memiliki reputasi dan rekam jejak yang baik. Ke-13 organisasi itu adalah AMAN, ICW, IPC, JPPR, Kode Inisiatif, KISP, KIPP, Netfid Indonesia, Netgrit, Perludem, Pusako FH UA, Puskapol UI, dan SPD.
”Reputasi dan rekam jejak yang baik harus dimiliki tim seleksi penyelenggara pemilu karena mereka akan menghadapi berbagai godaan dan lobi-lobi, termasuk mungkin dari elite politik dan titipan-titipan dari organisasi yang membesarkannya,” kata Azka Abdi Amrurobbi dari Komite Independen Sadar Pemilu (KISP).
Jika dihitung mundur selama enam bulan berdasarkan ketentuan Pasal 22 Ayat (8) dan Pasal 118 UU Pemilu, selambat-lambatnya tim seleksi sudah harus terbentuk pada 11 Oktober 2021. Dengan waktu yang tersisa beberapa hari ini, pemerintah diharapkan menelusuri rekam jejak para calon tim seleksi melalui media sosial dan media massa. Hal ini penting untuk memastikan agar tim seleksi penyelenggara pemilu yang dipilih nantinya tidak membawa kepentingan tertentu.
Reputasi dan rekam jejak yang baik harus dimiliki tim seleksi penyelenggara pemilu karena mereka akan menghadapi berbagai godaan dan lobi-lobi, termasuk mungkin dari elite politik dan titipan-titipan dari organisasi yang membesarkannya.
Selain soal rekam jejak dan integritas, Nurul Amalia dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menggarisbawahi agar tim seleksi yang dipilih nantinya benar-benar orang yang ahli dalam kepemiluan. Syarat itu dinilai penting karena selain penyelenggaraan pemilu merupakan hal yang kompleks, pada tahun 2024, pemilu juga dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (pilkada).
”Kami mendorong Presiden untuk memilih figur-figur ahli kepemiluan yang punya kiprah dalam pemilu di Indonesia karena kehadiran mereka di dalam tim seleksi tentu menjadi jaminan akan lahirnya penyelenggara pemilu yang punya kompetensi dan keahlian dalam penyelenggaraan pemilu yang jurdil (jujur dan adil), tertib, profesional,” ujar Amalia.
Dari sisi jender, lanjut Amalia, Presiden diharapkan memilih minimal tiga perempuan untuk masuk dalam tim seleksi penyelenggara pemilu. Selain memenuhi ketentuan UU, hal itu juga penting untuk membawa perspektif jender dalam penyelenggaraan pemilu. Mereka yang dipilih pun diharapkan mempunyai komitmen tinggi terhadap demokrasi, inklusif, serta merupakan komunikator yang baik.
Pentingnya keterwakilan perempuan tersebut juga digarisbawahi Fuadil Ulum dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI). Menurut Fuadil, keterwakilan minimal 30 persen tersebut mesti dipahami sebagai jumlah minimal, bukan jumlah maksimal. Hal itu yang mestinya nanti juga dipenuhi ketika memilih anggota KPU dan Bawaslu di setiap tingkat.
”Jadi, sangat bisa keterwakilan perempuan melebihi 30 persen dan adalah menyalahi aturan ketika di bawah 30 persen,” ujar Fuadil.
Dalam konteks demokrasi di Indonesia yang dinilai menurun, termasuk karena merebaknya korupsi, Muh Afit Khomsani dari Netfid Indonesia berharap kepada Presiden agar melibatkan semakin banyak lapisan masyarakat dalam menentukan tim seleksi penyelenggara pemilu.
Hal itu penting untuk memastikan bahwa orang yang dipilih memang memiliki rekam jejak yang baik. Selain itu, diharapkan nantinya tim seleksi yang dibentuk berisi orang-orang yang peka terhadap permasalahan demokrasi di Indonesia.
Untuk memastikan itu berjalan, Aqidatul Izza Zain dari Sindikasi Pembela Demokrasi (SPD) berpandangan, pemilihan dan pembentukan tim seleksi tersebut harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal itu penting agar tidak ada pihak yang merupakan titipan dari pihak tertentu, termasuk partai politik. Terkait komposisi tim seleksi, selain dari unsur pemerintah dan akademisi, diharapkan juga terdapat tokoh-tokoh masyarakat ataupun ahli teknologi informasi. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/10/06/pilih-tim-seleksi-kpu-bawaslu-pemerintah-mesti-dengarkan-masukan-publik/