Pada 2017 lalu, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mendapatkan penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award. Ketika menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, selama dua periode yakni 2008 hingga 2018, Nurdin dinilai perkumpulan BHACA menumbuhkembangkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, serta berani memberantas korupsi.
Akan tetapi, setelah terjaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat (26/2/2021) malam hingga Sabtu (27/2) dini hari, sosok Nurdin yang dinilai antikorupsi tersebut seketika jatuh. Nurdin diduga menerima suap terkait dengan proyek infrastruktur di Sulawesi Selatan.
Dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK, diamankan uang Rp 2 miliar yang diduga pemberian Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto kepada Nurdin melalui Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum Sulsel, Edhy Rahmat. Nurdin juga diduga menerima uang dari kontraktor lain pada akhir 2020 hingga pertengahan Februari 2021 sebesar Rp 3,4 miliar.
Pada 1-2 Maret 2021, tim penyidik KPK melakukan penggeledahan di empat lokasi berbeda yakni rumah jabatan Gubernur Sulsel, rumah dinas Sekretaris Dinas (Pekerjaan Umum dan Tata Ruang) PUTR Sulsel, kantor dinas PUTR, dan rumah pribadi Nurdin.
Dalam penggeledahan tersebut, ditemukan bukti uang tunai Rp 1,4 miliar serta mata uang asing 10.000 dollar AS dan 190.000 dollar Singapura. Uang tersebut diduga terkait suap dan gratifikasi pengadaan barang dan jasa, serta perizinan dan pembangunan infrastruktur di Sulsel tahun anggaran 2020-2021.
Dugaan korupsi yang dilakukan oleh Nurdin tidak bisa dilepaskan dari mahalnya biaya Pilkada langsung. Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mencatat, sejak pilkada langsung digelar pada 2005 sampai dengan 2021, sebanyak 429 kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan.
“Ini ada persoalan besar pada sistem pemilihan kita, yaitu ada biaya pilkada yang mahal. Apa itu untuk mahar politik, bayar saksi, biaya tim sukses, kampanye, bahkan harus keluar biaya untuk menjaga spanduk kampanye,” kata Djohermansyah dalam acara Satu Meja The Forum yang disiarkan langsung di Kompas TV, Rabu (3/3/2021).
Sejak pilkada langsung digelar pada 2005 sampai dengan 2021, sebanyak 429 kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan.
Dialog bertajuk “Korupsi Tokoh Antikorupsi” tersebut dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo. Hadir juga sebagai pembicara Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron; anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil; Pengajar Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar; dan Koordinator Gerakan Saya Perempuan Anti-Korupsi (SPAK) Sulsel, Ema Husain.
Djohermansyah menuturkan, biaya pilkada sangat besar, apalagi pemilihan di tingkat provinsi. Dari penelitian litbang Kementerian Dalam Negeri, biaya yang dikeluarkan dalam pilkada bisa mencapai sekitar Rp 100 miliar hingga Rp 200 miliar.
Dari riset yang dilakukan KPK, sekitar 80 persen peserta Pilkada menggunakan uang dari sponsor, pemilik modal, dan investor politik. Alhasil, mereka pun harus mengembalikan utang dan membayar tagihan dalam bentuk memberikan kontrak serta menerima suap.
“Ini masalah Pilkada yang mahal itulah yang membuat kepala daerah selevel Nurdin Abdullah yang tokoh antikorupsi juga terjebak ke dalam kasus korupsi ini,” ujar Djohermansyah.
Nasir Djamil mengakui gaji pokok, tunjangan jabatan, dan biaya operasional yang diperoleh kepala daerah tidak besar. Akibatnya, muncul pandangan bahwa gaji penyelenggara negara kecil, tetapi uang masuknya besar.
Berdasarkan data tim riset Satu Meja The Forum, gaji pokok yang diperoleh Nurdin sebesar Rp 3 juta per bulan, tunjangan pejabat negara sebesar Rp 5,4 juta per bulan, dan biaya penunjang operasional sebesar Rp 1,25 miliar hingga Rp 14,35 milar per bulan.
“Saya tidak memungkiri bahwa biaya politik hari ini besar dan tentu ini seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus,” kata Nasir.
Biaya pilkada yang mahal ini merupakan buah dari demokrasi liberal. Uang menjadi hal yang terdepan. Di sisi lain, masyarakat juga masih permisif dengan politik uang, sehingga mengakibatkan pilkada berbiaya mahal
Ia mengungkapkan, data yang disampaikan Djohermansyah sangat mengkhawatirkan. Banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi harus menjadi momentum untuk membenahi diri. Nasir mengakui, KPK sering memberikan masukan kepada partai politik terkait dengan keuangan partai yang berintegritas. Hal tersebut bertujuan agar pengelolaan partai tidak tersentuh hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Menurut Nasir, biaya pilkada yang mahal ini merupakan buah dari demokrasi liberal. Uang menjadi hal yang terdepan. Di sisi lain, masyarakat juga masih permisif dengan politik uang, sehingga mengakibatkan pilkada berbiaya mahal. Hal tersebut berdampak pada kepala daerah yang harus mengembalikan uang yang dipinjam dari pemilik modal.
Nurul Ghufron menuturkan, banyaknya kepala daerah yang tertangkap kasus korupsi merupakan kegagalan bangsa Indonesia dalam memilih pemimpin daerah maupun pusat yang berintegritas. Menurut Ghufron, hal tersebut terjadi karena pabrik demokrasi di Indonesia masih ada yang tidak sempurna, sehingga mengakibatkan yang terpilih bukan orang yang berintegritas.
Menurut Ghufron, masyarakat sudah permisif terhadap pemberian uang dalam pilkada. Mereka menganggap hal itu biasa dan harus diberikan. Jika tidak memperoleh uang, mereka tidak akan memilih, bahkan untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) saja tidak mau.
Uang hasil suap yang diperoleh kepala daerah tersebut juga tidak semuanya dinikmati sendiri. Namun, mereka juga memberikan kepada beberapa organisasi masyarakat dan lembaga keagamaan. Uang tersebut diberikan untuk memelihara konstituennya.
Tantangan lebih besar
Zainal Arifin Mochtar yang menjadi juri ketika Nurdin mendapatkan penghargaan BHACA melihat ada perbedaan mendasar ketika Nurdin sukses di Bantaeng dengan saat menjabat gubernur Sulsel.
Menurut Zainal, persaingan di Bantaeng relatif kecil dan Nurdin merupakan elite politik di daerah tersebut. Ia dinilai mudah mengontrol Bantaeng. Ketika Nurdin pindah ke Sulsel, maka ia bukan lagi elite penguasa. Nurdin hanya salah satu di antara sekian banyak elite yang jauh lebih kuat.
Dalam konteks tersebut, menurut Zainal, Nurdin tidak mungkin bisa melawan secara penuh, tetapi harus melakukan akomodasi. Beberapa bulan setelah pelantikan Nurdin, terdapat angket dan ada upaya panitia khusus untuk menjatuhkan Nurdin. Angket berakhir dengan semacam rekonsiliasi politik di antara para pelaku politik.
“Kalau mungkin ada perilaku koruptif (di Bantaeng) itu dengan mudah dikendalikan, tetapi begitu dia pindah ke Sulawesi Selatan, terjadi kesulitan besar untuk mengendalikan. (Nurdin) tidak lagi menjadi penguasa tunggal dari seluruh komponen. Mau tidak mau, Nurdin seharusnya jauh lebih berhati-hati,” kata Zainal.
Tertangkapnya Nurdin oleh KPK diakui cukup mengejutkan masyarakat Sulsel oleh Ema Husain. Warga pun terpecah menjadi dua. Ada yang tidak percaya karena sosok Nurdin yang antikorupsi dan ada yang meyakini KPK mempunyai kelembagaan yang kredibel sehingga penangkapan terhadap Nurdin ini sudah melalui berbagai tahapan.
Perbaiki sistem politik
Nasir mengungkapkan, untuk mengatasi persoalan ini, sistem politik di Indonesia harus diperbaiki. Karena itu, DPR saat ini sedang berusaha memperbaiki sistem pemilu dan pilkada. Di sisi lain, partai politik juga memiliki tanggung jawab besar dalam mengusung calon kepala daerah.
Sementara itu, Zainal mengatakan, tingkat korupsi yang tinggi selalu berkaitan dengan demokrasi. Ia berharap, Omnibus Law untuk pemberantasan korupsi dan penegakan demokrasi yang baik dikeluarkan. Dengan cara itu, maka ada undang-undang yang menyatukan begitu banyak undang-undang mulai dari hulu sampai hilir.
Biaya pilkada diturunkan dengan cara memberi dukungan pembiayaan kepada kandidiat untuk biaya saksi dan kampanye.
Djohermansyah berharap, biaya pilkada diturunkan dengan cara memberi dukungan pembiayaan kepada kandidiat untuk biaya saksi dan kampanye. Selain itu, harus ada reformasi kepartaian dengan mengubah undang-undang yang lebih terbuka pada publik.
Pemerintah daerah diharapkan juga memperkuat pengawasan melalui lembaga inspektorat daerah. Pengangkatan kepala inspektorat tersebut sebaiknya dilakukan pemerintah pusat. Selain itu, Djohermansyah ingin KPK menempatkan orangnya di inspektorat daerah agar KPK lebih dekat dengan daerah dan membantu mengurangi kasus korupsi.
Ghufron mengakui, tugas pemberantasan korupsi dibebankan kepada KPK. KPK bekerja sama dengan aparat penegak hukum lain, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Meskipun demikian, ia menegaskan, korupsi harus menjadi musuh bersama. Jangan setengah hati melawan korupsi. (PRAYOGI DWI SULISTYO)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/03/05/pilkada-mahal-tokoh-antikorupsi-terjerat-korupsi/