Masih banyak opsi untuk menurunkan biaya politik yang harus dikeluarkan calon pemimpin daerah saat pemilihan kepala daerah tanpa harus mengubah mekanisme pemilihan menjadi kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perubahan mekanisme justru berpotensi membuat biaya politik semakin tinggi. Ditambah lagi, perubahan melenceng dari semangat reformasi.
Seperti diberitakan sebelumnya, keinginan mengevaluasi sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung oleh rakyat yang mulanya disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian disambut Komisi II DPR dengan mengusulkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Ada kemungkinan revisi termasuk mengevaluasi mekanisme pilkada langsung.
Kepala Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (15/11/2019), mengatakan, sistem pilkada langsung memang mengakibatkan calon kepala/wakil kepala daerah sering kali harus mengeluarkan biaya tinggi.
Selain ongkos tinggi harus dikeluarkan untuk kampanye, calon kepala/wakil kepala daerah kerap kali harus mengeluarkan uang besar untuk ”membeli” dukungan dari partai politik. Selain itu, tak jarang calon harus mengeluarkan biaya tinggi untuk politik uang saat hari H pemungutan suara.
Namun, mengubahnya ke sistem pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bukan berarti ongkos politik ilegal itu bisa teratasi.
Tidak tertutup kemungkinan calon tetap harus membayar mahar ke partai untuk memperoleh dukungan. Tak tertutup kemungkinan pula calon tetap melakukan politik uang, menyuap anggota DPRD agar memilihnya saat hari pemilihan.
Catatan Kompas, saat pilkada masih dipilih oleh DPRD dari 1999 sampai 2004, calon menyuap anggota DPRD agar memilihnya. Harian Kompas yang terbit tanggal 14 Maret 2000 memberitakan adanya calon kepala daerah yang menyuap anggota DPRD agar mereka memilihnya. Setiap anggota DPRD bisa disuap hingga Rp 500 juta.
Bahkan, dalam pilkada oleh DPRD, ongkos politik yang harus dikeluarkan calon tak hanya berhenti saat calon terpilih. Ketika calon sudah menjabat, terbuka kemungkinan ongkos politik lebih besar dikeluarkan.
Calon terpilih bisa terikat untuk membalas jasa kepada anggota DPRD yang memilihnya. Ini membuka peluang kebijakan yang dilahirkan koruptif. Kongkalikong ini pun tak mudah untuk terdeteksi, apalagi dengan masih lemahnya sistem pengawasan.
”Apakah itu tidak bisa diartikan sebagai biaya politik? Kita harus lebih bijak dalam memaknai biaya politik karena tidak hanya menyangkut saat menjelang dan pada hari H saja, tetapi juga setelah terpilih. Itulah yang dikehendaki sebenarnya oleh para oligarkh,” kata Firman.
Selain itu, kebijakan yang dilahirkan pun berpotensi elitis, hanya diputuskan pimpinan daerah dan DPRD. Rakyat yang menjadi obyek dari kebijakan sama sekali tak dilibatkan.
Ditambah lagi, mengembalikan mekanisme pilkada menjadi dipilih DPRD melenceng dari semangat reformasi, yaitu menciptakan pemerintahan yang bisa dijangkau masyarakat. ”Karena kita berangkat dari sebuah trauma politik, yaitu pemerintahan yang tidak bisa dijangkau, sangat eksklusif,” kata Firman.
Perbaiki aturan main
Oleh karena itu, alih-alih mengubah mekanisme pemilihan yang dampak negatifnya lebih besar, lebih baik mekanisme pilkada langsung saat ini diperbaiki. Banyak cara untuk menurunkan biaya politik tanpa harus mencabut hak rakyat untuk menentukan pimpinannya di daerah.
Salah satunya, menurut Firman, dengan menghapuskan syarat ambang batas pencalonan kepala/wakil kepala daerah. Seperti diketahui, calon harus diusung oleh partai politik atau koalisi partai yang memiliki 20 persen jumlah kursi di DPRD atau 15 persen akumulasi suara sah pemilihan anggota DPRD.
”Sebaiknya setiap orang dan setiap partai boleh mengusung calon tanpa harus membeli dukungan dari partai lain. Pembelian ’kendaraan politik’ itu merupakan awal politik berbiaya tinggi,” ujar Firman.
Di internal DPR, sejumlah fraksi juga menolak perubahan sistem pilkada dengan alasan yang sama seperti dikemukakan Firman Noor.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya. ”Belum tentu pilkada oleh DPRD lebih murah, malah bisa lebih mahal karena selama lima tahun kepala daerah ada pada posisi yang tidak kokoh. Ditambah harga kepentingan publik yang dikorbankan itu tidak ternilai,” kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera.
Dia menilai perubahan sistem ke pilkada oleh DPRD juga bentuk kemunduran demokrasi.
Mardani pun melihat ada banyak cara yang masih bisa ditempuh untuk menurunkan biaya politik juga mencegah ongkos politik yang ilegal tanpa harus mengubah sistem. Salah satunya, ambang batas pencalonan dievaluasi dan diturunkan menjadi berkisar 7-10 persen. Selain itu, masa kampanye harus dipersingkat. Cara lain, penggunaan rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo juga menolak perubahan sistem. Mengurangi biaya politik dalam pilkada langsung bisa ditempuh dengan menghilangkan komponen saksi saat pemungutan suara yang harus dibiayai oleh calon.
Saksi calon ini bisa diambil dari kader partai politik. Namun, syaratnya, mereka harus sudah melalui pendidikan politik yang matang di internal. Dengan demikian, kesadaran menjadi saksi mengawal suara calon lahir dari kesadaran politik, bukan karena iming-iming honor. (KURNIA YUNITA RAHAYU)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2019/11/16/pilkada-oleh-dprd-melenceng-dari-semangat-reformasi/