April 19, 2024
iden

Pilkada Serentak Rasa Jakarta

Pemilihan Kepala Daerah 2017 diselenggarakan serentak di 101 daerah tapi informasi Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta hampir menutupi 100 daerah lainnya. Padahal ada enam provinsi lain yang menyelenggarakan pilkada: Aceh, Bangka Belitung, Banten, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Papua Barat. Pilkada tujuh provinsi ini serentak dengan 18 pilkada kota dan 76 pilkada kabupaten.

Diukur dari jumlah pemilih, Jakarta bukan yang terbanyak di Pilkada 2017. Komisi Pemilihan Umum menetapkan Jakarta di Pemilu Presiden 2014 mempunyai daftar pemilih tetap (DPT) 7,1 juta pemilih. Bandingkan dengan Banten dengan DPT 7,7 juta pemilih. Jika dibandingkan pemilih Jakarta dengan jumlah pemilih 100 daerah berpilkada pada 2017 (41.205.115), pemilih Jakarta hanya 17%.

Jakarta pun bukan satu-satunya daerah penyelenggara Pilkada 2017 berstatus daerah kekhususan/keistimewaan. Ada 2 provinsi istimewa lain yang juga menyelenggarakan pilkada: Aceh dan Papua Barat. Ketiganya menyertakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang kekhususan/keistimewaan pilkada. Ada praktek dan potensi konflik tinggi di Pilkada Aceh dan Papua Barat tapi tertutup media penyiaran dan media sosial oleh riuh isu Ahok VS Anti-Ahok.

Menutup desain “pilkada serentak”

Pilkada serentak rasa Jakarta telah menutupi desain pilkada serentak. Kita perlu penjelasan lagi, apa itu keserentakan? Kita pun perlu pengingat lagi, apa dasar penyelenggaraan pilkada serentak 2015, 2017, dan 2018 dan apa kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019?

Dalam studi kepemiluan, pemilu serentak (concurrent elections) adalah penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu partai dalam satu tahap pemungutan suara. Tujuannya bukan semata efisiensi anggaran, melainkan menciptakan pemerintahan kongruen berwujud jumlah kursi partai/koalisi partai pengusung eksekutif terpilih menjadi pemilik kursi mayoritas di parlemen.

Teknisnya, pemilu serentak kuat mengoptimalkan couttail effect. Jika pemilih disodorkan surat suara pilihan presiden dan surat suara pilihan partai secara bersamaan, pemilih cenderung memilih partai yang mencalonkan presiden yang pemilih pilih. Pemilu berkecenderungan kuat menghasilkan parlemen kondusif terhadap presiden terpilih.

Hasil pemilu dari desain keserentakan bisa menghindari pemerintahan terbelah (divided government). Selama ini, negara bersistem presidensial multipartai ekstrim (lebih dari 5 partai kuat di parlemen) berjalan tersendat dengan indeks kualitas negara ada di peringkat buruk. Penyebabnya, pemerintah sering deadlock dengan parlemen atau bisa berjalan korup dengan politik transaksional untuk posisi kekuasaan dan proyek pembangunan antara aktor pemerintah dan partai di parlemen.

Yang terjadi di pemerintahan nasional terjadi juga di pemerintahan lokal, provinsi dan kabupaten/kota. Gubernur dan bupati/walikota berkebijakan tersendat selama periode menjabat karena cenderung dihambat kuatnya fragmentasi partai di parlemen lokal. Ini sebab, mengapa setiap pemilu menghasilkan pemerintahan terpilih, lebih banyak tak dirasa berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Ini pun sebab mengapa banyak kasus korupsi di pemerintahan daerah.

Karena itu, pilkada masuk dalam desain pemilu serentak lokal yang coba diupayakan pakar pemilu melalui penyatuan/kodifikasi undang-undang kepemiluan. Pemilu serentak lokal adalah pemilu yang diselenggarakan KPU untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota), anggota DPRD Provinsi, serta anggota DPRD Kabupaten/Kota. Karena periode kepala daerah dan DPRD saat ini belum sama, maka perlu penyelenggaraan pemilu serentak lokal transisi.

Pemilu serentak lokal pun menjadi momen evaluasi tengah tahun periode pemerintahan nasional hasil pemilu serentak nasional (pemilu presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD). Jika pemerintah nasional dinilai baik, rakyat melanjutkan pemenangan pemilu nasional dengan memilih kembali di pemilu serentak lokal. Tapi jika pemerintah nasional dinilai buruk, rakyat menghukum pemenang pemilu nasional dengan pilihan lain di pemilu serentak lokal.

Pilkada serentak transisi yang baik dirujuk di 2017 bukan Pilkada Jakarta, tapi Pilkada Serentak Aceh dan Papua Barat. Di Aceh dan Papua Barat selain pilkada provinsi juga ada pilkada kabupaten dan kota. Ada pilkada provinsi serta 16 pilkada kabupaten dan 4 pilkada kota di Aceh. Dan ada pilkada provinsi serta 3 pilkada kabupaten dan 1 pilkada kota di Papua Barat. Karena hirarkis ini, Pilkada Aceh dan Papua Barat seharusnya bisa satu penganggaran petugas, logistik, dan sosialisasi dengan pilkada kabupaten/kota sehingga tujuan efisiensi anggaran tercapai.

Belajar dari politisasi Jakarta

Sistem pemilu Pilkada Jakarta pun tak sesuai desain pemilu serentak lokal. Pemilu Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta adalah pilkada satu-satunya yang menggunakan sistem pemilu mayoritas. Sistem pemilu bersyarat keterpilihan 50%+1 ini mendorong pemilu 2 putaran jika diikuti 3 atau lebih pasangan calon.

Jika Pilkada Jakarta 2 putaran, berarti daerah ini tak sesuai keserentakan pilkada ratusan daerah lain yang menggunakan sistem pluralitas (1 putaran). Pemilu Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta tak akan bisa diserentakan dengan Pemilu DPRD DKI Jakarta walau periode menjabatnya sudah sama.

Selamanya, pemilu Jakarta akan menghasilkan pemerintahan terbelah. Gubernurnya akan kesulitan mengoptimalkan APBD yang mengharuskan kesepakatan DPRD. Sehingga, gubernur cenderung lebih banyak mengupayakan anggaran di luar APBD. Bisa anggaran dari pengembang dan bantuan/investasi asing.

Hasil politik tak sesuai dari dinamika Pilkada Jakarta lainnya adalah syarat calon jalur perseorangan. Gara-gara partai ketakutan tingginya elektabilitas Ahok dan dukungan Teman Ahok, DPR memperberat syarat calon jalur perseorangan. Pemberatan syarat ini tak hanya membuat sosok popular seperti Ahok berpindah ke jalur partai tapi juga sebagai sebab bertambah pilkada bercalon tunggal di 2015 ke 2017, dari 3 jadi 9 daerah.

Padahal kemudahan syarat calon jalur perseorangan merupakan kemutlakan pemilu serentak. Jalur inklusif kontestasi pemilu eksekutif akan menjadi penyeimbang demokrasi yang bergantung pada partai. Syarat longgar jalur perseorangan jauh lebih memungkinkan orang berkualitas hebat bisa mencalonkan di pemilu dan terpilih. Orang seperti ini biasanya terganjal syarat dukungan yang terlampau berat. Keberadaan orang-orang hebat dalam kepesertaan pemilu pun mendorong partai tak asal mengusung calon di pemilu eksekutif,

Dinamika Pilkada Jakarta yang Ahok sentris pun seharusnya menyadarkan partai dan anggota dewan Komisi II DPR mengenai ngawurnya syarat kepemilikan kursi bagi partai pengusung calon di pemilu eksekutif. Pemilu serentak sejati tak mensyaratkan kepemilikan kursi parlemen bagi partai pengusung calon di pemilu eksekutif. Tak ada pemilu partai sebelum pemilu serentak sehingga ada kepemilikan kursi yang bisa disyaratkan.

Fungsi mengoptimalkan coattail effect pemilu serentak menjadi insentif kuat partai mengusung calon di pemilu eksekutif. Elektabilitas calon di pemilu eksekutif akan mengatrol elektabilitas partai di pemilu partai. Kita bisa rujuk “Jokowi effect” dan “Prabowo effect” di Pemilu 2014. Jika pemilu eksekutif dan pemilu partai diserentakan, partai pengusung Jokowi dan Prabowo akan jauh lebih banyak meraih suara dan kursi.

Di pemilu serentak, semua partai peserta pemilu berkepentingan mengusung calon di pemilu eksekutif. Tak akan ada calon tunggal. Dan hebatnya, kita tak akan kesulitan atau kekurangan orang-orang yang akan memimpin pemerintahan seperti di pesta demokrasi lokal yang serentak diselenggarakan saat ini. Bukankah ini yang kita inginkan dalam pemilu eksekutif langsung? Atas nama demokrasi, di nasional dan lokal. Tak hanya di Jakarta tapi juga seluruh daerah. []

USEP HASAN SADIKIN