Maret 29, 2024
iden

Polemik Pilkada dalam Masa Pandemi

Lanskap politik dapat berubah secara signifikan jika pandemi Covid 19 berlangsung lama. Karakter rezim (demokratis dan otoriter), kapasitas pemerintah (governability) dan tipikal kepemimpinan kembali diperdebatkan dalam melihat kemampuan negara dan pemerintah menangani pandemic. Pandemi Covid 19 menjadi distrubsi terbesar yang melululantahkan berbagai aspek kehidupan sehingga mendorong beberapa negara memasuki tatanan baru.

Praktek politik formal seperti penyelenggaraan pemilu juga akan berdampak pada masa pandemi. Menyelenggarakan pemilu yang aman dan adil dalam masa pandemi adalah pilihan yang sangat sulit dalam karakter rezim manapun. Penyelenggara pemilu dan pemerintah harus mempertimbangkan timbal balik antara melindungi kesehatan masyarakat dalam keadaan yang tidak terduga dan tidak menentu dengan menjunjung tinggi komponen utama demokrasi.

Pemilu sebagai komponen utama demokrasi bukan hanya diselenggarakan secara periodik dan memenuhi syarat prosedural demokrasi saja, tetapi setidaknya mengarah pada pencapaian tujuan substantif pemilu yaitu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam membentuk pemerintahan yang efektif dan berpihak pada rakyat. Pada konteks pilkada kalau belum mampu melahirkan “primus inter pares”, setidaknya melahirkan kepala pemerintahan daerah berdasarkan atas kehendak umum yang memiliki tingkat legimitasi dan justifikasi yang tinggi. Legitimasi dan justifikasi diperoleh dengan menyelenggarakan pilkada dengan keterpenuhan asas dan prinsip pemilu dalam keadaan normal maupun dalam keadaan tertentu seperti masa pandemi

Polemik pilkada dalam masa pandemi terjadi mengingat penyebaran virus berdampak signifikan dengan siklus pemilu. Siklus pemilu atau serangkaian langkah dan proses yang terlibat dalam pelaksanaan pemilihan umum sangat berdampak dengan penyebaran virus (Landman and Splendore 2020). Siklus pemilu melibatkan sejumlah elemen yang berkaitan dengan tahapan-tahapan pemilu (pree election, in election dan post election). Dalam keadaan yang lebih normal elemen-elemen tersebut harus ada dalam penyelenggaraan pemilu. Pilkada yang akan diselenggarakan pada tahun 2020 merupakan pilkada menuju serentak gelombang ke 4 yang seharusnya lebih terkonsolidasi dibandingkan dengan pilkada sebelumnya.

Dampak Penundaan Pilkada

Tidak mudah bagi pemerintah sebagai state main organ dan penyelenggara pemilu sebagai state auxiliary organ dalam memutuskan menyelenggarakan pilkada dalam masa pandemi. Pilihan antara mewujudkan kedaulatan rakyat dalam penentuan legitimasi kepala pemerintahan (local government head) dengan melindungi keselamatan rakyat harus dipertimbangkan matang jika masih terjadi pandemi. Kalau diselenggarakan, maka  kemampuan negara untuk melakukan pemilihan lebih jauh didukung oleh rezim yang memberikan perlindungan keselamatan bagi warga. Sebagai pemegang kedaulatan, pemilih harus memastikan dirinya benar-benar aman dari resiko pandemi dalam berpartisipasi pada tahapan pemilu terutama dalam memberikan hak suaranya.

Namun menunggu situasi yang belum menentu, baru menyelenggarakan pilkada  akan bedampak pada beberapa aspek : Pertama, dapat meningkatkan ketidakpastian politik dan merongrong supremasi hukum. Penundaan dapat menciptakan kekosongan kekuasaan yang permanen dan penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun kepala daerah yang sudah berakhir masa jabatanya diisi oleh pelaksana tugas tetapi kewenangannya terbatas dalam mengambil kebijakan di daerah. Ketidakpastian terhadap pelaksanaan pilkada dapat juga dimanfaatkan kembali bagi pengusung arus balik pilkada melalui perwakilan dengan mendorong kembali pemilihan kepala daerah melalui DPRD; Kedua, berdampak pada aspek manajemen electoral, penundaan pilkada mempengaruhi kesiapan penyelenggara pemilu melaksanakan tata kelola pemilu sebagaimana yang sudah didesain dari awal, tata kelola sumber daya manusia, tata kelola teknis tahapan pemilu dan ketercukupan anggaran. Ketiga, pada aspek prilaku pemilih (voting behavioralis). Prilaku pemilih dalam bencana bisa terjadi dampak dengan mernghubungkan reaksi pemilih terhadap perisitiwa eksternal tentang pemilihan retrospektif (Fiorina, 1981) pemilih akan melihat kinerja pemerintah selama bencana. Pemilih dapat menghukum pemerintah dalam pemilihan jika mereka menganggap tidak siap dan kurang melakukan langkah-langkah yang memadai dalam memenangani bencana atau sebaliknya dengan memberikan penghargaan kepada pemerintah karena kinerjanya yang baik. Kondisi ini berdampak pada rasa keadilan bagi kontestan pemilu.

Pelajaran dari Negara yang Melaksanakan Pemilu dalam Masa Pandemi

Laporan dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) bahwa setidaknya terdapat 52 negara yang telah memutuskan menunda pemilu baik pemilu nasional maupun pemilu sub nasional dan 19 negara dan teritori yang menyelenggarakan pemilu nasional atau subnasional

Salah satu negara yang menyelenggarakan pemilhan umum dalam masa Pandemi adalah Korea Selatan. Meskipun mengalami pandemi dan sekitar 60.000 orang dalam keadaan dikarantina tetap berhasil menyelenggarakan pemilihan dengan tingkat partisipasi sebesar 66% naik sebelum pemilu tahun 2016 yang hanya 58 %. Pemilu Korea Selatan mengalami tingkat partisipasi tertinggi dalam 18 tahun sekaligus pertama kalinya anak-anak berusia 18 tahun dizinkan memilih. Kesuksesan menyelenggarakan pemilu di masa pandemi menjadikan Korea Selatan masih mempertahankan pencapaian tidak pernah menunda pemilu termasuk pemilihan presiden tahun 1952 meskipun dalam keadaan perang korea.

Pemilihan di Korea Selatan dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat.  Dalam artikel Penasehat Senior IDEA Antonie Spineli; April 2020 dengan judul Managing Election under COVID-19 Pandemic the Republic of Kore’s Crucial Test diuraikan bahwa National Election Commision melakukan tindakan luar biasa untuk meminimalkan risiko bagi pemilih dengan melakukan kebijakan antara lain mendorong pemilu pendahuluan (early voting) guna mencegah menumpuknya pemilih menggunakan suara melalui TPS, memastikan lingkungan pemilihan yang aman, menyesuaikan kampanye pemilihan dengan mengubah metode kampanye konvensional menjadi kampanye alternatif dengan menggunakan teknologi online dan digital seperti pesan video yang disebarluaskan melalui platform media sosial dan aplikasi SMS melalui ponsel.

Untuk memberikan suara di TPS, para pemilih terlebih dahulu menerapkan protokal kesehatan yang ketat dengan tindakan pencegahan seperti membersihkan tangan dengan sanitiser, memakai masker wajah dan sarung tangan plastik, berdiri paling tidak satu meter dan suhu harus diukur. Pemilih dengan suhu panas diatas 37,5 derajat celsius harus memberikan suaranya di tempat terpisah yang kemudian disinfeksi setelah setelah selesai digunakan. Orang-orang yang dinyatakan positif berada dibawah kontrol yang ketat untuk hanya memilih pada waktu-waktu tertentu dan TPS yang didesain khusus. Pemilih korea selatan 26 % memberikan suaranya lewat pemilu pendahuluan baik melalui pos atau TPS awal yang didirikan di stasiun karantina.

Pemilu dengan kondisi tersebut tentunya dijalankan dengan keadaan luar biasa termasuk dukungan anggaran yang luar biasa juga. Pertanyaan bagi pemerintah apakah mampu memberikan dukungan anggaran yang luar biasa untuk tindakan yang luar biasa dalam pilkada.

Namun berbeda dengan yang terjadi di Polandia, terjadinya fragmentasi politik serta kurangnya mode pemilihan menciptakan banyak perselisihan politik, parlemen memilih untuk melaksanan pemilihan presiden berikutnya sepenuhnya melalui pos atau menunda tanggal pemilihan sementara menunggu persetujuan dari senat (Landman and Splendore 2020) Meskipun tanggal pemilihan sudah dijadwalkan sebelum pandemi melanda Polandia, awalnya partai berkuasa bersikeras sampai menit terakhir bahwa pemungutan suara akan terus dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Keputusan tersebut ditentang oleh oposisi dan sebagian besar masyarakat Polandia yang menginginkan pemilu ditunda. Oposisi menganggap sangat susah menyelenggarakan pemilu secara aman dan adil dimasa pandemi. Virus mencegah kandidat berkampanye dan membuat petahana dapat mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Akhirnya Polandia menunda pelaksanaan pemilihan presiden hanya beberapa hari sebelum pemungutan suara.

Mengurangi Resiko Pilkada dalam Masa Pandemi

Pemerintah bersama tripatri penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) telah menyepakati beberapa hal terkait penyelenggaran pilkada tahun 2020 pada rapat tanggal 27 Mei 2020, artinya pilkada serentak gelombang 4 akan diselenggarakan pada tanggal 19 Desember 2020. Untuk mengurangi resiko dan menyelenggarakan pilkada secara aman dan adil ada beberapa langkah yang bisa diambil dalam menyelenggarakan pilkada pada masa pandemi :

Pertama, tata kelola pemilu dengan protokol kesehatan yang ketat. Menyelenggarakan pemilu dengan keadaan luar biasa memerlukan tindakan yang luar biasa. Penyelenggara pemilu harus melakukan tindakan pencegahan dan pengamanan bagi pemilih untuk berpartispasi dalam tahapan pemilu khususnya dalam memberikan hak suaranya seperti yang dilakukan di Korea Selatan. Pemilu Korea Selatan meskipun berbeda skalanya (pemilu nasional) dengan pilkada (pemilu lokal) tetapi secara teknis penyelenggaraan pemilu bisa sama.  Pemerintah harus menumbuhkan publict trush kepada pemilih dengan mengambil kebijakan yang tepat dalam menanggulangi pencegahan dan penangan pandemi covid 19

Kedua, penyelenggaraan tahapan berbasis Teknologi Informasi . Pilkada dalam era revolusi industri 4.0 seharunya bisa menerapkan sistem electronic, meskipun memiliki resiko keamanan dan tidak semua tahapan bisa diselenggarakan secara virtual. Electoral law baik Undang-Undang Pilkada maupun Perpu belum mengatur (khususnya tahapan voting day ) sehingga tidak memiliki legitimasi dalam penyelenggaraan tahapan. Tetapi beberapa tahapan bisa diselenggarakan secara virtual. Misalnya tahapan pencalonan,  penetapan dan pengundian nomor peserta pemilu tidak perlu lagi harus melibatkan massa peserta pemilu. Metode kampanye dengan mengubah metode kampanye konvensional seperti rapat akbar yang melibatkan massa, kampanye tata muka dan kampanye peertemuan terbatas dengan metode kampanye alternatif menggunakan teknologi informasi. Namun melaksanakan kampanye virtual harus menghindari kampanye elitis dan inklusif serta mempertimbangkan aksesbilitas bagi setiap pemilih khususnya pemilih yang ditinggal dipelosok.

Ketiga, inovasi teknis penyelenggaraan pilkada. Penyelenggara pemilu sebaiknya melakukan terobosan untuk menyelenggarakan pilkada yang aman dan adil tanpa bertentangan dengan regulasi yang ada. Pemilu pendahuluan (early voting) dan pemberian suara melalui post memang belum diterapkan di Indonesioa kecuali untuk pemilihan presiden dan legislatif diluar negeri. KPU bisa membuat terobosan pemungutan suara pilkada seperti diluar negeri atau mekanisme lain dan atau memperbanyak serta mendekatakan TPS dengan pemilih serta mengurangi penumpukan pada tempat pemberian suara

Keempat, pengawasan semesta berbasis crowdsourcing. Pengawasan semesta berangkat dari pemikiran bahwa setiap warga bisa jadi pemantau paling tidak mengawasi hak pilihnya agar tidak disalahgunakan. Crowdsourcing, dalam perkembangannya lekat dengan aktivitas sosial politik dan mulai diperkenalkan sebagai mekanisme volunterisme dalam aktivitas politik era digital (Surbakti dan Fitrianto; 2015) . Crowdsourcing memperluas cakupan masyarakat (semesta) dalam pengawasan pemilu. Data dan informasi dari crowdsourcing dijadikan informasi awal oleh Bawaslu untuk ditindak lanjuti menjadi temuan dan diproses sebagai pelanggaran jika memenuhi unsur baik dari segi formil dan materil.  Pengawasan semesta berbasis crowdsourcing dapat dijadikan sebagai Trasformasi Bawaslu dalam pelibatan masyarakat model pengawasan pada masa pandemi dengan mengedapankan paradigma pencegahan (preventif) dibandingkan dengan represif atau penindakan.

Untuk menyelenggarakan pilkada yang memenuhi komponen silkus pemilu serta menghindari polemik pilkada masa pandemi setidaknya pemerintah dan penyelenggara pemilu harus memiliki kapasitas untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan dengan mengedepankan pencegahan dan perlindungan masyarakat dari pandemi serta memastikan pilkada berlangsung aman bagi konstituen dan penyelenggara pemilu serta adil bagi konstestan.  Harus ada komitmen bersama antara aktor politik termasuk masyarakat sipil untuk meciptkan kondisi politik yang sehat bagi terselenggaranya perwujudan kedaulatan rakyat melalui pilkada pada masa pandemi. []

AS RIFAI

Dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Tadulako

Anggota/Ketua Bawaslu Sul-Teng 2012-2017