Pilkada merupakan salah satu pilar dalam implementasi demokrasi di Indonesia untuk memperbesar kesempatan partisipasi politik, khususnya di tingkat lokal. Namun, dalam prakteknya, Pilkada seringkali menjadi medan pertempuran politik yang merusak integritas demokrasi. Isu penurunan batas usia pencalonan, yang baru-baru ini menjadi sorotan, menjustifikasi fenomena politik dinasti dan bosisme lokal.
Bosisme lokal, menurut John Sidel (1997), merupakan elite lokal yang berperan sebagai broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial daerah. Dengan kata lain, bosisme lokal menggambarkan kontrol oligarkis oleh seorang pemimpin lokal atas politik dan perekonomian termasuk memanfaatkan patronase politik, kekuatan ekonomi, dan hubungan pribadi untuk mempertahankan kekuasaan. Bosisme lokal memperbesar peluang pemimpin lokal yang berpengaruh dalam politik dan ekonomi daerah untuk mempertahankan atau mengekspansi dominasinya. Inilah gambaran ketika politik dinasti dan bosisme lokal bersembunyi dan berjalan di balik sistem politik formal dan mempengaruhi regulasi.
Fenomena itu tidaklah jarang terjadi di Indonesia. Dalam Pilkada Serentak 2020, 124 kandidat terafiliasi dengan dinasti politik, serta 71,25% daerah pemilihan (dapil) terindikasi dinasti politik (Syauket, 2021). Contoh nyatanya adalah keluarga-keluarga politik yang secara turun-temurun menguasai kepemimpinan di berbagai daerah. Kasus di daerah Banten menunjukkan bahwa pejabat petahana yang terpilih kembali dan dilanjutkan oleh golongan politik kelompok yang berimplikasi pada kasus korupsi. Selain itu, Kabupaten Sleman yang memiliki riwayat politik dinasti yang panjang mengakibatkan masyarakat di luar keluarga penguasa tidak mendapat kesempatan untuk berkontestasi dengan adil dalam kursi kepemimpinan.
Dinamika
Penerapan desentralisasi di Indonesia mengakibatkan implikasi yang tidak bisa dibendung. Arena kontestasi elite politik lokal daerah relatif lebih terbuka. Tentu saja, pilkada menjadi ajang bergengsi untuk memperebutkan kursi nomor satu daerah. Oleh karenanya, tidak sedikit pihak yang ingin mempertahankan jabatannya untuk terus berkuasa. Hal ini menyebabkan berbagai aktor berupaya untuk tetap memegang kendali politik. Sebagaimana dalam teori pilihan rasional berargumen bahwa orang yang telah memiliki kekuasaan cenderung ingin mempertahankan kekuasaannya.
Putusan Mahkamah Agung (MA) No.23 P/HUM/2024 atas uji materil Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.9 Tahun 2020 tentang Perubahan keempat atas PKPU No.3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota menjadi isu kontroversial. Pasalnya, proses pengajuan putusan ini terjadi begitu cepat dalam tiga hari sehingga menimbulkan banyak spekulasi. Isu ini mencuat bersamaan dengan wacana majunya Kaesang, putra Presiden Jokowi, sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada mendatang. Fenomena ini mengindikasikan banyak hal yang mengecam prinsip demokrasi.
Salah satu implikasi krusial dari pilkada secara langsung adalah munculnya politik dinasti dan bosisme pilkada. Politik dinasti mengacu pada praktik keluarga atau garis keturunan politik mendominasi jabatan-jabatan tertentu dalam jangka panjang. Menurut Djati (2013), dinasti politik ini biasanya terdiri dari koalisi birokrat, bos-bos partai, pengusaha, ataupun militer. Mereka menggunakan kekuatan negara untuk memanfaatkan posisi strategis dan menjalankan strategi politik. Dalam beberapa kasus, seperti di Kediri, Tuban, Kutai Kartanegara, dan Probolinggo, model berbasis famili/kuasa gono-gini masih terlacak dalam kepemimpinan daerah (Djati, 2013).
Isu perubahan Putusan Mahkamah Agung tentang penurunan batas usia calon kepala daerah telah memunculkan berbagai spekulasi. Meskipun, keputusan ini dibawa dengan argumen untuk memperluas kesempatan generasi muda terlibat dalam kepemimpinan daerah. Keputusan ini lebih banyak mengundang kritik karena potensinya untuk memperkuat politik dinasti dan bosisme lokal.
Dalam politik dinasti, penurunan batas usia seolah memudahkan keluarga-keluarga politik yang sudah mapan dalam mempertahankan dominasi kekuasaan. Kepemimpinan baru dari keluarga pejabat politik petahana dapat dengan mudah mencalonkan diri dan memperbesar peluang mewarisi kekuasaan politik. Tentu hal ini dapat menghambat rotasi kepemimpinan dan membatasi kesempatan masyarakat lain.
Keterkaitan antara politik dinasti dan bosisme lokal ini menghambat tujuan demokrasi untuk memperbesar peluang masyarakat dalam kontestasi politik. Pilkada seolah tidak dapat diperebutkan berdasarkan kemampuan dan visi semata, tetapi berdasarkan kontrol atas sumber daya dan jaringan politik yang telah ada. Sebagaimana teori pilihan rasional melihat bahwa individu bertindak berdasarkan kepentingan pribadi dengan cara-cara rasional untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Seseorang yang telah tenggelam dalam pusaran kekuasaan akan berusaha mempertahankannya karena kemudahan atas kontrol atas sumber daya, pengaruh politik, dan status sosial. Akibatnya, proses demokratisasi yang seharusnya memberikan kesempatan bagi pemimpin baru dan ide-ide segar terkadang terhambat oleh kepentingan kelompok kecil yang telah lama berkuasa.
Implikasi terhadap Demokrasi
Politik dinasti dan bosisme lokal dapat mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi. Pilkada langsung telah memberikan otoritas yang lebih besar kepada masyarakat dalam menentukan siapa yang akan memimpin mereka secara langsung. Namun demikian, dalam prakteknya, hal ini juga memunculkan tantangan besar dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Pertama, dominasi politik dinasti dan bosisme lokal dapat menghambat perkembangan dan sirkulasi demokrasi lokal yang sehat dan inklusif. Rotasi kepemimpinan yang minim dan dominasi keluarga-keluarga politik tertentu dapat mempersempit ruang untuk ide-ide segar dan inovasi dalam tata kelola pemerintahan. Kepemimpinan yang terlalu lama dan terus-menerus dalam satu kelompok juga dapat memperkuat nepotisme dan korupsi. Bahkan, garis efidensi dinasti politik, menurut Syauket (2013) juga terlihat pada Pilkada Serentak 2020 sehingga Indonesia masih berada di pusaran korupsi yang tak berkesudahan.
Kedua, perubahan aturan Pilkada yang terkadang terkesan mendadak, terburu-buru, dan tidak konsisten semakin memperkuat bukti dan mencerminkan intervensi politik kepentingan kelompok tertentu. Perubahan keputusan ini dapat merusak integritas proses demokrasi yang seharusnya perubahan regulasi dilakukan secara transparan dan akuntabel. Putusan Mahkamah Agung yang menurunkan usia minimal pencalonan gubernur dan kepala daerah merefleksikan dinamika peraturan dibentuk atau diubah untuk menguntungkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang ingin mencalonkan diri. Hal ini tentu mengancam prinsip kesetaraan dalam akses politik bagi semua warga negara dan bertentangan dengan tujuan utama diterapkannya desentralisasi dan penerapan Pilkada secara langsung.
Korelasi antara politik dinasti, bosisme lokal, dan isu penurunan batas usia calon kepala daerah menunjukkan adanya ancaman kerusakan sendi-sendi demokrasi. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan cenderung dipertahankan oleh mereka yang sudah memilikinya, sesuai dengan rational choice theory, bahwa individu bertindak berdasarkan kepentingan pribadi untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Impian Pilkada untuk menguatkan demokrasi perlu dikawal karena berisiko menimbulkan dominasi politik oleh politik dinasti dan bosisme lokal. []
TRIA WULANDARI
Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada