Maret 19, 2024
iden

Politik Kekerabatan Problem Struktural di Pilkada Serentak

Politik kekerabatan tumbuh subur dalam berbagai gelombang pilkada di Indonesia, termasuk di Pilkada Serentak 2020. Kendati sebagian masyarakat memandang negatif praktik ini, tetapi persoalan struktural seperti regulasi, kondisi masyarakat, dan kelembagaan politik membuat politik kekerabatan masih berpeluang terus berkembang.

Politik kekerabatan berupa pencalonan kerabat politisi nasional maupun daerah kembali mencuat di sejumlah daerah di Pilkada 2020. Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu mencatat, 60,8 persen responden menganggap politik kekerabatan sebagai sesuatu yang buruk. Kelompok responden usia muda (17-30 tahun), memiliki resistensi lebih besar terhadap politik dinasti (67,9 persen) Kompas, 3/8/2020).

Pengajar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno dihubungi di Jakarta, Senin (3/8) menuturkan, politik kekerabatan muncul karena dua hal utama. Pertama, tidak ada larangan dari regulasi bagi kerabat petahana atau pejabat publik di tingkat lokal maupun nasional untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Kedua, kaderisasi yang tidak optimal dan masing-masing partai politik berburu kemenangan dengan cepat.

“Sebaiknya mereka yang sedang berkuasa sedikit menahan diri dari keinginan berkuasa, dan menempatkan keluarganya dalam kekuasaan. Demokrasi adalah untuk melawan oligarki, jangan orang atau kelompok itu-itu saja yang berkuasa, tanpa ada sirkulasi elite,” katanya.

Bukan jaminan

Menurut Yoes Chandra Kenawas, kandidat doktor di Northwestern University, AS yang sedang meneliti politik dinasti di Indonesia, institusi politik saat ini memang menguntungkan orang-orang yang memiliki koneksi keluarga.

Akan tetapi, calon dari dinasti politik tidak bisa dijamin akan menang. Pasalnya, kata dia, selama 2015-2018, ada 117 kandidat dari dinasti politik yang menang, tetapi juga ada 85 kandidat yang kalah.

Yoes mengatakan, dinasti politik juga bisa disebabkan kondisi sosial masyarakat. Ia mencontohkan, belum matangnya masyarakat dalam kehidupan bernegara membuat mereka mudah dikelola lewat narasi-narasi politik. Di sisi lain, narasi politik bisa dibangun dengan ketersediaan logistik yang cukup. Salah satu solusi menghadapi politik dinasti, kata dia, adalah Badan Pengawas Pemilu yang kuat. Kuat di sini artinya, independen, punya kapasitas, dan fleksibilitas kuat.

“Jangan sampai Bawaslu diikat aturan-aturan yang sifatnya terlalu prosedural. Bawaslu harus bisa memastikan pemilu yang adil. Penegakan hukum harus diperbaiki,” kata Yoes.

Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin mengatakan politik dinasti menjadi persoalan karena praktiknya di Indonesia relatif buruk. Dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, memang tak ada larangan terhadap praktik tersebut, Akan tetapi, praktik yang terjadi dengan tiba-tiba dan cenderung memanfaatkan privilese tanpa melalui proses penyaringan yang adil, membuat praktik politik dinasti tidak disukai sebagian orang.

Menurut dia, cenderung dominannya resistensi kaum muda terhadap praktik politik dinasti, sebagaimana dicerminkan dari riset Litbang Kompas, diduga karena tidak terlibat dan dilibatkannya mereka dalam proses pencalonan semestinya dilakukan adil dan terbuka itu. (DIT/INK)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2020 di halaman 2. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/08/04/politik-kekerabatan-problem-struktural/