Draf RUU Pemilu belum mengatur secara detail mengenai pembatasan kampanye dan pencegahan praktik politik transaksional. Dua persoalan tersebut didorong untuk dapat dimasukkan ke dalam RUU.
Rancangan Undang-Undang Pemilu yang sedang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan mengatur secara tegas upaya-upaya sistematis untuk mencegah politik berbiaya tinggi atau politik transaksional. Selama ini, upaya pengaturan dan pencegahan terhadap politik berbiaya tinggi belum secara sistematis dikonstruksikan di dalam UU, sehingga persoalan tersebut menjadi problem laten dalam penyelenggaraan pemilu di Tanah Air.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, sejumlah hal krusial perlu diatur di dalam draf RUU Pemilu yang sedang disusun oleh DPR. Di dalam draf RUU Pemilu yang dibuat oleh tenaga ahli Komisi II dan Badan Keahlian DPR (BKD) tertanggal 6 Mei 2020, ketentuan yang secara sistematis berupaya mencegah politik uang atau politik transaksional yang berujung pada mahalnya biaya politik di Indonesia belum terlihat menjadi konsen pembuat UU.
“Di dalam draf itu, misalnya, belum ada ketentuan yang mengatur soal pembatasan belanja kampanye. Pembatasan kampanye ini setidaknya mencegah kandidat untuk jor-joran mengeluarkan uang untuk kampanye. Namun, pembatasan itu juga harus dilakukan secara realistis, dan angka yang ditetapkan untuk pembatasan belanja kampanye itu tidak terlalu besar, sehingga mencegah terjadinya politik berbiaya tinggi tetap terjadi,” kata Titi di Jakarta, saat dihubungi Rabu (10/6/2020).
Di dalam draf itu, misalnya, belum ada ketentuan yang mengatur soal pembatasan belanja kampanye. Pembatasan kampanye ini setidaknya mencegah kandidat untuk jor-joran mengeluarkan uang untuk kampanye (Titi Anggraini)
Titi mencontohkan Pilkada Jakarta, 2017, di mana batasan belanja kampanye Rp 203 miliar. Angka itu dinilai terlampau tinggi, sehingga ada potensi bagi penggunaan uang itu untuk alokasi kegiatan kampanye yang berlebihan, dan membuka potensi terjadinya transaksi uang untuk memengaruhi pilihan masyarakat.
“Seharusnya pembatasan belanja kampanye dilakukan secara realistis. Yang punya uang tidak lantas jor-joran, sedangkan yang tidak punya uang masih mampu lakukan kerja-kerja kampanye sesuai kapasitas atau kemampuan keuangannya,” kata Titi.
Saat ini yang sudah diatur di dalam draf tanggal 6 Mei ialah tentang kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk melakukan audit investigatif. Hal itu, menurut Titi, patut diapresiasi dan merupakan kemajuan. Akan tetapi, implementasi terhadap audit juga masih belum jelas diatur di dalam draf RUU Pemilu tersebut.
Selain pembatasan belanja kampanye yang diatur eksplisit di dalam RUU Pemilu, upaya untuk mencegah terjadinya politik transaksional dapat pula dilakukan untuk membatasi peredaran uang tunai selama tahapan pemilu berlangsung.
Selain pembatasan belanja kampanye yang diatur eksplisit di dalam RUU Pemilu, upaya untuk mencegah terjadinya politik transaksional dapat pula dilakukan untuk membatasi peredaran uang tunai selama tahapan pemilu berlangsung. Dengan demikian, potensi bagi terjadinya politik uang dapat diminimalisir.
Hal-hal lain yang secara sistematis perlu diatur ialah tentang rekrutmen, kaderisasi, dan pendanaan partai politik. Di dalam beberapa kali UU Pemilu, pengaturan soal rekrutmen, kaderisasi, dan pendanaan parpol tidak dimasukkan atau diwacanakan untuk dibahas di dalam RUU Pemilu. Meskipun ketiga hal itu terkait langsung dengan parpol, tetapi ketiganya memiliki dampak besar pada sistem pencalonan atau kandidasi di dalam pemilu. Sebab, parpol adalah peserta pemilu. Parpol seharusnya mengikuti ketentuan yang diatur di dalam UU Pemilu dalam rekrutmen dan kaderisasi, serta pendanaan.
Titi mengatakan, banyak kepala daerah dan penyelenggara negara yang terlibat dalam kasus korupsi adalah orang-orang yang terpilih melalui proses pemilu. Mereka pada akhirnya terlibat dalam praktik korupsi karena sejak awal mereka direkrut tidak melalui proses yang ideal. Tidak jarang para calon itu disinyalir melakukan praktik mahar, jual-beli nomor, atau pun bentuk politik transaksional lainnya, baik dengan internal partai maupun dengan pihak lain dalam pemilu atau pilkada. Praktik yang semacam itu selain berujung pada korupsi, juga memicu politik berbiaya mahal, dan kentalnya politik transaksional.
Terobosan harus dibuat oleh pembuat UU, sehingga RUU Pemilu yang nanti dihasilkan tidak sekadar memuat materi tentang sistem, desain keserentakan, ambang batas parlemen (parliamentary threshold), serta ambang batas presiden (presidential threshold), tetapi juga hal-hal substantif lainnya, seperti terkait dengan upaya pencegahan politik transaksional atau politik berbiaya mahal.
Untuk mengatasi hal itu, menurut Titi, terobosan harus dibuat oleh pembuat UU, sehingga RUU Pemilu yang nanti dihasilkan tidak sekadar memuat materi tentang sistem, desain keserentakan, ambang batas parlemen (parliamentary threshold), serta ambang batas presiden (presidential threshold), tetapi juga hal-hal substantif lainnya, seperti terkait dengan upaya pencegahan politik transaksional atau politik berbiaya mahal.
Selama ini, muncul keluhan terkait dengan politik berbiaya mahal, sehingga ada usulan untuk mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, karena proporsional terbuka dianggap memungkinkan terjadi politik uang. Namun, sebenarnya, sekalipun sistem diubah menjadi proporsional tertutup tetapi sistem kaderisasi, rekrutmen, dan pendanaan parpol tidak diatur, menurut Titi, politik berbiaya mahal dan politik transaksional itu akan tetap terjadi.
“Jika sistem proporsional tertutup itu tidak disertai dengan perbaikan rekrutmen, kaderisasi, dan pendanaan parpol, maka praktik mahar politik, atau jual-beli nomor urut di dalam internal partai akan rentan terjadi,” katanya.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry K Rizkiyansyah mengatakan, sekalipun draf tertanggal 6 Mei 2020 itu belum merupakan draf resmi dari DPR, tetapi sejumlah isu krusial layak dikaji bersama. Usulan untuk mengubah sistem proporsional tertutup, misalnya, terus menjadi kajian dari setiap perubahan UU Pemilu.
“Sistem proporsional terbuka, sebenarnya sudah berjalan baik, tetapi tinggal bagaimana evaluasinya dari pemilu sebelumnya. Intinya, kita tetap menggunakan sistem proporsional, tetapi variannya terbuka, karena dengan carian itu, pemilihan langsung seeprti untuk memilih presiden itu sangat terbuka sekali. Sistem itu juga merepresentasikan kedaulatan rakyat, karena yang mendapatkan suara terbanyaklah yang dipilih,” katanya.
Usulan lain terkait dengan parliamentary threshold, menurut Ferry, juga bervariasi. Namun, menurutnya, sebaiknya ambang batas parlemen tidak perlu terlalu tinggi sekalipun tujuannya untuk menyederhanakan parpol. Upaya lain, seperti memperkecil besaran daerah pemilihan (dapil) juga dapat dilakukan.
“Saat ini, usulannya di dalam draf 6 Mei itu kan 3-8 orang per dapil, kalau dulu 3-10 orang. Upaya memperkecil besaran dapil itu juga dapat secara langsung menyederhanakan parpol, karena berpotensi membatasi parpol yang bisa mendapatkan kursi di parlemen,” ujarnya.
Sembilan isu
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan, wacana tentang desain dan sistem pemilu, serta hal-hal lain seperti ambang batas parlemen, ambang batas presiden (presidential threshold), serta penghitungan kursi, memang terkait erat dengan kepentingan parpol untuk memeroleh kursi di parlemen, dan memenangi pemilu. Namun, RUU Pemilu yang saat ini didesain oleh DPR tidak hanya berkonsentrasi pada hal-hal itu.
“RUU Pemilu kali ini kami maksudkan untuk menjadi UU yang tidak mudah diubah-ubah, sehingga akan dibuat sesempurna mungkin. Sebaiknya UU Pemilu ini tidak setiap kali pemilu diubah. Kalau bisa ini berlaku 15-20 tahun,” katanya.
Menurut Doli, RUU Pemilu yang sedang digagas oleh Komisi II DPR memiliki sembilan isu. Lima isu merupakan wacana klasik, yakni sistem pemilu, ambang batas parlemen, ambang batas presiden, besaran dapil, dan sistem penghitungan konversi suara ke kursi. Adapun empat isu lainnya merupakan wacana kontemporer atau isu terobosan baru.
Empat isu kontemporer itu, menurut Doli, termasuk juga upaya DPR mengatasi politik berbiaya mahal. Empat isu yang sedang didalami oleh pembuat UU ialah desain pemilu nasional dan pemilu daerah; pasal-pasal untuk menjawab persoalan mahalnya biaya politik dan praktik-prakti moral hazard lainnya dalam pemilu, termasuk politik uang dan politik transaksional; penguatan dan koordinasi antara institusi penyelenggara pemilu; dan keempat ialah digitalisasi pemilu. (RINI KUSTIASIH)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juni 2020 di halaman 3 dengan judul “Aturan Belum Cegah Politik Transaksional” . https://kompas.id/baca/polhuk/2020/06/11/politik-transaksional-belum-dicegah-secara-sistematis/