Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kiagus Ahmad Badaruddin menyampaikan bahwa pihaknya menemukan 143 laporan transaksi keuangan mencurigakan senilai 47,2 miliar rupiah selama 2017 hingga kuartal ketiga 2018. PPATK mengidentifikasi, transaksi uang tersebut melibatkan pasangan calon (paslon) di Pilkada 2018, keluarga paslon, partai politik, dan penyelenggara pemilu.
“Itu terindikasi mencurigakan tapi belum tentu terbukti ada tindak pidana, apakah pencucian uang. Hanya, di PPATK, karena ini transaksi tunai, transaksi di atas 500 juta rupiah dapat termonitor oleh kami,” kata Agus pada konferensi pers di kantor PPATK, Gambir, Jakarta Pusat (19/12).
Agus kemudian menjelaskan, suatu transaksi dinilai mencurigakan apabila pertama, di luar profil. Sebagai contoh, gaji tetap seorang pejabat adalah 100 juta rupiah. Namun, yang bersangkutan melakukan beberapa transaksi senilai ratusan juta rupiah dalam waktu satu bulan.
Kedua, transaksi diduga berasal dari hasil kejahatan. Informasi mengenai ini biasanya berawal dari laporan masyarakat atau berita di media.
Ketiga, ada upaya untuk menghindari pemantauan. Arief mengatakan, pelaku seringkali memecah transaksi dalam jumlah besar ke dalam transaksi-transaksi kecil.
Keempat, ada laporan dari penyedia jasa keuangan kepada PPATK.
Dian Ediana Rae, Wakil Ketua PPATK, menginformasikan bahwa poin penting dari temuan PPATK yakni, banyak transaksi yang teridentifikasi dilakukan oleh peserta Pilkada, keluarga peserta Pilkada, dan partai politik terjadi di luar rekening khusus dana kampanye (RKDK). Hal tersebut menyebabkan proses pemeriksaan terhadap kepatuhan sumber kampanye dan batasan dana kampanye menjadi sulit dilakukan. Namun, sudah dipastikan bahwa transaksi tak melibatkan dana dari pihak asing.
“Secara singkat, bisa dikatakan kerawanan yang persis itu masalah tidak taatnya peserta Pilkada mengelola dana kampanye di RKDK. Mereka pakainya cash dan penarikan-penarikan cash. Menjelang pemilihan, biasanaya penarikan uang cash dalam jumlah banyak. Kita kerjasama dengan bank untuk melaporkan transaksi itu,” terang Dian.
Hasil temuan PPATK berikut analisis telah sisampaikan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dian mengklaim, pihaknya bersama Bawaslu telah melakukan klarifikasi. Kerjasama di 2018 dilanjutkan untuk mengawal Pemilu 2019.
Terkait hal ini, anggota Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar, mengatakan bahwa PPATK juga turut mengawasi aliran dana kampanye melalui crowd funding. Bawaslu kurang merekomendasikan mekanisme crowd funding karena sumber dan besaran dana kampanye yang diberikan sulit ditelusuri.
“Ad faktor kerentanan melalui crowd funding ini, karena sulitnya sistem untuk mengatasi limitasi sumbangan yang bersumber dari perseorangan, badan usaha, maupun partai politik. Tantangannya juga, soal kejelasan sumber dana dan verifikasi besaran dana yang disumbang,” ujar Fritz.
Untuk keutuhan pengawasan Pemilu 2019, Bawaslu berwenang untuk mengawasi laporan dana kampanye yang ada di rekening khusus dana kampanye sesuai dengan Pasal 325 dan 327 Undang-Undang (UU) No.7/2017. Namun fakta di 2018, menurut laporan PPATK, ditemukan akun-akun virtual yang digunakan untuk transaksi dan kampanye.
“Kami fokus ke RKDK, karena UU memberikan mandat di situ. Tapi yang terjadi sekarang, ada akun-akun lain di kuar itu yang dipakai sebagai virtual account,” tukas Fritz.
Terhadap virtual account, Fritz mengatakan akan memeriksa pihak di baliknya dan meminta pemilik untuk mempertanggungjawabkan dana kampanye yang dikeluarkan dan diterima. Jika pemilik tak dapat mempertanggungjawabkan, maka Bawaslu dapat memproses sebagai dugaan pelanggaran dana kampanye.
“Misal pada rapat umum ada artis atau band. Mungkin dananya gak keluar dari RKDK. Siapa yang membiayai kegiatan ini. Kalau itu dari suatu virtual account, maka harus ditanya siapa pengelola atau orang dibalik virtual account tersebut. Kalau itu tidak bisa dipertanggjawabkan, maka disitu diduga ada pelanggaran dana kampanye,” jelas Fritz.
Pertanggungjawaban keuangan kampanye Pilkada dan Pemilu tercermin di dalam Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Oleh karena itu, meski suatu partai politik peserta pemilu menulis Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) hanya sebesar 1 juta rupiah, Bawaslu belum dapat menyelidiki kebenaran laporan. Bawaslu akan menelusuri LPPDK seluruh pserta pemilu.
“LADK adalah awal. Beban pembuktiannya ada di LPPDK itu sendiri. Kalau LADK cuma 1 juta, apakah muncul proses kegiatan yang muncul atau produksi yang muncul itu nanti di LPPDK. Nanti di ujungnya, kita akan bertanya, 1 juta, sekarang berapa sisanya. Apakah partai bisa menjelaskan siapa yang mensupport dana-dana itu?” urai Fritz.