Pasca disepakatinya penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 pada rapat dengar pendapat (RDP) Senin (30/3), Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tengah melakukan simulasi penundaan Pilkada berdasarkan tiga opsi yang diusulkan. Opsi 1, hari pemungutan suara akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Opsi 2, 17 Maret 2021. Opsi 3, 23 September 2021.
Simak selengkapnya penjelasan anggota KPU RI, Pramono Ubaid, pada webdiskusi “Perpu Pilkada: Skema Penundaan Pilkada 2020” (2/4) dalam format wawancara.
Pak Pram, bagaimana Senin lalu bisa disetujui penundaan oleh Komisi II dan Pemerintah?
Ya, jadi, sebelum Pak Mendagri (Menteri Dalam Negeri) memberikan paparannya, Pak Mendgari bertanya kepada Ketua KPU RI, apakah KPU sanggup melaksanakan Pilkada 2020 pada 23 September 2020. Nah, KPU,tentu kalau 23 September tentu tidak mungkin. Karena penundaan tiga bulan dari surat BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) tentang tanggap darurat sampai 29 Mei, maka tahapan akan dimulai pada awal Juni. Gak mungkin memadatkan tahapan sampai September.
Lalu, Pak Mendagri bertanya, apakah bisa pemungutan suara dengan online, dengan pemungutan suara tetap di 23 September. KPU menjawab, KPU tidak bisa karena perlu membangun sistemnya, melakukan pelatihan SDM (sumber daya manusia)-nya, uji coba, dan seterusnya yang tidak mungkin dilakukan dalam jangka yang sangat pendek ini. Apalagi dalam kondisi sekarang tidak bisa uji coba terbuka.
Apa yang sedang KPU persiapkan pasca RDP kemarin?
Yang pasti pertama, karena RDP lalu belum menyepakati opsi mana diantara tiga opsi yang dibuat KPU, meski arah pembicaraannya mengarah ke satu opsi tertentu, tapi kita gak tahu ujungnya Pemerintah akan keluarkan perpu seperri apa. Jadi, KPU sedang menyiapkan simulasi-simulasi dari masing-masing opsi.
Hari Jumat kita akan melakukan pembahasan simulasi. Misal, opsi pertama, misalnya tahapan dimulai bulan Juni, maka bagaimana teknis tahapan awal lanjutan itu. Misal, verifikasi faktual calon perseorangan, kemudian coklit (pencocokan dan penelitian), apakah bisa dilakukan penyesuaian untuk memperkecil peluang kontak langsung antara petugas kami dengan publik.
Lalu, terkait logisitk, kalau opsi pertama diambil, maka logistik amannya mulai kapan. Lalu bagaimana metode kampnaye yang aman. Karena, opsi pertama ini yang paking rawan dari sisi perkembangan Covid (Coronavirus disease).
Jadi, kita akan buat simulasi, beberapa skenario, pelaksanaan teknisnya, dan protokol kesehatannya.
Merujuk pada terminology di UU Pilkada, penundaan Pilkada ini masuk dalam pilkada lanjutan atau susulan?
Iya, kemarin, waktu RDP, ada yg menanyakan apakah proses pencalonan perseorangan akan diulang dari awal. Tetapi kemudian, karena ini adalah prinsipnya penundaan, maka sampai kapan pun, berapa lama pun, maka tahapan yang sudah dilaksanakan terkait pencalonan, itu tinggal meneruskan. Kecuali, tahapan belum dilaksanakan sama sekali. Jadi, konsepnya adalah Pilkada lanjutan.
Bapak punya usulan sendiri terkait waktu penundaan? Di tahun ini atau di tahun berikutnya?
Heem, kalau lihat kecendeurngan rapat kemarin sih, yang saya dengar, saya tidak menyimpulkan. Pertama, kemungkinan tidak dilaksanakan di 2020. Kedua, kita menanti sampai situasi betul-betul aman. Begitu arahnya.
Substansi apa saja yang diharapkan KPU masuk di dalam perpu?
Setidaknya dua poin. Pertama, terkait kapan pasal 201 ayat 6 yang menyebutkan Pilkada 2015 dilaksanakan kembali pada September 2020. Karena jelas penundaan mengubah UU Pilkada.
Kedua, terkait dengan Pasal 112 atau sekian. Karena, penundaan itu kan kewenangannya ada di KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Nah, tapi keputusan untuk melanjutkannya, menurut UU Pilkada, kewenangannya gubernur atau wali kota dan bupati. Jadi, lucu.
Nah, karena itu, kita usul kewenangan untuk melanjutkan itu diberikan ke lembaga yang memutuskan penundaan. Tentu, prosesnya harus berkonsultasi dengan Pemda (Pemerintah Daerag), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum), aparat ekmanana, dan isntansi terkait.
Apakah soal anggaran dan penyelenggara adhoc perlu diatur di perpu?
Kalau terkait anggaran dan badan adhoc, itu cukup di permendagri (peraturan mendagri), turunan dari perpu yang dikeluarkan nanti. Selama ini kan masa kerja badan adhoc dan penganggaran diaturnya di permendagri.
Jadi, kemarin juga disepakati perpu yang akan dikeluarkan tidak melebar kemana-mana dulu. Yang penting pengaturan soal penundaan dan melanjutkan pilkada itu. Soal lain-lain, msialnya, soal Plt, itu pengaturannya ya turunan. Kalau diatur di perpu terlalu banyak.
Ada yang mengusulan agar Pilkada lanjutan nanti didanai oleh APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara), dan skema tersebut dimasukkan di dalam perpu. Ini tidak akan diusulkan oleh KPU?
Memang selama ini sebetulnya kami usul agar pilkada dibiayai oleh APBN. Tapi saya tidak tahu apakah pengaturan ini bisa diakomodir di perpu penundaan.
Sebetulnya kalau dibiayai oleh APBN, untungnya pertama, dari kepastian waktu, jelas lebih mudah. KPU usulkan ke pemerintah pusat, nanti KPU yang alokasikan untuk masing-masing daaerah sesuai proporsi masing-masing. Jadi, komunikasi lebih mudah.
Kedua, standar biayanya lebih jelas. Selama ini kan daereh yang APBD (APB Daerah)nya besar, anggaran biayanya leluasa. Sementara yang APBD-nya kecil, anggarannya mepet-mepet. Dengan standar yang berlaku secara nasional, itu membuat lebih pasti bagi semua daerah.
Ada juga yang mengusulkan agar perpu mengatur desain keserentakkan pemilu serentak. Bagaimana tanggapan Bapak?
Memang soal ini, di RDP kemarin juga ada anggota DPR yang mengusulkan. Bagi KPU, tidak ada problem soal itu. Tapi kewenangan untuk mengeluarkan perpu di Pemerintah, tampaknya Mendagri maupun Komisi II hanya akan fokus pada soal penundaan Pilkada. Jadi, tampaknya belum terlalu jauh akan mengatur ulang desain keserentakkan untuk diadopsi di perpu.
Usul saya, publik bisa menyuarakan ini ke publik. KPU justru sangat senang kalau bisa diakomodir di perpu.