Pembahasan RUU Pemilu dinilai sarat bargaining politik atau tawar-menawar sesuai kepentingan politik. Padahal, RUU Pemilu semestinya dibangun atas prinsip dan semangat keadilan bagi semua pihak, termasuk warga sipil. Bargaining politik hanya akan merusak sistem pemilu.
“Kalau ini (semangat keadilan) ditawar-tawar oleh partai, yang terjadi adalah penyimpangan. RUU Pemilu jadi tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar, dan tidak untuk kebaikan semua partai dan tentu pemilih,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, pada diskusi “Menuju Sidang Paripurna RUU Pemilu: Pertaruhan Kepentingan Jangka Pendek Pembentuk UU” di Guntur, Jakarta Selatan (19/7).
Feri kemudian mengimbau agar Presiden Joko Widodo memainkan perannya sebagai pemimpin negara yang mampu menyaring kepentingan-kepentingan politik guna kepentingan bangsa dan negara. Presiden mesti bersikap tegas dan mengutamakan nalar hukum yang sehat dalam penentuan presidential threshold (PT).
PT 20 persen, kata Feri, berbahaya bagi posisi Jokowi di Pemilu 2019. Pasalnya, untuk mencalonkan diri sebagai presiden, Jokowi harus memiliki dukungan partai yang sangat kuat. Padahal, posisi Jokowi di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan koalisi Pemerintah saat ini tak terlalu kuat.
“Syarat 20 persen kursi ini mungkin saja dibuat oleh pihak-pihak yang sedang memainkan bargaining politik. Jadi, bukan tidak mungkin Presiden dikerjai oleh pihak-pihak tersebut. Presiden jangan seperti naik perahu bolong, di tengah perjalanan dia yang karam sendiri,” tukas Feri.