Kepatuhan terhadap pelaksanaan protokol kesehatan Covid-19 tidak dapat ditawar dalam Pilkada 2020. Pelaksanaan protokol itu secara jelas dicantumkan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pilkada 2020 Nomor 2 Tahun 2020 sebagai syarat untuk dapat dilakukannya Pilkada 2020. Tanpa jaminan protokol kesehatan itu dapat dilaksanakan, pilkada sebaiknya ditunda demi menjamin keselamatan rakyat.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR dan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pekan lalu, belum ada arah penundaaan pilkada yang diputuskan oleh pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu. Evaluasi pelaksanaan protokol kesehatan menjadi fokus perhatian karena di dalam tahapan pendaftaran pasangan calon, 4-6 September, Bawaslu mencatat ada ratusan pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Pelanggaran itu berpotensi memicu penularan penyakit Covid-19,karena melibatkan pengumpulan massa melalui arak-arakan dan konvoi. RDP menyepakati agar pemerintah dan penyelenggara pemilu merumuskan sanksi lebih tegas dalam pelanggaran protokol kesehatan.
Komisi II DPR menyetujui pelaksanaan Pilkada 2020 diundur dari 23 September menjadi 9 Desember 2021 dan tidak menundanya pada 2021, antara lain karena pertimbangan protokol kesehatan diterapkan secara ketat.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi, saat dihubungi, Minggu (13/9/2020), mengingatkan, Komisi II DPR menyetujui pelaksanaan Pilkada 2020 diundur dari 23 September menjadi 9 Desember 2021 dan tidak menundanya pada 2021, antara lain karena pertimbangan protokol kesehatan diterapkan secara ketat. Intinya, pilkada itu dapat dilakukan, asalkan secara tegas memenuhi protokol kesehatan.
”Tetapi, pada kenyataannya, ketika kemarin kami mendapatkan laporan dari KPU dan Bawaslu, memang di dalam Kantor KPU itu protokol kesehatan dapat diterapkan. Tetapi, dalam perjalanan dari titik awal berangkat hingga ke kantor KPU, protokol itu nyaris tidak diindahkan,” katanya.
Di dalam RDP, Mendagri Tito Karnavian beralasan, waktu sosialisasi Peraturan KPU (PKPU) No 10/2020 tentang Pilkada di Masa Pandemi, tidak memadai. PKPU disahkan 1 September dan pada 4 September langsung dipakai mengatur pendaftaran paslon pilkada. Waktu dua hari untuk sosialisasi peraturan itu dinilai tidak cukup sehingga tidak banyak paslon, partai politik, dan masyarakat yang tidak mengetahui protokol kesehatan yang diatur di dalam PKPU tersebut.
Guspardi mengatakan, pemerintah dan penyelenggara pemilu harus belajar dari tahapan pendaftaran paslon sehingga tidak ada lagi alasan sosialisasi PKPU yang kurang. Sebab, sejak awal tahapan pilkada telah ditegaskan keharusan menerapkan protokol kesehatan. Demikian halnya dengan koordinasi antara penyelenggara pemilu dengan kepolisian dan satuan polisi pamong praja (satpol PP), serta gugus tugas penanganan Covid-19 di daerah, yang dinilai lemah.
”Kami minta sosialisasi dilakukan masif. Kedua, koordinasi dilakukan lintas sektoral. Ketiga, baru dilakukan punishment (hukuman/sanksi). Artinya, ada beberapa gagasan yang dilakukan Mendagri sebagai orang yang bertanggung jawab atas pilkada. Sejauh mana sanksi ini tentu harus didukung oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku,” katanya.
Seharusnya sanksi itu dapat diatur di dalam peraturan khusus dengan merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) No 6/2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan, maupun UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Wabah Penyakit, dan Peraturan Daerah (Perda).
Terkait usulan diskualifikasi, menurut Guspardi, hal itu sulit diimplementasikan karena UU Pilkada dan Perppu No 2/2020 tidak mengatur sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan. Namun, seharusnya sanksi itu dapat diatur di dalam peraturan khusus dengan merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) No 6/2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan ataupun UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Wabah Penyakit, dan Peraturan Daerah (Perda).
”Aturan-aturan ini bisa menjadi pijakan bagi KPU dan Bawaslu untuk bertindak atas pelanggaran protokol kesehatan Covid-19. Jadi, bukan berdasarkan kemauan pribadi karena kita negara hukum,” katanya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, meminta KPU tidak ragu-ragu membuat sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan. Bahkan, sanksi diskualifikasi harus diatur. Tidak adanya ketentuan diskualifikasi di dalam UU Pilkada dan Perppu No 2/2020 tidak dapat menjadi alasan bagi penyelenggara pemilu untuk memberikan sanksi tegas kepada pelanggar protokol kesehatan.
”Kalau sekadar diberi peringatan, orang Indonesia ini disiplinnya rendah sehingga sulit diterapkan. Mereka tidak akan takut dengan hanya diberi peringatan. Tetapi, kalau diancam dengan diskualifikasi, pasti ada efek jera dan mereka berupaya mematuhi itu,” katanya.
Jika KPU tidak berani membuat aturan atau PKPU berisi sanksi pelanggaran protokol kesehatan, sebaiknya pilkada ditunda saja.
Sebaliknya, jika KPU tidak berani membuat aturan atau PKPU berisi sanksi pelanggaran protokol kesehatan, menurut Nasir, sebaiknya pilkada ditunda saja. Pelaksanaan pilkada di masa pandemi harus dilihat dengan pendekatan luar biasa karena pilkada dilakukan di masa yang tidak biasa. Namun, jika pendekatan luar biasa (extraordinary) ini tidak dapat dilakukan, pilkada sebaiknya ditunda untuk menghindarkan dampak buruk akibat pandemi.
”Komnas HAM sebelumnya juga menegaskan rekomendasinya agar pilkada ditunda. Selain itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo juga mengimbau agar pilkada tidak dipaksakan untuk dilakukan pada tahun 2020. Artinya, banyak pihak telah memberikan peringatan dan ini harus diperhatikan oleh pemerintah,” kata Nasir.
Rumusan disusun
Dihubungi terpisah, anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, pembicaraan mengenai rumusan sanksi yang dibuat oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu baru akan dilakukan Selasa depa melalui rapat daring. Kesimpulan RDP dengan DPR pasti akan ditindaklanjuti oleh KPU dan pemerintah. Namun, apakah sanksi diskualifikasi akan diatur, hal itu akan dibicarakan bersama penyelenggara pemilu yang lain dan Kemendagri.
”Nanti akan kami lihat ketentuan-ketentuan mana saja yang berdasarkan UU itu bisa dilaksanakan. Kami tentu tidak dapat bertindak melebihi kewenangan yang diatur di dalam UU. Ini akan menjadi preseden kurang baik dalam perkembangan demokrasi ke depan. Tentu apa pun yang menjadi keputusan Komisi II DPR akan ditindaklanjuti,” katanya.
Pembicaraan mengenai rumusan sanksi yang dibuat oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu baru akan dilakukan Selasa depan melalui rapat daring.
Dalam penyusunan rumusan sanksi itu, menurut Raka, hal pertama yang dilakukan ialah mengevaluasi protokol kesehatan yang diterapkan oleh KPU di daerah. Selain itu, berbagai laporan mengenai adanya pengumpulan massa yang tidak mengindahkan protokol kesehatan juga menjadi atensi KPU. KPU juga akan menginventarisir peraturan perundang-undangan lain yang relevansinya dengan sanksi yang dapat dijatuhkan.
Saat ini, menurut Raka, sosialisasi terkait PKPU No 6/2020 yang telah diubah dengan PKPU No 10/2020 tentang Pilkada di Masa Pandemi juga terus dilakukan KPU ke daerah-daerah. Anggota KPU secara bergiliran melakukan sosialisasi langsung ke KPU-KPU daerah. Dalam sosialisasi itu, KPU mengundang kepolisian, satpol PP, Satgas Covid-19, dan media massa. Sebagai contoh, dirinya sedang berada di Sulawesi Tengah untuk menyosialisasikan PKPU.
”Kami targetkan rumusan itu bisa selesai sebelum 23 September, yakni saat pengambilan nomor undian dan pengumuman paslon. Sembari menyiapkan rumusan itu, sosialisasi PKPU juga terus dilakukan KPU untuk memastikan tahapan pilkada selanjutnya menerapkan protokol kesehatan dengan ketat,” katanya.
Sanksi diskualifikasi sulit untuk direalisasikan karena di dalam UU Pilkada tidak diatur mengenai sanksi pelanggaran protokol kesehatan.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, sebaiknya sanksi itu diatur di dalam PKPU. Namun, sanksi diskualifikasi sulit untuk direalisasikan karena di dalam UU Pilkada tidak diatur mengenai sanksi pelanggaran protokol kesehatan.
”Saat ini yang memungkinkan dilakukan oleh Bawaslu ialah meningkatkan koordinasi dengan kepolisian dan satpol PP dalam memastikan penegakan protokol kesehaatan. Kami bisa mendasarkan pada UU Kekarantinaan Kesehatan atau UU Wabah Penyakit Menular. Itu, kan, sanksinya berat, bisa pidana,” katanya.
Kewenangan Bawaslu pun terbatas hanya dalam pelaporan karena tidak ada kewenangan penindakan oleh Bawaslu. Sebagai contoh, ketika ada kerumunan massa dalam penetapan calon, hal yang mungkin dilakukan Bawaslu ialah menolak dokumen paslon bersangkutan.
”Kami hanya punya pulpen dan kertas, tidak punya pentungan,” kata Fritz.
Dorongan penundaan
Di luar upaya penyusunan sanksi yang lebih tegas oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu, sejumlah lembaga menegaskan sikapnya meminta pilkada ditunda. Sebelumnya, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo meminta pemerintah untuk tidak memaksakan pilkada diadakan tahun 2020.
”Mendorong pemerintah, dalam hal ini Kemendagri dan KPU, untuk tidak memaksakan pilkada dilaksanakan tahun 2020 jika situasi cukup riskan dikarenakan kesehatan masyarakat saat ini wajib menjadi prioritas bersama,” katanya dalam keterangan resminya.
Selain itu, dorongan untuk menunda pilkada juga ditegaskan oleh Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fachrul Razi. Fachrul meminta presiden untuk mempertimbangkan kembali pelaksanaan Pilkada 2020 karena pandemi yang semakin tidak terkendali.
”PPilkada serentak sangat tidak rasional untuk dilaksanakan pada Desember 2020 karena penularan Covid-19 terus terjadi, bahkan meningkat, sementara upaya-upaya meminimalkan penularan berjalan tidak optimal,” katanya.
DPD melalui Komite I meminta pemerintah untuk segera mengambil ruang atau celah yang ada di dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 (Perppu No 2/2020) yang memberikan ruang untuk menunda pelaksanaan pilkada pada tahun berikutnya. Sejumlah fakta dijadikan alasan, antara lain banyaknya calon kepala daerah yang positif Covid-19. KPU melaporkan ada 60 calon kepala daerah yang positif Covid-19. Selain itu, banyak pula penyelenggara yang positif Covid-19, salah satunya ialah anggota KPU RI, dan 70 orang jajaran panwascam di Boyolali, Jawa Tengah. (RINI KUSTIASIH)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 14 September 2020 di halaman 4 dengan judul “Protokol Kesehatan di Dalam Tahapan Pilkada Tidak Dapat Ditawar”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/13/protokol-kesehatan-tidak-dapat-ditawar/