December 5, 2024

Putusan MA Perkuat Siklus Demokrasi yang Buruk

JAKARTA, KOMPAS – Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan KPU Nomor 20/2018 dan Nomor 26/2018, yang melarang bekas narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif, makin melanggengkan siklus demokrasi yang buruk. MA dinilai tidak membaca secara utuh dampak jika mantan napi itu terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, dampak putusan MA itu tak hanya berdampak pada pemilihan legislatif, tetapi juga pada sistem penegakan hukum di Indonesia. Jika kelak anggota DPR atau DPRD tidak berintegritas dan berkualitas yang terpilih, maka pemilihan hakim agung juga tidak jauh dari nilai itu. Sebab, hakim agung dipilih oleh Komisi III DPR.

“Siklus ini yang masih berkaitan satu sama lain tetapi tak dibaca utuh oleh MA. Seolah-olah ruang MA kedap suara dari aspirasi publik. Ini memperburuk siklus demokrasi karena politisi kita masih punya akses luas dalam perpolitikan,” ujar Donal dalam diskusi “Putusan MA dan Pencalonan Koruptor di Pemilu 2019” di kantor ICW, Jakarta, Minggu (16/9/2018).

Hadir pula dalam diskusi itu, pegiat pemilu yang juga mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Wahidah Suaib, pendiri Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Hadar Nafis Gumay, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana, Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia Syamsudin Alimsyah, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil.

Donal menilai, putusan MA itu juga menunjukkan perlakuan diskriminatif terhadap aparatur sipil negara. Sebab, bagi ASN yang terlibat korupsi saja, mereka bisa langsung diberhentikan.

“Anehnya, politisi kita yang pernah terlibat korupsi ini malah banyak yang memperjuangkan masuk ke ranah politik kembaki. MA gagal menggunakan kesempatan berkontribusi membangun demokrasi berkualitas dan berintegritas,” tutur Donal.

Wahidah Suaib mengatakan, putusan MA yang membolehkan mantan napi menjadi caleg menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi dan menciptakan pemilu yang bersih. Dia meyakini, kepercayaan publik kepada MA dan Bawaslu akan tergerus dengan putusan itu. Seharusnya, kedua institusi itu mengerti bahwa bangsa ini sedang menghadapi bahaya laten praktik korupsi.

“Posisi Bawaslu yang menolak PKPU sejak awal sangat mengecewakan publik. Bawaslu dan MA tidak mengerti momentum persoalan bangsa. Mereka telah melewatkan peluang untuk menegakkan integritas pemilu. Kepercayaan publik pasti akan sangat merosot,” ujar Wahidah.

Hingga kemarin malam, setidaknya aspirasi suara publik lewat petisi di Change.org #koruptorkoknyaleg sudah ditandatangani oleh sekitar 248.300 orang. Penolakan itu didasari korupsi massal yang dilakukan oleh anggota DPRD di sejumlah daerah.

“Seharusnya, MA dapat menangkap situasi itu sebagai kegelisahan publik,” tutur Fadli Ramadhanil.

Fadli mendesak agar parpol tetap konsisten pada pakta integritas yang telah ditandatangani. Apabila, ada parpol yang masih tetap mencalonkan anggotanya yang pernah menjadi napi, menurut Fadli, penyelenggara pemilu harus tegas untuk menginfokan hal itu kepada publik dengan memberikan tanda di surat suara.

“Ini gagasan yang harus diwujudkan secara serius kalau ada parpol yang masih mencalonkan mantan napi. Kita harus sudah mulai memikirkan gimana aktor-aktor yang dipilih melalui pemilu adalah orang-orang yang berintegritas,” kata Fadli.

Sementara itu, Aditya Perdana menilai, masih dicalonkannya mantan napi menjadi caleg menunjukkan sistem kaderisasi parpol yang masih lemah. (NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 17 September 2018 di halaman 2 dengan judul “Aturan Caleg Segera Direvisi”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/09/17/putusan-ma-perkuat-siklus-demokrasi-yang-buruk/