December 11, 2024

Putusan MK dan Oligarki Partai

LAMA dinanti, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan terhadap pengujian dua pasal krusial dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melalui putusan 53/PUU-XV/2017 pada 11 Januari lalu. Putusan ini mengabulkan pasal 173 ayat (1) dan (3) tentang verifikasi partai politik (parpol) dan menolak Pasal 222 tentang ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kehadiran putusan MK mestinya dapat menjawab perdebatan soal konstitusionalitas norma UU Pemilu yang sejak lama diperdebatkan bahkan jauh sebelum normanya disahkan menjadi UU.

Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu ini mengatur bahwa parpol peserta pemilu merupakan parpol yang telah ditetapkan atau lulus verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adapun ayat (3) menyebut bahwa parpol yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lagi diverifikasi dan ditetapkan sebagai parpol peserta pemilu.

Dalam putusannya MK menyatakan bahwa frasa “ditetapkan” dalam Pasal 173 ayat (1) dan seluruh ketentuan pada Pasal 173 ayat (3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MK menilai pasal tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Singkatnya, putusan MK bisa dimaknai bahwa verifikasi faktual berlaku untuk seluruh parpol calon peserta Pemilu 2019, termasuk 12 parpol yang merupakan peserta Pemilu 2014. Verifikasi faktual ini tidak lagi hanya berlaku bagi 6 parpol baru yang lolos pada tahap penelitian administrasi.

Menyikapi putusan ini, maka Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) bersama Komisi II DPR menggelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk membahas tindak lanjut putusan a quo. Penyelenggara pemilu dan DPR kemudian bersepakat untuk menindaklanjuti Putusan MK. KPU selaku penyelenggara menunjukkan kesiapannya untuk melakukan verifikasi faktual terhadap keseluruhan parpol yang lolos verifikasi administrasi.

Bagi KPU, tantangan pasca-putusan MK adalah melanjutkan tahapan verifikasi faktual terhadap 12 parpol yang sebelumnya dikecualikan dalam norma 173 ayat (3) dengan beban waktu yang sangat singkat karena dibatasi aturan bahwa peserta pemilu sudah harus ditetapkan 14 bulan sebelum hari pemungutan suara.

Selain itu, KPU juga dihadapkan dengan beban anggaran tambahan sebagai konsekuensi atas putusan tersebut. Setidaknya tantangan inilah yang dilemparkan oleh KPU dalam forum RDP untuk dicarikan jalan keluar bersama.

Terhadap hal ini agaknya Komisi II DPR memiliki cara baca tersendiri menyikapi putusan MK. Komisi II menilai KPU tidak perlu melakukan verifikasi faktual terhadap parpol calon peserta Pemilu 2019 karena penelitian administrasi yang telah dilakukan KPU dengan menggunakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) adalah juga bentuk verifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam putusan MK. Apalagi, istilah verifikasi faktual tidak terdapat dalam UU Pemilu melainkan hanya ada dalam Peraturan KPU (PKPU).

Atas alasan itu pula Komisi II meminta dilakukan revisi atas PKPU tersebut. Dalam pandangan Komisi II, 16 parpol yang telah dinyatakan lolos penelitian administrasi sudah dapat ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2019 agar mempermudah proses penetapan menjadi peserta Pemilu 2019.

Membaca cara pandang Komisi II, ini jelas bentuk pengingkaran terhadap maksud Putusan MK No 53/PUU-XV/2017. Sebab semangat dikabulkannya frasa “telah ditetapkan” dalam Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) tentang “parpol yang telah lulus verifikasi tidak perlu diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai peserta pemilu” jelas dinyatakan oleh Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat.

MK menilai pada ranah kepesertaan dalam kontestasi politik seperti pemilu, perlakuan berbeda (unequal treatment) tidak dapat dibenarkan. Hal ini merupakan pertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Bahkan bagi MK, kehadiran norma di Pasal 173 itu adalah repetisi terhadap norma yang sudah dibatalkan pada Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 melalui Putusan MK Nomor 52/PUU- X/2012 terdahulu. Ini berarti, MK menunjukkan pendiriannya terhadap hal yang sama dengan putusan yang sama pula.

MK kembali menegaskan, demi mencapai keadilan maka seluruh parpol calon peserta pemilu harus diletakkan pada garis start yang sama, yaitu memverifikasi seluruh parpol calon peserta pemilu tanpa membeda-bedakan antara yang telah mengikuti verifikasi pada pemilu sebelumnya dengan parpol yang belum pernah mengikuti pemilu maupun parpol yang telah mengikuti pemilu, tapi tidak memperoleh kursi di DPR.

Pertaruhan KPU

Terhadap hal ini, KPU selaku lokomotif penyelenggaraan pemilu harus percaya diri dengan posisi semula untuk konsisten melaksanakan putusan MK. Momentum ini menjadi pertaruhan dalam menilai sejauh mana keberanian KPU tampil menjadi lembaga yang mandiri, bebas dari kepentingan pihak terkait sesuai amanat kelembagaan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Terhadap proses RDP di Komisi II yang belum menghasilkan titik temu pun, KPU tentu punya posisi tawar yang kuat mengingat konsultasi dengan DPR dalam RDP tak lagi bersifat mengikat. DPR sebelumnya pernah “mengikat” KPU untuk patuh terhadap hasil RDP, namun ketentuan itu juga sudah dibatalkan MK beberapa waktu lalu.

Setelah memahami dalam-dalam maksud MK dalam putusannya, maka verifikasi faktual untuk keseluruhan parpol adalah mutlak harus dilakukan. Hal ini senapas dengan penghormatan terhadap putusan MK sebagaimana posisi MK sebagai the interpreter of constitution.

Jika Pasal 173 ayat (1) dan (3) harus ditindaklanjuti karena MK mengabulkan, tidak sama halnya dengan Pasal 222 tentang ambang batas pengusulan pasangan calon (presiden dan wakil presiden) yang dibatalkan oleh MK. Sejatinya permohonan ini diputuskan MK dengan dissenting opinion  oleh dua hakim yang concern  memberikan argumentasi soal Pasal 222 ini.

MK menolak karena menilai bangunan Pasal 222 UU Pemilu telah sesuai dengan mandat penguatan sistem presidensial yang disertai dengan penyederhanaan sistem kepartaian sebagimana terkandung dalam  pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berujung pada keefektifan pemerintahan karena presiden terpilih punya dukungan dari parpol di DPR. Di lain sisi MK kembali memperlihatkan pendiriannya tentang ambang batas pengusulan pasangan calon merupakan open legal policy  sebagaimana pernah diputuskan MK.

Melihat pertimbangan hukumnya, pandangan MK demikian memaknai rumusan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 langsung pada frasa “gabungan partai politik” sehingga mendorong seluruh parpol untuk melakukan koalisi tanpa menghiraukan frasa sebelumnya. Di sini, tampaknya MK tidak melihat rumusan pasal konstitusi secara komprehensif. Padahal dalam konstruksi Pasal 6A ayat (2) terdapat hak konstitusi bagi parpol peserta pemilu dalam satu periode pemilu memiliki untuk mengusulkan pasangan calon.

Ketika hak parpol dijamin oleh konstitusi, UU sebagai turunan tidak boleh mengurangi bahkan menghilangkan hak tersebut. Dalam kondisi ini justru rumusan Pasal 222 telah terang-terangan mengabaikan norma konstitusi. Bahkan dalam kerangka open legal policy sekalipun tidak semestinya pembentuk UU menghilangkan jaminan konstitusional. Karena bagaimana mungkin membiarkan dalil open legal policy bertentangan dengan konstitusi sebagai norma tertinggi.

Semestinya, MK meluruskan norma UU yang memuat pertentangan. Karena bagaimanapun, posisi hak konstitusional parpol untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tentu lebih tinggi hakikatnya dibanding tafsir untuk penyederhanaan parpol. Pun terhadap dalil penyederhanaan parpol, lebih elok kiranya dilakukan pada syarat pendirian ataupun pemenuhan persyaratan dalam rangkaian untuk mendapatkan status sebagai peserta pemilu, bukan pada saat parpol telah mendapatkan status sebagai peserta pemilu.

Ambang batas pencalonan di Pemilu 2019 semakin dipertanyakan ketika dasarnya adalah perolehan kursi/suara parpol di Pemilu 2014 yang sudah digunakan untuk Pilpres 2014. Ini sulit dinalar karena pada 2019 pemilu presiden dan pemilu legislatif digelar serentak. Dalam kondisi pemilu serentak ambang batas menjadi tidak relevan.

Meskipun demikian, dengan telah dibacakannya Putusan MK soal presidential threshold ini, perdebatan telah selesai. Bagi parpol calon peserta pemilu tentu sudah mulai mengukur bayang-bayang kalkulasi untuk membangun koalisi pengusulan pasangan calon. Hal ini penting mengingat tidak satu pun parpol peserta Pemilu 2014 yang memenuhi ketentuan Pasal 222 UU Pemilu ini. Harapannya koalisi yang terbangun nanti berangkat dari penyamaan platform-visi-ideologi sehingga memberikan preferensi pilihan bagi pemilih.

Adelline Syahda
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif  

Selengkapnya: https://nasional.sindonews.com/read/1274554/18/putusan-mk-dan-oligarki-partai-1516212749