April 20, 2024
iden

Putusan MK Dinilai Kurang Progresif

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi dipandang telah melakukan sejumlah capaian sejak 2018 hingga triwulan ketiga 2019, terutama ketika MK mampu memutus sengketa hasil Pemilu 2019 dengan transparan, terbuka bagi semua pihak, tepat waktu, dan relatif lancar.

Namun, secara umum, kinerja lembaga peradilan ini masih perlu terus didorong. Hal itu dilakukan agar lembaga ini menghasilkan putusan-putusan yang lebih progresif untuk menyokong demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.

SETARA Institute dalam kajiannya atas putusan MK dalam periode 10 Agustus 2018-10 Agustus 2019 memberikan sejumlah catatan atas kinerja MK. SETARA mengkaji 91 putusan dalam rentang waktu tersebut, yakni dengan rincian 5 putusan menyatakan permohonan dikabulkan, 50 putusan menyatakan permohonan ditolak, 31 putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, dan 5 lainnya berupa ketetapan MK.

Kajian yang dirilis berbarengan dengan peringatan Hari Konstitusi 2019 ini menunjukkan perbaikan di sisi mekanisme penanganan perkara dibandingkan dengan tahun sebelumnya. MK juga mengeluarkan sejumlah putusan penting yang dapat menjadi pedoman atau acuan krusial bagi pembuatan regulasi berikutnya (landmark decisions).

Putusan penting itu antara lain ialah pembatalan regulasi usia minimal perkawinan bagi perempuan, yang di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur pada usia 16 tahun. MK menilai usia minimal perkawinan bagi perempuan itu bertentangan dengan konstitusi, karena aturan itu berpotensi diskriminatif atas hak-hak perempuan sebagai warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Adapun batas usia perkawinan yang diatur negara untuk laki-laki lebih tinggi, yakni 19 tahun, sehingga memungkinkan laki-laki mengenyam pendidikan lebih tinggi.

Di bidang politik, MK membuat putusan penting terkait dengan perpanjangan waktu penghitungan suara saat pemilu, dan dibolehkannya surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk (KTP) elektronik sebagai identitas pemilih dalam pemilu.

Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani, Minggu (18/8/2019), di Jakarta, mengatakan, ada empat putusan MK yang dinilai positif di dalam periode studi itu dilakukan. Selain dua putusan terkait dengan politik, dua putusan lainnya terkait dengan isu ketenagakerjaan, yakni jaminan hak pekerja yang mengalami kecacatan karena kecelakaan kerja, dan dikukuhkannya dana pensiun dari iuran pemberi kerja sebagai obyek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Kendati demikian, sejumlah putusan lain dinilai belum progresif, atau belum cukup memberikan terobosan hukum melalui tafsir konstitusi. MK dalam putusan tertentu cenderung mengambil posisi aman atau normatif sehingga belum kuat mendorong lebih jauh kemajuan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).

”MK, misalnya, lebih memilih jalan konservatif dalam memutuskan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyangkut soal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT). MK dalam putusannya menilai PT konstitusional,” kata Ismail.

Pilihan sikap yang sama ditemui SETARA Institute dalam melihat putusan MK atas UU Mahkamah Agung (MA), yakni terkait dengan ketentuan pemeriksaan uji materi (judicial review) peraturan di bawah UU yang dilakukan MA. MK menyatakan pemeriksaan uji materi oleh MA yang selama ini dilakukan secara tertutup, atau tidak terbuka untuk umum, bukanlah regulasi yang bertentangan dengan konstitusi.

”Selama ini, problem uji materi di MA adalah karena pemeriksaannya dilakukan secara tertutup sehingga pencari keadilan tidak bisa memantau dan memastikan mekanismenya dilakukan secara akuntabel. Isu uji materi di MA sebenarnya persoalan lama yang memerlukan perbaikan ketentuan, tetapi pilihan putusan itu tidak diambil oleh MK,” katanya.

Argumentasi dan perdebatan di antara hakim konstitusi juga tidak terlalu kental. Sembilan hakim konstitusi lebih banyak sepakat dalam pertimbangan hukum maupun amar putusan. Hal itu antara lain terlihat dari banyaknya hakim yang mengajukan pendapat hukum yang berbeda (dissenting opinion) dari amar putusan mayoritas dan hakim yang menyetujui amar putusan mayoritas dengan pertimbangan hukum yang berbeda (concurring opinion). SETARA mencatat, dari periode studi 10 Agustus 2018-10 Agustus 2019, hanya ada satu hakim yang mengajukan dissenting opinion, dan satu hakim mengajukan concurring opinion.

Secara umum, kinerja MK biasa-biasa saja jika dilihat dari kualitas putusan. Namun, ada peningkatan signifikan pada mekanisme penanganan perkara, yakni dengan pemberian putusan yang lebih cepat, dan tidak banyak putusan dengan amar tidak dapat diterima yang diperiksa melebihi tiga kali sidang.

Dari 91 putusan, SETARA menilai 4 putusan di antaranya sebagai positif, 8 putusan dengan tone  negatif, dan sisanya sebanyak 79 putusan dinilai biasa-biasa saja, atau dengan tone  netral.

”Secara umum, kinerja MK biasa-biasa saja jika dilihat dari kualitas putusan. Namun, ada peningkatan signifikan pada mekanisme penanganan perkara, yakni dengan pemberian putusan yang lebih cepat, dan tidak banyak putusan dengan amar tidak dapat diterima yang diperiksa melebihi tiga kali sidang,” katanya.

Secara terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, MK sejak berdirinya dikenal sebagai lembaga yang memberi perhatian pada perkembangan demokrasi dan tema-tema antikorupsi. Namun, pada perkembangannya saat ini, ada kecenderungan bergeser.

”Sebagai contoh ialah putusan mengenai hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Putusan MK sebelumnya menyatakan KPK bukan eksekutif. Akan tetapi, pada putusan berikutnya menyatakan KPK adalah bagian dari eksekutif sehingga KPK bisa diangket oleh DPR,” ujarnya.

Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, MK sudah dan akan terus menjalankan kewenangannya memeriksa dan memutus perkara pengujian UU dengan basis konstitusi. Penilaian atas kinerja MK diserahkan sepenuhnya kepada publik.

”Bahwa hal itu dipandang ada yang progresif, dan ada yang kurang progresif, silakan saja. Itu kami anggap sebagai bentuk perhatian dan kecintaan terhadap MK,” katanya.

Bahwa hal itu dipandang ada yang progresif, dan ada yang kurang progresif, silakan saja. Itu kami anggap sebagai bentuk perhatian dan kecintaan terhadap MK.

Fajar mengatakan, MK berupaya terus meningkatkan kinerja. Keterbukaan akses, transparansi, percepatan penyelesaian perkara, dan modernitas mekanisme peradilan yang selama ini telah dilakukan oleh MK juga akan terus ditingkatkan sejalan dengan peningkatan kualitas putusan.

”Soal penilaian, sepenuhnya diserahkan kepada publik,” ujarnya.

RINI KUSTIASIH

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2019 di halaman 2 dengan judul “Putusan MK Dinilai Kurang Progresif “. https://kompas.id/baca/polhuk/2019/08/19/putusan-progresif-mk-didorong/