December 9, 2024

Rekomendasi Perludem di RDPU RUU Pemilu

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini memberikan masukan untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu pada rapat dengar pendapat umum (RDPU), Selasa (19/1). Pada kesempatan tersebut, Titi menyampaikan beberapa hal terkait sistem pemilu, desain kelembagaan penyelenggara pemilu, besaran daerah pemilihan (dapil), ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, afirmasi perempuan, dan hal umum lainnya. Pada RDPU tersebut, diundang pula Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Nur Hidayat Sardini.

Dukung pemilu nasional dan lokal

Dari enam model pemilu serentak yang disebutkan Mahkamah Konstitusi (MK) di dalam Putusan No.55/2019, Titi mengusulkan model keempat, yakni pemisahan antara pemilihan nasional dan pemilihan lokal. Pemilihan nasional terdiri atas tiga pemilihan, yakni pemilihan presiden (pilpres), pemilihan anggota DPR RI, dan pemilihan anggota DPD. Sementara pemilihan lokal terdiri atas empat pemilihan, yaitu pemilihan anggota DPRD provinsi, pemilihan gubernur, pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota, dan pemilihan wali kota/bupati.

“Memang ada tantangan DPRD digabung dengan pemilihan kepala daerah, bebannya berat. Tapi setelah dihitung, tidak akan lebih berat dibandingkan pemilihan dengan lima surat suara seperti di Pemilu 2019,” kata Titi.

Di RUU Pemilu edisi 26 November, desain keserentakan pemilu masih sama seperti Pemilu Serentak 2019. Namun, ada normalisasi jadwal Pilkada. Artinya, akan tetap ada pilkada di 2022 dan 2023.

Titi meminta agar pembuat RUU Pemilu dapat mendesain keserentakan pemilu yang memberikan kemudahan kepada pemilih dalam memberikan suara. Pada Pemilu Serentak 2019 dengan lima surat suara, tingkat suara tidak sah pada Pemilihan Anggota DPR RI mencapai angka 17.503.953 atau 11,12 persen, dan 19,02 persen surat suara tidak sah pada Pemilihan Anggota DPD.

“Dari beberapa riset, kompleksitas pemilu menyumbang pada suara tidak sah. Jadi, harus desain sistem pemilu yang tidak membuat banyaknya suara tidak sah. Ini untuk menghargai suara pemilih,” tandas Titi.

Pembentukan dapil mengikuti siklus sensus penduduk

Dari kajian yang dilakukan oleh Perludem, dengan dapil yang ada di UU No.7/2017, masih terdapat dapil yang mengalami kelebihan dan kekurangan representasi. Oleh karena itu, diusulkan agar pembentukan dapil dan alokasi kursi dilakukan dilakukan dengan mengikuti siklus sensus penduduk guna terwujud jumlah representasi yang proporsional.

“RUU Pemilu masih menjadikan dapil DPR dan DPRD provinsi sebagai lampiran. Dari data yang kami olah, pengalokasian di dapil itu masih menghadapi over dan under representation,” ungkap Titi.

Hitung ulang ambang batas parlemen

RUU Pemilu menerapkan ambang batas parlemen di setiap tingkat parlemen. Ambang batas parlemen untuk DPR RI adalah 5 persen, DPRD provinsi 4 persen, dan DPRD kabupaten/kota 3 persen. Aturan seperti ini tak ada di UU Pemilu No.7/2017.

Berdasarkan kajian Perludem, ambang batas parlemen tak efektif menyederhanakan sistem kepartaian. Justru, hanya membuat suara pemilih terbuang. Oleh karena itu, Perludem mengusulkan agar ambang batas parlemen yang ditetapkan hanya 1 persen atau besarannya dihitung ulang berdasarkan penghitungan matematis.

“Jadi, bisa dihitung ulang besaran parliamentary threshold sesuai dengan matematis threshold. Usulan kami sebetulnya hanya 1 persen. 4 persen seperti kemarin sebenarnya sudah cukup baik. Karena, semakin besar parliamentary threshold, akan semakin banyak suara terbuang,” tutur Titi.

Hapuskan ambang batas pencalonan presiden

Titi merekomendasikan agar ambang batas pencalonan presiden dihapuskan. Sebab, ambang batas pencalonan presiden di RUU Pemilu masih diatur sebesar 20 persen dari kursi atau 25 persen dari perolehan suara pemilihan anggota DPR RI. Penghapusan dinilai Titi dapat mencegah terjadinya calon tunggal di Pilpres.

“Fenomena calon  tunggal itu sebetulnya adalah fenomena hilir. Hulunya karena akses pencalonan yang terbatas,” tukasnya.

Diusulkan pula agar DPR menurunkan syarat pencalonan perseorangan. Besarannya menjadi 3 persen sebagaimana pengaturan di dalam UU Pemerintahan Aceh.

“Jika segala cara sudah dilakukan tapi ada calon tunggal, maka pilihannya (di surat suara) tetap calon versus  kolom kosong, bukan setuju atau tidak setuju walaupun ada Putusan MK No.100. Karena sejak 2017 sampai 2020, kita sudah terbiasa dengan kolom kosong versus calon tunggal,” jelas Titi.

Afirmasi perempuan di tahap pencalonan

Afirmasi perempuan di tahap pencalonan mesti diberikan. Titi merekomendasikan dua pilihan, yakni menerapkan sistem zipper murni, atau penempatan perempuan di nomor urut 1 di paling sedikit 30 persen dapil.

“Indonesia masih tertinggal, bahkan dibawah Timor Leste. Semangatnya kan he for she, juga planet 50:50. Harapannya, dengan adanya afirmasi, keterpilihan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen bisa kita wujudkan,” tegas Titi.

Hapus fungsi pengawasan pada Bawaslu

Menurut Titi, fungsi pengawasan tidak kompatibel dengan fungsi penegakan hukum. Pasalnya, kewenangan untuk memutus berbenturan dengan aktivitas objek yang ditangani oleh Bawaslu.

Fungsi pengawasan oleh Bawaslu diharapkan untuk dicabut dan diserahkan kepada masyarakat dan pemantau pemilu. Bawaslu cukup menangani pelanggaran administrasi dan sengketa proses. Upaya hukum lanjutan pun mesti disediakan untuk mencegah kesewenang-wenangan. Banding putusan Bawaslu RI dan Bawaslu provinsi kepada Mahkamah Agung (MA), dan banding putusan Bawaslu kabupaten/kota kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

“Bawaslu bertransformasi tapi tidak perlu membentuk pengadilan khusus pemilu. Karena, kita harus membuatnya dibawah MA atau MK. Putusan MK No.11/2010 menyebut kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Jadi, bisa masuk kluster 22E UU Dasar 1945. Bawaslu memainkan peran sebagai pemutus,” jelas Titi.

Titi pun meminta agar dinormakan secara jelas batas waktu penerimaan laporan pelanggaran administrasi dan sengketa proses. Tak ada putusan Bawaslu setelah KPU menetapkan hasil pemilu.

Kemudian, karena Bawaslu diminta tak lagi diberikan kewenangan untuk menangani pelanggaran pidana pemilu, Titi mengusulkan agar kewenangan tersebut diberikan kepada Kepolisian. Sebab, pengaturan di UU Pemilu saat ini tak memberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penindakan.

“Kalau polisi, dia menangani, ketemu di lapangan, penegakan hukum langsung berjalan. Kalau ditangani oleh Bawaslu, harus diteruskan ke Kepolisian. Prosesnya mulai dari awal lagi. Jadi, ya sudah, dari awal saja langsung ditangani kepolisian sebagai bagian dari criminal justice system,” kata Titi.

Karena Bawaslu bertransformasi sebagai penegak hukum, maka syarat untuk menjadi anggota Bawaslu mesti diubah, yakni memiliki pengalaman hukum atau aktivitas kepemiluan. Anggota Bawaslu pun diusulkan agar hanya 3 hingga 5 orang.

Putusan DKPP tak final dan mengikat

Desain kelembagaan DKPP mesti diposisikan sebagai peradilan etik, kata Titi. Oleh karena itu, produk DKPP bukanlah putusan, melainkan keputusan. Penyelenggara pemilu yang dilaporkan kepada DKPP pun semestinya dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan TUN (PTUN).

“Agar, melakukan upaya hukum ke PTUN tidak disebut sebagai upaya pembangkangan. Padahal, upaya hukum itu dijamin dalam Putusan MK No.31/2013. Bahwa tindak lanjut atas putusan DKPP oleh pejabat tata usaha negara adalah objek PTUN yang bisa dilakukan upaya hukum oleh PTUN,” tegas Titi.

Jadwal Rekrutmen KPU dan Bawaslu dilakukan secara serentak

Titi turut mengusulkan agar rekrutmen KPU dan Bawaslu dilakukan secara serentak dan terdesentralisasi. Keserentakan ditujukan agar jadwal rekrutmen tak berserakan dan tak ideal dengan jadwal tahapan pemilu yang berlangsung. Sementara jadwal rekrutmen KPU dan Bawaslu yang disamakan bertujuan agar tak ada calon yang mendaftar sebagai anggota KPU atau Bawaslu lantaran gagal seleksi KPU atau Bawaslu.

“Rekrut anggota KPU dan Bawaslu harus diserentakkan, agar kalau dia gagal di KPU, tidak nyebrang ke Bawaslu, dan sebaliknya. Jumlah anggota KPU juga samakan saja, tidak perlu bergantung pada jumlah penduduk karena lembaga ini bukan perwakilan politik yang bergantung pada komposisi penduduk,” ujar Titi.

Selain itu, Titi juga mengusulkan delapan poin lain. Satu, UU Pemilu diharapkan menghindari pengaturan yang terlalu detil. Sebagai contoh, perihal distribusi logistik yang penerapannya bergantung pada kondisi di lapangan.

Dua, audit terhadap dana kampanye merupakan audit investigatif, bukan audit kepatuhan.

Tiga, syarat memilih hanyalah berusia minimal 17 tahun. Syarat sudah atau pernah kawin diminta untuk dihapuskan sebab pendataannya menyulitkan dan menjadi insentif bagi perkawinan usia anak.

Empat, persyaratan sebagai kader atau anggota partai sekurang-kurangnya tiga tahun sebelum pendaftaran caleg.

Lima, norma tenggat waktu pengujian undang-undang yang berdampak pada pelaksanaan tahapan pemilu.

Enam, ambang batas pembentukan fraksi.

Tujuh, norma penegasan bahwa tak ada putusan Bawaslu setelah KPU menetapkan hasil perolehan suara atau hasil pemilu.

Delapan, uji materi PKPU hanya boleh dilakukan kepada MA dan uji materi UU hanya kepada MK. Bawaslu dan DKPP tak boleh mengasikan PKPU dalam membuat keputusan.

“Kompetisi yang sehat diantara peserta pemilulah yang harus dibuat di RUU Pemilu ini, bukan kompetisi diantara penyelenggara pemilu. Cukup kompleksitas pemilu, tidak ditambah dengan kompleksitas karena ada kompetisi diantara sesama penyelenggara pemilu,” tutup Titi.

One comment

  1. Kalau fingsi penindakan di laksanakan oleh polri itu sama seperti jaman fasisme soeharto… Menakutnakuti warga untuk memilih..