Revisi undang-undang pemilu penting dilakukan salah satunya untuk mencapai keterwakilan perempuan di DPR minimal 30%. Sejak undang-undang pemilu yang digunakan pada Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019, bentuk afirmasi perempuan tidak ada perkembangan. Jika UU 7/2017 yang berlaku sekarang tidak direvisi dengan afirmasi perempuan yang sesuai kebutuhan,perempuan DPR amat sulit mencapai minimal 30% .
“Lewat revisi undang-undang pemilu, kita bisa memasukkan kebijakan afirmasi untuk perempuan. Kalau kita tidak desakkan melalui regulasi pemilu, agak sulit. Ketika tidak ada revisi, tidak akan ada penguatan terhadap kebijakan afirmasi,” kata Ketua Umum Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Dwi Septiawati Djafar dalam webinar “Menjamin Penguatan Kebijakan Afirmasi Melalui Revisi UU Pemilu” (5/2).
Septi menyayangkan jika sebagian besar partai politik DPR tidak ingin merevisi undang-undang pemilu. Menurutnya banyak partai politik belum mencapai 30% perempuan terpilih dari total kursi DPR yang dicapai tiap parpol. Bergantung pada sikap tiap-tiap parpol dalam afirmasi perempuan akan jauh lebih sulit dibanding mengupayakannya dalam revisi undang-undang pemilu.
Pemilu DPR |
Konteks Pemilu Presiden | % Perempuan DPR | Sistem Pemilu Proporsional |
Afirmas Perempuan Pemilu DPR |
|
1999 | Tanpa Pilpres | 9 | Tertutup | – | |
2004 | Pilpres Terpisah | 10.89 | Semi-Terbuka | – 30% Pencalonan | |
2009 | Pilpres Terpisah | 18.04 | Terbuka | 1. Zipper System 1:3 | |
2. 30% Pencalonan | |||||
3. 30% Tiap Daftar Caleg | |||||
2014 | Pilpres Terpisah | 17.32 | Terbuka | 1. Zipper System 1:3 | |
2. 30% Pencalonan | |||||
3. 30% Tiap Daftar Caleg | |||||
2019 | Pemilu Serentak | 20.52 | Terbuka | 1. Zipper System 1:3 | |
2. 30% Pencalonan | |||||
3. 30% Tiap Daftar Caleg |
Anggota DPR dari Partai Demokrat, Melani Suharli menceritakan pengalamannya dalam kepesertaan pemilu. Implementasi undang-undang yang ada sekarang memang jadi membebani pembiayaan kepada tiap individu calon legislator. Ini yang membuat perempuan caleg kesulitan ikut pemilu dan terpilih, khususnya biaya saksi.
“Saya meresa berat sekali untuk biaya saksi. Biaya saksi ini sangat besar,” kata Melani.
Pada webinar “Maju Mundur Revisi UU Pemilu” (7/2) Peneliti Cakra Wikara Indonesia (CWI), Yolanda Panjaitan berpendapat, bentuk afirmasi perempuan dalam undang-undang sekarang belum sesuai dengan kebutuhan capaian minimal 30% perempuan DPR. Ketentuan penempatan 1 perempuan caleg dalam 3 nama caleg harus disertai dengan penambahan bentuk afirmasi lainnya.
“Ketentuan mengenai penempatan 1 caleg perempuan dalam 3 nama calon harus disertai dengan penambahan ketentuan partai harus menempatkan caleg perempuan pada nomor urut 1 di 30% jumlah dapil,” ujar Yolanda.
Aktivis perempuan, Yuda Irlang berpendapat penempatan perempuan caleg pada nomor urut 1 di 30% jumlah dapil sebetulnya jadi titik sepemahaman antara perempuan dan parpol. Pengalaman selama ini, parpol memang membutuhkan perempuan-perempuan potensial untuk ditempatkan dalam nomor urut dengan tujuan peningkatan jumlah kursi.
“Pengalamannya sangat susah untuk meyakinkan perempuan-perempuan potensial ini masuk nomor urut atas sehingga penting ditetapkan dalam undang-undang,” ujar Yuda.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini memprediksi, jika undang-undang pemilu yang sekarang dipertahankan, maka kelemahan-kelemahan Pemilu 2019 potensial terulang kembali. Politik biaya tinggi akan kembali mewarnai kontestasi pemilu sehingga perempuan akan menghadapi tantangan besar untuk bisa terpilih.
“Perempuan pun akan kesulitan berkampanye karena pemilih juga sulit untuk memilih secara cerdas dalam pemilu yang amat kompleks,” kata Titi. []
USEP HASAN SADIKIN