December 9, 2024

Risiko Makin Tinggi, Disiplin Protokol Kesehatan Tak Bisa Ditawar

Dua hari menjelang pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah 2020, kerawanan pilkada cenderung meningkat akibat pandemi Covid-19 yang belum melandai. Semua daerah penyelenggara pilkada, yaitu 270 daerah, masuk kategori rawan tinggi atau sedang.

Kondisi ini membuat ketegasan dalam pelaksanaan protokol kesehatan saat pemungutan suara pada 9 Desember mendatang tak bisa ditawar.

Terjadi kenaikan jumlah daerah yang masuk kategori rawan tinggi dalam aspek pandemi.

Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2020 hasil pemutakhiran yang diluncurkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Minggu (6/12/2020), menunjukkan terjadi kenaikan jumlah daerah yang masuk kategori rawan tinggi dalam aspek pandemi. Pada IKP Juni 2020, 27 kabupaten/kota berkategori rawan tinggi, yang kemudian naik menjadi 50 kota/kabupaten pada IKP September. Sementara pada IKP November menjadi 62 kabupaten/kota berkategori rawan tinggi. Sebanyak 199 kabupaten/kota lainnya masuk kategori rawan sedang.

Sementara pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur, semua daerah penyelenggara, yaitu sembilan daerah, masuk kategori rawan tinggi.

”IKP jadi peringatan untuk melakukan hal-hal yang perlu disiapkan sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dapat dimitigasi,” kata anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar.

Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, menambahkan, peningkatan kerawanan terjadi karena minimnya kepedulian para pihak terhadap pelaksanaan protokol kesehatan dan kepatuhan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, potensi pelanggaran protokol kesehatan terjadi di luar area tempat pemungutan suara (TPS) dan itu menjadi ruang yang tidak bisa diatur penyelenggara pemilu.

”Misalnya, setelah mencoblos dan pulang ke rumah, mereka berkerumun, itu di luar ranah KPU untuk bisa mengatur. Ini membutuhkan peran serta semua pihak, mulai dari dukungan pemerintah daerah, TNI, Polri, hingga tokoh masyarakat,” kata Arief.

Paling berat

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, menilai, Pilkada 2020 adalah pilkada yang terberat bagi pemilih, peserta, dan terutama penyelenggara pemilu. Selain disertai kontroversi soal kelanjutannya, juga dilingkupi kekhawatiran soal kesehatan dan keselamatan masyarakat dari paparan Covid-19. Apalagi, menjelang pemungutan suara, masih banyak hambatan yang dihadapi penyelenggara, seperti ketersediaan logistik dan personel Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang belum sepenuhnya lengkap akibat hasil tes cepat Covid-19 yang reaktif.

”Ini konsekuensi dari keputusan politik pemerintah, DPR, dan penyelenggara pilkada untuk tetap melanjutkan pilkada di tengah situasi pandemi yang belum terkendali,” ujarnya.

Kemarin, ada penambahan 6.089 kasus baru Covid-19. Bahkan, pada 3 Desember, ada penambahan 8.639 kasus baru. Daerah penyelenggara pilkada dengan status zona merah atau risiko tinggi pun meningkat dari 14 daerah di 15 November jadi 24 daerah pada 29 November.

Ironisnya, di tengah ancaman Covid-19 yang belum reda, umumnya warga kurang ketat menjalankan protokol kesehatan. Tren warga yang mengenakan masker saat keluar rumah dan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir justru menurun.

”Proporsi warga yang selalu memakai masker, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, serta menjaga jarak fisik paling tinggi dalam survei 30 September-3 Oktober. Setelah itu menurun,” kata Direktur Riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Deni Irvani saat merilis hasil survei ”Kesiapan Warga Mengikuti Pilkada di Masa Covid-19”.

Melalui survei lewat telepon secara rutin setiap minggu sejak April 2020 dan terakhir dilakukan pada 18-21 November 2020 ini diketahui, 91 persen warga yang tinggal di daerah pilkada tahu bahwa daerahnya akan melaksanakan pilkada pada 9 Desember. Dari yang tahu, sekitar 92 persen mengaku akan ikut memilih.

Tugas terberat menjelang pemungutan suara pilkada kali ini ada pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Secara terpisah, Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana menilai, tugas terberat menjelang pemungutan suara pilkada kali ini ada pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Mereka harus bisa menegakkan protokol kesehatan di luar TPS.

Inisiator LaporCovid-19, Irma Hidayana, mengingatkan, sudah lebih dari setengah juta penduduk Indonesia terpapar Covid-19 dan sekitar 17.000 orang meninggal dengan status positif Covid-19.

Selain itu, berdasarkan data Pusara Digital LaporCovid-19, lebih dari 390 tenaga kesehatan meninggal selama pandemi. Di tengah kelelahan tenaga kesehatan, kapasitas layanan unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19 juga dilaporkan penuh di banyak daerah.

LaporCovid-19 juga mencatat setidaknya ada 76 kandidat peserta pilkada pernah dan sedang terinfeksi Covid-19. Mereka adalah 44 calon bupati, 19 calon wakil bupati, 10 calon wali kota, 2 calon wakil wali kota, dan 1 calon gubernur.

Jika pemerintah mengabaikan situasi ini, artinya melakukan tindakan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan publik.

Terkait hal itu, LaporCovid-19 khawatir, jika pilkada tetap berlangsung, akan muncul kluster baru penularan serta potensi kolapsnya rumah sakit dan tenaga kesehatan. ”Jika pemerintah mengabaikan situasi ini, artinya melakukan tindakan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan publik,” kata Irma.

Sementara itu, anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, ”Kami sudah melaksanakan tahapan pilkada yang disesuaikan dengan protokol kesehatan.” (IQBAL BASYARI/DIAN DEWI PURNAMASARI/AHMAD ARIF)

Dikliping dari artikel yang  terbit di harian Kompas edisi 7 Desember 2020 di halaman 1 dengan judul ” Risiko Makin Tinggi, Disiplin Protokol Tak Bisa Ditawar”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/12/07/risiko-makin-tinggi-disiplin-protokol-kesehatan-tak-bisa-ditawar/