October 3, 2024

Saatnya Mengatasi Calon Tunggal

Setelah tahun 2018, pilkada serentak  digelar lagi  tahun 2020, dan kemudian  pilkada serentak nasional 2024. Saatnya desain pilkada serentak disiapkan jauh-jauh hari guna tercipta sirkulasi elite yang lebih efektif.

Pilkada serentak gelombang ketiga, yang akan berlangsung 27 Juni 2018, saat ini masih memasuki tahapan verifikasi pemenuhan syarat pencalonan dan syarat bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Setelah itu, sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, daerah-daerah yang menggelar pilkada serentak pada 2015 akan menggelar pilkada serentak pada September 2020.

Tiga gelombang pilkada serentak memunculkan dinamika yang kompleks serta menimbulkan beberapa ”anomali” yang jika terus dibiarkan muncul bakal merusak marwah kontestasi demokrasi di aras lokal itu.

Tahun 2015, pilkada serentak berlangsung di 269 daerah. Pada pilkada serentak ini muncul bakal calon tunggal di daerah yang memiliki calon petahana yang dianggap kuat. Saat penutupan pendaftaran pasangan calon, KPU mencatat ada tujuh daerah yang hanya punya satu pasangan calon pendaftar, yakni tiga daerah di Jawa Timur, yakni Kota Surabaya, Kabupaten Pacitan dan Blitar, serta Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Kota Mataram (NTB).

Sesuai pengaturan di UU No 8/2015, KPU membuka kembali pendaftaran di daerah tersebut. Namun, akhirnya ada tiga daerah yang punya satu pasangan calon, yakni Timor Tengah Utara, Blitar, dan Tasikmalaya. KPU menyatakan pilkada di daerah itu ditunda untuk diikutsertakan dengan gelombang kedua pilkada serentak pada 2017. Akan tetapi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, pilkada di daerah yang hanya punya satu pasangan calon tetap bisa dilakukan setelah ada upaya optimal untuk memenuhi syarat minimal dua pasang calon. Di tiga daerah tersebut, KPU menggelar pemilihan di gelombang pertama pilkada serentak. Pasangan calon tunggal bertarung dengan kotak kosong.

Fenomena pasangan calon tunggal ini kembali muncul tahun 2017, bahkan lebih banyak jumlahnya. Dari 101 daerah yang menggelar Pilkada 2017, ada sembilan daerah yang menggelar pilkada dengan satu pasangan calon. Daerah itu meliputi Kota Tebing Tinggi (Sumut), Tulang Bawang Barat (Lampung), Pati (Jateng), Landak (Kalbar), Buton (Sultra), Maluku Tengah (Maluku), Kota Jayapura (Papua), serta Tambrau dan Kota Sorong (Papua Barat).

Kemunculan calon tunggal di daerah itu sebagian besar disebabkan adanya petahana yang ”memborong” kursi DPRD setempat sehingga tidak membuka peluang bagi munculnya pasangan calon alternatif. Berdasarkan data KPU, masing-masing pasangan calon tunggal di sembilan daerah itu mendapat dukungan bervariasi, 7-10 partai politik.

Sebenarnya, pengaturan dalam UU No 10/2016 menyebutkan, saat pembukaan kembali pendaftaran calon di daerah dengan pasangan calon tunggal, partai politik bisa mencabut dukungan dari calon tunggal itu sepanjang kursi DPRD yang ”tersisa” tidak lagi cukup untuk mengusung calon tambahan. Secara ideal, diharapkan parpol berinisiatif ”memecah” diri dari koalisi ”borongan” untuk membentuk koalisi baru sehingga muncul dua pasangan calon. Namun, dalam pilkada serentak 2017 dan 2018, hal ini bisa dihitung dengan jari.

Alhasil, pilkada dengan calon tunggal tetap menjamur. Putusan MK mengenai pilkada dengan calon tunggal yang semula dijadikan sebagai solusi pada akhirnya justru dimanfaatkan petahana untuk mengamankan kursi. Kondisi ini kemudian menimbulkan masalah bagi demokrasi lokal. Pasalnya, esensi dari demokrasi ialah kontestasi guna mencari calon yang terbaik untuk menjalankan amanah pemilih.

Pilkada dengan calon tunggal pada 2018 juga bertambah dibandingkan dengan pilkada serentak 2015 dan 2017. Hingga tahap pendaftaran pasangan calon, sudah ada 12 daerah yang hanya punya satu pasangan calon. Daerah tersebut ialah Padang Lawas Utara (Sumut), Kota Prabumulih (Sumsel), Pasuruan (Jatim), Lebak, Kota dan Kabupaten Tangerang (Banten), Tapin (Kalsel), Minahasa Tenggara (Sulut), Enrekang (Sulsel), Mamasa (Sulbar), Puncak dan Jayawijaya (Papua).

Jumlah pasangan calon tunggal ini bisa bertambah setelah penetapan pasangan calon oleh KPU pada 12 Februari. Pasalnya, dari 35 daerah yang hanya punya dua pasangan calon, ada sejumlah daerah yang punya petahana yang memborong kursi parpol, sedangkan pasangan calon alternatif yang ”menantang” berasal dari jalur perseorangan. Jika berkas dukungan pasangan calon perseorangan ini setelah diverifikasi oleh KPU di daerah dinyatakan kurang atau tidak memenuhi syarat, pilkada dengan calon tunggal akan bertambah.

Kondisi ini, salah satunya, muncul akibat beratnya proses pencalonan pilkada dengan calon tunggal. Syarat bagi kandidat perseorangan begitu berat karena harus mengumpulkan dukungan dari 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap pemilihan terdahulu. Syarat dukungan dari jalur parpol juga terlalu tinggi, yakni 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah. Selain karena beratnya syarat pencalonan, ada pula yang menilai kondisi ini muncul karena ketiadaan ambang batas atas dukungan parpol untuk satu pasangan calon kepala daerah.

Revisi UU Pilkada

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, jika persentase syarat pencalonan, baik calon dari jalur perseorangan maupun parpol diturunkan ke posisi semula seperti diatur dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, potensi calon tunggal bisa diminimalisasi. Dengan begitu, tidak diperlukan ambang batas atas pencalonan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 mengatur, dukungan bagi pencalonan dengan jalur perseorangan berkisar 3-6,5 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, pencalonan dari jalur parpol mensyaratkan dukungan 15 persen kursi DPRD atau 15 persen suara sah.

Saat ini, pencalonan dari jalur parpol mensyaratkan dukungan minimal 20 persen jumlah kursi di DPRD atau 25 persen suara sah parpol di pemilu legislatif daerah terkait.

Menurut Pramono, KPU akan mengumpulkan daftar inventarisasi masalah yang muncul dalam pilkada serentak 2015, 2017, dan 2018 untuk dijadikan masukan bagi penyusun undang-undang jika ada rencana merevisi UU No 20/2016 tentang Pilkada. Penurunan syarat pencalonan bisa menjadi salah satu hal yang diusulkan, selain waktu penyelenggaraan pilkada serentak nasional agar tidak berbarengan dengan pemilu.

Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengatakan, sudah saatnya revisi UU Pilkada dipersiapkan untuk menghadapi pilkada serentak nasional. Namun, dia juga menilai hal itu tidak cukup. Sunanto mendorong UU tentang Parpol juga direvisi untuk memperkuat pelaksanaan pilkada serentak, termasuk untuk mencegah terus munculnya calon tunggal dalam pilkada. ”Misalnya, soal mekanisme sentralistis kebijakan pencalonan kepala daerah, administrasi kepartaian, atau juga pengaderan. Diharapkan orang yang dicalonkan memang kader partai,” kata Sunanto.

Dengan persiapan regulasi yang lebih matang, harapannya anomali dalam pilkada serentak setidaknya bisa diminimalisasi, atau bahkan jika mungkin dihilangkan. (Antony Lee)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2018 di halaman 5 dengan judul “Saatnya Mengatasi Calon Tunggal”.

Selengkapnya: https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2018/01/30/saatnya-mengatasi-calon-tunggal/