October 15, 2024

Sejarah Pemantau Pemilu Indonesia

Pemantau pemilu di Indonesia merupakan fenomena baru di akhir abad 20. Jika secara global, pemantau pemilu pertama dilakukan oleh Komisi Negara-Negara Eropa terhadap Pemilihan Umum di wilayah sengketa Wallachia dan Moldova pada 1857, pemantau pemilu di Indonesia baru ada pada Pemilu 1997 di masa Soeharto. Masa itu, bukanlah masa yang mudah dan aman bagi pemantau.

Pemilu 1997, semangat yang menular di bawah rezim otoriter

Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP) adalah lembaga pemantau pemilu pertama di Indonesia. Didirikan pada 1995 oleh para aktivis, jurnalis, akademisi, dan intelektual, sebagai respon atas pemerintah Orde Baru yang kerap memanipulasi pemilihan.

Pembentukan KIPP terinspirasi oleh pembentukan The National Citizens’ Movement for Free Elections (NAMFREL) pada 1983 oleh sejumlah aktivis cum pengusaha di Filipina. NAMFREL hadir untuk merespon pemerintahan otoriter Ferdinand Marcos dan berkontribusi menumbangkan rezim tersebut.

Alkisah, Februari 1995, Rustam Ibrahim, Ketua Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menghadiri Konferensi Pemantauan Pemilu se-Asia yang diselenggarakan oleh NAMFREL dan The National Democratic Institute (NDI) di Manila. Sekembalinya dari Manila, ia menggagas dibentuknya KIPP. Disepakati, Gunawan Muhammad, editor majalah Tempo terpilih sebagai ketua KIPP.

Memantau pemilu untuk pertama kalinya di tengah ketiadaan aturan yang memperbolehkan adanya pemantau pemilu bukanlah hal mudah. KIPP sampai mesti menyelenggarakan rapat besar dan pelatihan anggota di Bangkok. Beruntung, KIPP mendapatkan dukungan, baik finansial maupun konsultasi pembuatan modul pemantauan pemilu dari NDI.

Pemantauan Pemilu 1997, sebagaimana diakui oleh salah satu aktivis KIPP masa itu, Ray Rangkuti,bertujuan untuk menjegal Golongan Karya (Golkar) berkuasa lagi. Oleh karena itu, KIPP pemantau pemilu KIPP diarahkan untuk fokus mencatat pelanggaran yang dilakukan oleh Golkar, Anggatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan aparatur birokrasi. Dari pemantauan itu, KIPP mencatat setidaknya ada lebih dari 10.000 pelanggaran pemilu untuk memenangkan kembali Golkar.

Sejarah itu membuat pemantauan pemilu KIPP pertama kali tak bisa disebut sesuai dengan prinsip pemantau pemilu, yakni non partisan.  Jika non partisan, mestinya pencatatan pelanggaran pemilu juga dilakukan terhadap peserta pemilu lainnya.

Pemilu 1999, semangat mengawal transisi demokrasi

Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama di masa Reformasi yang menentukan proses transisi demokrasi Indonesia. Semangat membentuk tatanan yang baru dan bersih dari oligarki pasca runtuhnya Orde Baru memicu partisipasi masyarakat sipil untuk turut serta melakukan pemantauan pemilu. Semua merasa berkepentingan dan ingin terlibat.

13.260 orang secara sukarela mendaftar sebagai pemantau KIPP. Muncul pula organisasi pemantau pemilu lainnya, seperti University Network for Free Election (UNFREL) dan Forum Rektor.

Yang pertama, UNFREL, adalah jaringan pemantau pemilu yang diiniiasi oleh jaringan dosen dan mahasiswa seluruh Indonesia. UNFREL terbentuk pada 5 Oktober 1998, dengan Todung Mulya Lubis terpilih sebagai koordinator pertamanya. Lewat jaringan ini, 100 ribu relawan di 22 dari 27 provinsi memantau tahapan-tahapan Pemilu 1999.

Sementara itu, Forum Rektor adalah jaringan pemantau pemilu yang dibentuk oleh rektor Universitas Trisakti dan Institut Teknologi Bandung pada 7 November 1998. Ide Forum Rektor tercetus setelah diadakannya konferensi rektor yang diikuti oleh 174 rektor di seluruh Indonesia. Forum ini tak hanya memantau di pemungutan suara, namun juga mengampu program pendidikan pemilih dan tabulasi hasil pemilu dengan cara paralel.

Selain pemantau pemilu dalam negeri, pemantau pemilu juga datang dari negara lain. Tidak kurang dari 15 perwakilan negara Eropa, seperti Jerman, Inggris, Perancis, Italia, dan Belanda ikut memantau Pemilu 1999. Mereka tergabung dalam lembaga Observation Unit European Union.

Ada juga lembaga pemantau pemilu internasional  yang ikut memantau, diantaranya NDI, The Carter Certer, Asia Network For Free Election (ANFREL), National Citizen Movement For Free Elections (NAMFREL), dan International Republican Institute (IRI).

Dalam catatan Tempo edisi 28 Juni 1999 diketahui bahwa politik uang, dan intimidasi kepada pemilih dan penyelenggara pemilu banyak ditemukan pemantau pemilu di Pemilu 1999.

Pemilu 2004, pemantauan pemilu bertema

Di Pemilu 2004, para pemantau pemilu banyak yang memilih fokus pemantauan masing-masing. Ada lembaga pemantau yang memantau pendaftaran pemilih, pencalonan perempuan, tahap kampanye, dana kampanye, pemilu akses,  distribusi logistik, dan juga media. Media menjadi salah satu fokus pemantauan di 2004 karena ada kekhawatiran ketidakseimbangan pemberitaan terhadap peserta pemilu oleh media.

Lembaga yang memantau pemilu juga bertambah. Tercatat, KPU memberikan akreditasi kepada 25 lembaga pemantau, diantaranya Center for Electoral Reform (CETRO), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca), LP3ES, dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).

CETRO penting untuk dielaborasi. Lembaga ini didirikan oleh para mantan pemimpin dan aktivis UNFREL yang ingin tetap aktif melakukan reformasi pemilu. Sebagaimana diketahui, UNFREL membubarkan diri usai Pemilu 1999. CETRO aktif dalam melakukan kajian dan advokasi, ia berkontribusi pada pemilihan presiden secara langsung, konstitusi baru, dan pemilu akses.

JPPR juga tak kalah penting. JPPR didirikan pada 1998 oleh aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Di tahun itu, PMII, melalui JPPR, melakukan pendidikan pemilih, namun tidak melakukan pemantauan. Pemantauan baru dilakukan pada Pemilu 2004, sehubungan dengan perubahan orientasi pendanaan donor kepada pemantauan pemilu.

144 ribu orang terdaftar sebagai pemantau pemilu yang dioganisir oleh JPPR. Jumlah ini jauh lebih banyak dari jumlah pemantau pemilu KIPP yang turun drastis dari Pemilu 1999, yakni hanya 145 orang. Pemantau JPPR fokus pada pemantauan politik uang, kampanye, dan pemantauan pasca hari pemungutan suara.

Lembaga pemantau pemilu lainnya yang penting untuk diuraikan adalah PPUA Penca. PPUA Penca merupakan koalisi berbagai organisasi disabilitas tingkat nasional, seperti Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), dan Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI). Tujuannya, yakni mengadvokasi hak-hak politik disabilitas dalam pemilu.

PPUA menuntut kesamaan hak untuk dipilih dan memilih bagi disabilitas, TPS akses, dan mendorong agar disabilitas netra didampingi oleh orang yang ditentukannya sendiri dalam memberikan suara. Pada Pemilu sebelumnya, panitia pemilihan yang memilihkan untuk disabilitas.

Secara umum, dari segi jumlah, pemantau pemilu di Pemilu 2004 berkurang dari Pemilu 1999. Berkurangnya jumlah pemantau pemilu diduga disebabkan oleh rasa kecewa masyarakat terhadap hasil Pemilu 1999. Pemerintahan hasil Pemillu 1999 dipandang tidak membuahkan perubahan signifikan terhadap proses transisi demokrasi Indonesia.

Dalam buku Oligarki (2020) yang ditulis oleh Coen Husain Pontoh, Abdul Mughis Mudhaffir dan kawan-kawan misalnya, para penulis menilai Reformasi 1999 malah menghidupkan kembali oligarki lama, sehingga yang ikut berkompetisi pada Pemilu 2004 adalah oligarki lama, oligarki baru, dan oligarki baru yang punya hubungan dengan oligarki lama.

Pemilu 2009, pemantauan pemilu semakin terlembaga

Lebih sedikit dari Pemilu 2004, hanya ada 18 lembaga pemantau yang terakreditasi oleh KPU pada Pemilu 2009. 18 lembaga pemantau pemilu itu yakni, KIPP, CETRO, JPPR, Formappi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Parliamentary Centre (IPC), PPUA Penca, Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Demos, ICW, Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), Indonesia Budget Center (IBC), Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Transparency International Indonesia (TII), dan LP3ES.

Pada Pemilu 2009, pemantauan juga dilakukan terhadap penanganan pelanggaran dan sengketa pemiu. Salah satu lembaga yang fokus pada pemantauan tersebut yakni Peludem, lembaga yang didirikan pada Januari 2005 oleh para mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu 2004. Beberapa tokoh terlibat dalam proses pendirian Perludem, yaitu Bambang Wijayanto, Iskandar Sondhaji, Budi Wijarjo, Andi Nurpati, Didik Supriyanto, Topo Santoso, Nur Hidayat Sardini, dan Siti Noordjannah Djohantini.

Lembaga seperti ICW dan TII juga meluaskan pemantauan terhadap korupsi pemilu. Setidaknya ada tiga hal dalam subfokus pemantauan korupsi pemilu, yaitu pelanggaran pidana politik uang, pelanggaran dana kampanye, dan pelanggaran penggunaan fasilitas publik.

Pemilu 2014, pemantauan berbasis teknologi informasi

Pada Pemilu 2014, ada 19 lembaga pemantau pemilu terakreditasi oleh KPU. Beberapa lembaga pemantau masih sama dengan di 2009, namun ada pemantau baru, yakni Garda Santri Nusantara, Migrant Care, Kemitraan, Aliansi Jurnalis Independen, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Pada Pemilu ini juga, teknologi pemantauan mulai berkembang. Jika sebelumnya pemantauan  hanya menggunakan check list, di 2014, teknologi pemantauan telah digunakan. Penggunaan teknologi informasi dalam pemantauan seiring dengan mulai akrabnya masyarakat dengan teknologi informasi. Dan pula, dipercaya teknologi informasi dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pemilu.

AJI bersama iLab dan Perludem misalnya, mengembangkan aplikasi MataMassa. MataMassa menerima input laporan dari masyarakat pengguna, kemudian mengolah laporan itu dan menampilkannya dalam sebuah laporan baru.

Masyarakat sipil yang digawangi oleh Ainun Nadjib juga membuat inisiasi Kawal Pemilu yang mentabulasi hasil penghitungan suara di TPS yang dipublikasi KPU melalui websitenya. Hasil tabulasi penghitungan suara menjadi pembanding hasil rekapitulasi berjenjang KPU.

Pemantauan pemilu di 2014 juga bertambah fokus. Mulai muncul lembaga yang memantau media sosial dan perangkat teknologi. PoliticaWave salah satunya. Mereka memantau percakapan media sosial tentang politik secara realtime.

Pemilu 2019, hoaks pemilu mentahkan kerja pemantau pemilu

Inisiasi teknologi pemantauan semakin berkembang di Pemilu 2019. Kawal Pemilu dihidupkan kembali oleh Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), pemantau pemilu yang didirikan oleh mantan anggota KPU periode 2012-2017, yaitu Hadar Nafis Gumay, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, dan Sigit Pamungkas.

Keberadaan Kawal Pemilu 2019 semestinya dapat mendamaikan suasana keruh pasca ditetapkannya hasil rekapitulasi suara oleh KPU. Sebab, hasil rekapitulasi suara keduanya tidak jauh berbeda, dan pemenang pemilu tetap sama. Namun, masifnya hoaks pemilu, tingkatnya literasi digital pemilih, dan semakin menurunnya jumlah pemantau pemilu, meletuskan demonstrasi di depan gedung Bawaslu selama beberapa hari, memprotes hasil pemilu.

Hoaks memang menjadi salah satu fokus pemantauan Pemilu 2019 yang banyak menjadi sorotan. Wahid Institute, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) melakukan pemantauan terhadap hoaks pemilu yang beredar di media sosial. Secara jumlah, lembaga pemantau pemilu yang terdaftar dan terakreditasi Bawaslu di 2019 yakni sebanyak 51. Lebih banyak dari Pemilu 2014.

Tantangan pemantauan pemilu

Meski ada lebih banyak lembaga pemantau pemilu yang terlibat, namun lembaga itu tak dapat mengorgnaisir banyak pemantau. Kawal Pemilu Jaga Suara 2019 misalnya, kekurangan pemantau pemilu sehingga mesti mengambil kekurangan foto C1-Salinan dari website KPU RI.

Ada beberapa tantangan pemantauan pemilu. Pertama, kurangnya bantuan dana pemantauan. Kedua, syarat pendaftaran dan akreditasi pemantau pemilu yang semakin banyak. Ketiga, tak adanya perlindungan bagi pemantau pemilu yang melaporkan kasus pelanggaran pemilu seperti politik uang.

Pemantau pemilu merupakan aktor pemilu. Salah satu ruang yang bisa diambil oleh masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam demokrasi elektoral. Sepanjang sejarah perjalanan pemantau pemilu Indonesia, menunjukkan bahwa pemantau pemilu berkontribusi pada keterbukaan penyelenggara pemilu terhadap data dan informasi proses pemilu, serta pemilu yang semakin inklusif bagi perempuan, disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya.