Langkah cepat guna merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dinilai perlu segera dilakukan. Tanpa revisi, legitimasi Pilkada dipertaruhkan. Perlu komitmen yang kuat antara pemerintah dan DPR untuk menyelesaikannya sebelum penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, pada Rabu (6/11/2019), mengatakan, pemerintah mendukung revisi UU Pilkada apabila proses revisi tidak mengganggu tahapan pilkada.
Perbaikan nomenklatur lembaga pengawas pilkada di daerah adalah isu yang paling mendesak untuk direvisi di UU No 10/2016 tentang Pilkada.
Pasal 1 Angka (17) UU Pilkada menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten/kota diawasi oleh Panitia Pengawas (Panwas). Panwas adalah sebuah badan ad hoc yang dibentuk oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) provinsi. Padahal, Bawaslu sebagai sebuah badan tetap memiliki struktur hingga tingkat kabupaten/kota.
Menurut Akmal, perbedaan nomenklatur ini dapat mengurangi legitimasi penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020. Peserta dapat mengklaim bahwa mereka seharusnya diawasi oleh sebuah ‘panwas’ bukan Bawaslu setempat.
“Itu paling urgent, karena kita khawatir, seandainya itu tidak dibenahi, bisa jadi setelah proses pilkada selesai, legalitasnya akan dipertanyakan oleh pihak yang kalah,” kata Akmal saat dihubungi dari Jakarta.
Agar pembahasannya cepat, norma yang diajukan untuk direvisi harus dipilih yang tidak mengundang perdebatan panjang dalam proses revisi bersama di parlemen.
“Jadi ajukanlah norma-norma yang sekiranya gampang disepakati oleh semua pihak. Karena yang menimbulkan polemik itu pasti akan berbuntut panjang. Kami khawatir akan mengganggu tahapan penyelenggaraan Pilkada,” kata Akmal.
Dengan demikian, Akmal meminta, pihak yang memiliki kepentingan dalam revisi UU Pilkada perlu segera mengajukan draf revisi. Misalnya Bawaslu, kata Akmal, dapat segera menyerahkan draf melalui pemerintah ataupun langsung ke DPR.
Pertimbangan itu pula yang harus dipikirkan KPU mengenai larangan pencalonan bagi calon kepala daerah yang bekas napi tindak pidana korupsi. Akmal menilai, tidaklah tepat bagi KPU untuk memaksakan larangan itu masuk ke dalam PKPU. Sebaiknya, PKPU harus sesuai dengan regulasi induknya, UU Pilkada.
“Lagipula di Pasal 7 UU Pilkada sudah jelas bahwa ketentuannya bagi mantan napi cukup mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat. Lagipula larangan itu sudah berapa kali di-challenge dan kalah juga,” kata Akmal.
Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada 2020; mulai awal Desember 2019 mendatang, tahapan penyerahan syarat dukungan paslon perseorangan kepala daerah sudah dimulai.
Masih ada waktu
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustofa pun berpendapat, sebetulnya masih ada waktu untuk merevisi UU Pilkada sehingga dapat berlaku untuk jalannya proses tahapan Pilkada Serentak 2020.
Menurut dia, agar proses pembahasan revisi UU Pilkada dapat berlangsung cepat, perlu ada kesepakatan antara setiap stakeholder—DPR, pemerintah, dan KPU—mengenai pasal mana saja yang perlu direvisi. “Kalau misalnya kita punya komitmen yang sama, revisi UU Pilkada masih bisa terkejar,” ujar Saan.
Saan mengatakan, pada dasarnya fraksi Nasdem mengambil sikap mendukung terhadap usulan KPU melarang bekas narapidana tindak pidana korupsi maju sebagai calon kepala daerah.
Namun, menurut dia, KPU juga harus mempertimbangkan fakta bahwa apabila norma itu hanya dimasukkan dalam Peraturan KPU, hanya akan mengulang kejadian yang sudah sering terjadi, yakni dibatalkan akibat bertentangan dengan UU Pilkada.
Untuk itu, apabila larangan tersebut benar-benar ingin diterapkan, norma itu harus dimasukkan ke dalam UU Pilkada melalui jalan revisi. “Karena PKPU bagaimanapun harus sejalan dengan UU Pilkada. Jadi, KPU masukkan saja ke dalam revisi UU Pilkada agar clear semua,” kata Saan.
Pelibatan masyarakat
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, seharusnya sudah tidak ada halangan untuk dimulainya proses revisi UU Pilkada, apabila Kemendagri maupun DPR sudah memiliki pandangan yang sama bahwa masih ada waktu yang cukup.
“Terlebih lagi, kemarin ada beberapa pengesahan undang-undang yang di tengah kontroversi malah bisa disahkan dalam waktu yang sangat pendek. Kalau itikad baik dan komitmen kuat, pemerintah dan DPR bisa menuntaskan dalam waktu yang singkat,” kata Titi.
Meski demikian, bagi Titi, juga perlu diingat bahwa revisi UU Pilkada juga harus tetap melibatkan partisipasti masyarakat. Masyarakat tidak boleh ditinggal dan harus diberi akses untuk dapat memberikan masukan atas substansi yang akan direvisi.
“Karena bagaimanapun pembuatan undang-undang mutlak melibatkan partisipasi dan konsultasi dengan publik,” kata Titi. (SATRIO PANGARSO WISANGGENI)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2019/11/06/sepanjang-ada-komitmen-kuat-revisi-uu-pilkada-tetap-bisa-dituntaskan/