Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota memberikan sejumlah tantangan logistik. Pilkada akan dilaksanakan pada 27 November 2024, atau saat musim hujan. Jumlah pemilih potensial Pilkada pun mencapai 207,11 juta jiwa, meningkat sebanyak 3 juta jiwa dari Pemilu Serentak 2024.
“Ini soal kebutuhan yang menumpuk di satu waktu yang sama, dengan jumlah pemilih yang bertambah sekitar 3 juta,” kata Pengajar Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, pada diskusi daring “Mengelola Ancaman Logistik Pilkada 2024” yang disiarkan oleh TVRI pada Rabu (31/7).
Berbeda dari pemilu, pengadaan logistik pilkada ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Hal ini turut menjadi tantangan apabila KPUD memutuskan pengadaan logistik dilakukan di tempat yang jauh dari wilayah pilkada. Logistik pemungutan suara idealnya telah sampai satu hari sebelum hari pemungutan suara.
“Jadi, koordinasi harus dilakukan. Terutama, lokasi percetakan surat suara jangan sampai teralu jauh dari TPS. Yang paling penting surat suara dan Formulir Hasil. Yang lain-lain bisa dicetak oleh KPUD,” tandas anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Herwyn Malonda, pada diskusi yang sama.
Persiapan logistik terkait erat dengan ketersediaan anggaran. Pemerintah daerah diharapkan segera menuntaskan pencairan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), agar KPUD dapat menyiapkan logistik tepat waktu. KPU RI dinilai perlu ikut mendorong pemerintah daerah, sebab KPU RI merupakan penanggungjawab akhir pilkada.
“Meskipun semua daerah semua menandatangani NPHD, tetapi di Aceh masih ada dualisme pengawas. Kalau di Aceh, panwaslih (panitia pengawas pemilihan) pilkada ada sendiri, berbeda dengan panwaslih pemilu. Ada juga beberapa daerah yang belum tuntas anggarannya. Nah, harus dipastikan anggaran dicairkan tepat waktu,” ujar Titi. []