November 5, 2024

Siklus Abadi Politik Uang

Tidak dapat dipungkiri, praktik politik uang menjadi masalah klasik pemilu Indonesia. Semakin suram manakala, patologi demokrasi ini terjadi secara dua arah. Politik uang terjadi bukan hanya berasal dari kandidat kepada pemilih, tetapi pemilih sudah menjajakan suaranya untuk dijual kepada kandidat.

Modus politik uang makin beragam. Ada yang memberikan uang secara langsung. Ada yang dengan bakti sosial. Ada yang membiayai infrastruktur. Ada juga yang memberikan bantuan kepada organisasi/komunitas tertentu.

Berdasarkan data Bawaslu, pada Pemilu 2019 telah terjadi 25 kali operasi tangkap tangan yang disebabkan oleh pelanggaran berwujud politik uang yang tersebar di 13 provinsi. Angka politik uang ini bertambah buruk pada tahun pemilu berikutnya. Pada Pilkada Serentak 2020, diketahui telah terjadi 262 kasus yang mengindikasikan terjadinya politik uang. Pada saat ini sendiri terdapat 177 daerah dengan lingkup kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki predikat rentan politik uang berdasarkan indeks kerawanan Pemilu yang dikeluarkan oleh Bawaslu.

Hal tersebut menjadi gambaran miris. Demokratisasi Indonesia sedang membangun perwujudan demokrasi substansial. Ternyata, keadaan politik uang menggambarkan keadaan demokrasi Indonesia amat bermasalah.

Berbicara mengenai regulasi, sebetulnya peraturan yang menjadi landasan hukum untuk mencegah serta melarang patologi tersebut sudah ada. Ketentuan politik uang berulang kali disempurnakan guna mempersempit peluang terjadinya pelanggaran.

Ketentuan tersebut diatur pada beberapa pasal yang saling terkait. Pada UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Pilkada, Bawaslu wajib memiliki cara mencegah terjadinya patologi klasik tersebut dengan melakukan aksi patroli antipolitik uang, sebagaimana yang telah mereka lakukan pada Pemilu tahun 2019.

Lantas mengapa praktik politik uang tetap terjadi? Penulis memiliki beberapa argumen mengenai hal tersebut.

Pertama, keterbatasan ekonomi berperan memaksa pola pikir masyarakat untuk mendapatkan materi secara instan. Sebagian besar lingkup terjadinya politik uang menyasar pada lapisan sosial masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah, himpitan hidup dengan tuntutan “asal asap dapur tetap mengepul” menuntun mereka untuk bersikap pragmatis mengenai keuangan. Apapun yang dapat menghasilkan uang apalagi yang bisa didapatkan secara instan maka tidak ada alasan untuk menolaknya meskipun terdapat resiko.

Kondisi tidak berdaya tersebut dapat dimanfaatkan oleh para kandidat yang mengikuti kontestasi politik untuk mendulang suara. Bagi kandidat, mengeluarkan ongkos politik senilai puluhan ribu per orang untuk “membeli” suara sasarannya mungkin termasuk perihal sepele. Tetapi bagi masyarakat sebagaimana yang telah didefinisikan di atas, hal tersebut adalah suatu kesempatan instan untuk menyambung hidup. Kondisi tersebut menjadi peluang pertama sekaligus akar permasalahan mengapa praktik politik uang masih terjadi

Kedua, implikasi dari keterbatasan ekonomi tersebut nyatanya secara tidak disadari menjadikan masyarakat teralienasi dari berbagai aspek kehidupan lainnya. Fokus mereka adalah soal ekonomi atau tentang “perut”, sehingga secara laten mereka menggeser prioritas aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, dan lainnya menjadi nomor sekian atau bahkan kemungkinan tidak dilirik sama sekali.

Proses alienasi tersebut sejatinya menyebabkan kebutaan pengetahuan atau informasi pada masyarakat. Dalam konteks pembahasan kali ini kebutaan terhadap politik yang dialami masyarakat nyatanya berimplikasi pada ketidakmampuan atau bahkan sikap menampik untuk mencerna ide/gagasan serta program yang ditawarkan oleh para kandidat kontestasi politik yang ingin membeli suara mereka.

Keterbatasan untuk memahami hal tersebut akan membuat masyarakat bersikap tidak kritis. Pemilih tidak mau ambil pusing untuk berpikir apa dampak yang akan menimpa mereka akibat pilihan politik dari hasil pembelian suara tersebut. Bisa jadi hal itu menjadi bumerang yang membawa mereka  kepada jurang permasalahan yang lebih besar secara struktural dan sistemik. Sekali lagi, hasrat untuk memenuhi kebutuhan terhadap materi lebih besar ketimbang untuk berpikir kritis. Keterbatasan ekonomi mempengaruhi akses masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi mengenai politik yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya politik uang.

Dua sebab politik uang tersebut membuat politik uang menjadi siklus abadi.  Terus berputar tidak berujung. Buruknya situasi ekonomi dan politik masyarakat menjadi faktor yang mendukung bagi para kandidat kontestasi politik untuk terus melestarikan praktik politik uang.

Pada akhirnya kondisi itu mengubah variasi upaya para kandidat untuk mendulang suara. Kecenderungannya akan sama dengan yang terjadi pada masyarakat. Para kandidat pun akan memilih langkah yang lebih instan untuk memenangi kontestasi politik.

Secara logika, politik uang lebih efisien dan efektif. Menciptakan ide/gagasan serta program yang baik dan komprehensif, butuh waktu lama. Memberikan solusi untuk permasalahan masyarakat dengan pengujian dan diterima banyak orang, amat sulit.

Lebih mudah dengan memberikan uang kepada calon pemilih. Yang penting bisa terpilih. Terus begini, di pemilu ini dan pemilu yang akan datang. []

GHANIYYU ABIYYU KHAIRULLAH RIDWANANTA

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya