Pelaksanaan kontestasi politik di Indonesia sebagai miniatur demokrasi dalam berbangsa dan bernegara dinilai belum ramah anak. Kondisi tersebut tercermin dari semrawutnya regulasi dan sistem kepemiluan yang ada.
Cerminan masih belum beresnya regulasi kepemiluan dengan hak anak terlihat dari terjadinya gap usia yang berbeda antara aturan Pemilu dengan Undang Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindunga Anak.
Meskipun, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Partai Politik (Parpol) serta UU Perlindungan Anak, dirasa sudah cukup mengatur dan tidak terlalu mengintervensi ranah privasi.
Bagi Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan Sadikin, UU Perlindungan Anak juga tidak berlebihan mengatur. Misalnya UU Perlindungan Anak melarang pelibatan anak-anak dalam aktivitas politik, dan aturannya sudah cukup bagus.
“Negara tidak terlalu mengintervensi warga di persoalan privat dalam kewenangannya, dalam membesarkan anak atau beraktivitas bersama anak gitu ya, tapi cukup mengatur penyalahgunaan kegiatan politik gitu. Nah itu udah pas nih,” kata Usep kepada Kantor Berita RMOLJabar, Sabtu (8/7).
Namun Usep menyayangkan, pembahasan Pemilu hanya persoalan berkutat pada ketentuan dalam penyalahgunaan kegiatan politik atau persoalan kampanye. Padahal yang sebenarnya terjadi ada hal-hal mendasar.
Jika semuanya mau merujuk kepada ketentuan konvensi anak PBB 1989, disebutkan definisi anak adalah manusia berusia dalam kandungan hingga 18 tahun semua sudah clear.
“Nah kalau kita kaitkan pengertian anak ini dengan pengertian pemilih di dalam pemilu yang mana pemilih adalah warga negara berusia 17 atau yang sudah pernah kawin gitu ya. ada irisan usia tuh di situ di usia 17 sampai 18 tahun yang sebagaimana di isu Pemilu kita mengenalnya pemilih pemula,” jelasnya.
Ia pun mempertanyakan nasib warga negara pemilih pemula yang masuk dalam pengertian anak dijamin haknya, apakah masuk dalam daftar pemilih kemudian mendapatkan informasi yang layak mengenai teknis kepemiluan dan tata cara memilih.
Kemudian, tambah ia, sudahkah mereka mendapatkan informasi seputar partai politik, para calon, baik caon presiden (capres), calon legislatif (caleg) atau bahkan calon kepala daerah (calkada) gubernur, wali kota atau bupati.
“Ya bagaimana juga mereka dilindungi oleh hukum serta punya akses dalam pelaporan pelanggaran hukum di dalam pemilu misalnya. Kita tahu warga negara usia pemula ini rentan dapat politik uang, intimidasi atau mobilisasi suara, jadi pembahasannya juga harus diperluas” tegasnya.
SYAMSUL ARIFIN
Artikel ini telah dipublikasi oleh rmoljabar.id pada 8 Juli 2023, dengan dukungan Program RESPECT yang diampu oleh Perludem.