Sebanyak 43 daerah di Indonesia diperkirakan bakal diisi calon tunggal pada Pilkada 2024. Artinya, daerah-daerah tersebut akan melawan kotak kosong saat pemungutan suara yang dijadwalkan berlangsung pada 27 November 2024. Dari 43 daerah tersebut, terdiri atas 1 provinsi, 5 kota, dan 37 kabupaten yang berpotensi mengalami situasi unik di mana pemilih memiliki opsi untuk tidak memilih pasangan calon yang tersedia.
Jika dalam kontestasi ini kotak kosong memperoleh suara terbanyak, maka daerah yang bersangkutan tidak akan memiliki kepala daerah definitif hasil pemilu, melainkan akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Penunjukan ini dilakukan sampai dengan pilkada berikutnya diadakan kembali, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagaimana Jika Kotak Kosong Menang?
Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik, menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pasangan calon tunggal dinyatakan terpilih apabila memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah. Namun, jika jumlah suara yang diperoleh calon tunggal tidak mencapai angka tersebut, maka kotak kosong dinyatakan menang, dan pemilihan kepala daerah di wilayah tersebut harus diulang pada pilkada berikutnya.
“Kalau sekiranya pasangan calon tunggal tidak memenuhi syarat ketentuan untuk dinyatakan terpilih, yaitu memperoleh suara sah lebih dari 50 persen, dan ternyata tidak melampaui batas ketentuan tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54D UU 10/2016, maka akan diadakan pemilihan ulang pada pemilihan selanjutnya,” ujar Idham dalam konferensi pers di kantor KPU, Jakarta Pusat (30/8).
Dalam situasi ini, KPU akan menetapkan hasil pemilihan, dan kepala daerah sementara akan ditunjuk sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh pemerintah pusat. Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2018, pilkada ulang akan dilaksanakan pada periode pilkada berikutnya, yakni lima tahun setelah Pilkada 2024.
Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Apabila kotak kosong menang dalam Pilkada 2024, maka daerah yang bersangkutan akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah yang ditunjuk oleh pemerintah pusat hingga pelaksanaan pilkada berikutnya. Idham menjelaskan bahwa penjabat gubernur akan dipilih oleh presiden atas usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan DPRD provinsi. Sementara itu, penjabat bupati/wali kota akan ditunjuk oleh Kemendagri berdasarkan usulan dari DPRD daerah masing-masing.
Mekanisme ini menegaskan bahwa dalam kondisi tertentu, pemerintahan daerah tetap berjalan meskipun kepala daerah definitif tidak terpilih dalam pemilihan. Namun, banyak pihak yang menyoroti bahwa kondisi ini dapat mengurangi prinsip demokrasi dan keterwakilan dalam pemerintahan daerah karena kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Tantangan Pilkada dengan Calon Tunggal
Fenomena calon tunggal dalam Pilkada 2024 bukanlah hal baru. Pada pemilihan sebelumnya, calon tunggal juga muncul di beberapa daerah, yang menunjukkan semakin besarnya dominasi politik oleh kelompok tertentu yang membuat kontestasi politik menjadi kurang kompetitif. Salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah ambang batas pencalonan yang tinggi, yang membuat partai politik kecil kesulitan mengusung calon sendiri. Selain itu, koalisi besar di tingkat lokal sering kali menghambat munculnya kandidat alternatif yang dapat menyaingi calon petahana atau calon yang memiliki kekuatan politik besar.
Dalam kondisi calon tunggal, pemilih hanya memiliki dua opsi, yaitu memilih calon yang tersedia atau memilih kotak kosong sebagai bentuk penolakan terhadap calon tersebut. Namun, jika kotak kosong menang, masyarakat tidak mendapatkan pemimpin hasil pemilu, melainkan harus menerima penjabat yang ditunjuk oleh pemerintah.
Menurut Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal kondisi ini dapat menjadi refleksi bagi sistem politik di Indonesia. Di satu sisi, aturan mengenai calon tunggal memang memungkinkan pemilihan tetap berlangsung meskipun hanya ada satu pasangan calon. Namun, di sisi lain, meningkatnya jumlah calon tunggal menunjukkan adanya persoalan dalam sistem rekrutmen politik, di mana partai politik cenderung kurang aktif dalam mendorong kader-kader potensial untuk maju dalam kontestasi pilkada.
“Apabila jumlah daerah dengan calon tunggal terus meningkat, maka pilkada di Indonesia berisiko kehilangan makna sebagai ajang demokrasi yang kompetitif,” jelas Haykal.
Selain itu, pilkada dengan kotak kosong sebagai lawan satu-satunya bisa mengarah pada rendahnya partisipasi pemilih, karena pemilih merasa tidak memiliki pilihan yang beragam. Hal ini juga dapat memperlemah akuntabilitas politik, karena calon yang tersedia tidak benar-benar diuji dalam proses pemilihan yang kompetitif.
Kemudian, jika terlalu banyak daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah dalam jangka waktu yang panjang, maka proses pembangunan daerah juga dapat terhambat. Penjabat kepala daerah umumnya memiliki keterbatasan dalam mengambil kebijakan strategis, terutama dalam hal anggaran dan program jangka panjang.
“Dengan demikian, kemenangan kotak kosong dalam pilkada bisa berdampak pada efektivitas pemerintahan daerah dalam melayani masyarakat.” Pungkasnya. []