Pegiat pemilu Kemitraan, Wahidah Suaib Wittoeng, mengemukakan hasil penelusuran data partai politik di Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Hasilnya, tak ada kesamaan standar pengisian data. Sebagai contoh, data kepengurusan partai politik. Partai politik mengisi jumlah kepengurusan tingkat provinsi yang berbeda, yakni sebanyak 18, 12, 8, dan 3 orang.
“Mungkin dia hanya isi data badan pengurus harian (BPH). Ada yang isi hanya 3 orang pengurus, ketua, sekretaris, dan bendahara,” kata Wahidah pada diskusi “Mekanisme Sipol dan Pendaftaran Parpol” di Menteng, Jakarta Pusat (24/10).
Menurut Wahidah, tak adanya standarisasi data akan menyebabkan ketidakadilan bagi partai politik. Pasalnya, terdapat satu syarat, yakni memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat, yang penghitungannya berbasis pada data yang diisi partai politik di Sipol.
“Saat data itu dijadikan patokan untuk menentukan 30 persen keterwakilan perempuan, itu jadi masalah. Saya sempat melihat ada partai yang sampai 65 persen keterwakilannya, tapi pas dicek, hanya 1 perempuan dari 2 laki-laki. Mungkin sekretaris atau bendaharanya yang perempuan,” terang Wahidah.
KPU diharapkan memperhatikan substansi syarat peserta pemilu yang diperintahkan Undang-Undang (UU) No.7/2017 terkait syarat 30 persen keterwakilan perempuan. Syarat tersebut dibuat untuk memudahkan partai dalam memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan di daftar calon anggota legislatif, serta meningkatkan keterlibatan perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi partai politik.
“Jangan sampai akhirnya kita patuh pada prosedur saja, tidak pada substansi UU. Partai kan mesti menjalankan fungsinya, seperti pendidikan politik untuk rakyat, komunikasi politik, rekrutmen, dan sebagainya. Kalau jumlah pengurus partai hanya ketua, bendahara, dan sekretaris, apakah bisa berjalan?” tegas Wahidah.