April 18, 2024
iden

Tahun 2020, Perkuat Demokrasi Lokal OLEH TOTO SUGIARTO

Harian Kompas, dalam tajuknya ”Alpa Menjaga Asa Pilkada” (Senin, 16/12/2019) mengingatkan, selalu ada upaya untuk membalikkan arah demokrasi lokal. Contoh kasusnya adalah keinginan membalikkan mekanisme pilkada langsung ke DPRD dan pencalonan kepala daerah yang masih elitis.

Fenomena tersebut merupakan tantangan dalam mewujudkan demokrasi yang terkonsolidasi, karena selalu ada keinginan dan usaha untuk melucuti kedaulatan rakyat dan menggantinya dengan kedaulatan elite. Pencalonan yang masih saja bersifat elitis, misalnya, menjauhkan kita dari munculnya pemimpin yang pro-rakyat.

Pandangan tersebut melengkapi fenomena negatif terkait demokrasi kita. Setidaknya terdapat empat hal negatif dalam demokrasi kita.

Pencalonan yang masih saja bersifat elitis, misalnya, menjauhkan kita dari munculnya pemimpin yang pro-rakyat.

Patron-klien

Pertama, politik klientilisme. Dalam praksis politik ini relasi bersifat patron dan klien. Relasi ini memunculkan dominasi dan hegemoni satu pihak terhadap yang lain. Dalam relasi ini, patron memberikan sesuatu (money politics) dan menuntut klien mengikuti apa yang diinginkannya, yaitu memilihnya dalam pemilihan.

Kedua, politik kita masih kental diwarnai praksis oligarki. Dalam pencalonan, baik pada pemilihan kepala daerah maupun pada pemilu legislatif, praksis oligarkis terlihat dari dominannya calon ”drop-dropan” dari pusat. Hal ini terjadi jika calon memiliki kedekatan dengan kekuasaan dan elite parpol di pusat serta memiliki modal finansial, sosial, dan budaya yang kuat.

Praksis elitis menjauhkan pemimpin dan wakil rakyat dari rakyatnya. Praksis oligarkis ini menunjukkan juga bahwa partai politik tidak pro-aktif mencari sosok potensial pemimpin. Tampak bahwa kepentingan elite lebih utama.

Ketiga, politik kita masih kental diwarnai korupsi.  Sejak berdiri Desember 2002, KPK telah menangkap sedikitnya 119 kepala daerah dari 25 provinsi berbeda. Angka 119 koruptor tersebut belum termasuk mereka yang dari kalangan menteri dan pejabat lain yang korupsi.

Keempat, politik kita masih kental diwarnai primordialisme. Hal ini terjadi karena di satu sisi karakter masyarakat kita religius, di sisi lain, pendidikan masyarakat relatif rendah. Karakter religius dan rendahnya pendidikan ini masih ditambah dengan rendahnya kesadaran dan penerimaan akan kondisi masyarakat yang multikultur. Akibatnya, primordialisme tumbuh semakin subur.

Bahayakan integrasi

Celakanya, primordialisme yang terjadi kerap diwarnai penghinaan SARA, hoaks, dan ujaran kebencian. Tiga hal ini membahayakan integrasi bangsa. Aktivitas yang marak di dunia maya itu berimbas ke dunia nyata.

Celakanya, primordialisme yang terjadi kerap diwarnai penghinaan SARA, hoaks, dan ujaran kebencian.

Fenomena negatif tersebut bisa membuat bandul demokrasi kembali menjauh dari kondisi ideal, yaitu demokrasi yang terkonsolidasi. Politik klientilisme, praktik oligarki, korupsi, dan primordialisme seperti ”kanker” yang siap menghancurkan republik.

Pertanyaannya, saat para elite dengan hasrat kekuasaan tinggi sibuk berebut jabatan dengan segala cara, masih adakah kemungkinan yang memberikan harapan?

Saat elite asyik-masyuk dengan kekuasaan Machiavelian, harapan itu datang dari rakyat. Partisipasi rakyat dalam politik membuat harapan terus berlangsungnya kehidupan bernegara ke arah yang lebih baik tetap terjaga.

Beruntung para bapak pendiri negara telah menggali budaya bangsa dan mengekstraksinya menjadi Pancasila. Dalam Pancasila terdapat sistem politik demokrasi. Dengan demokrasi ini, kedaulatan ada di tangan rakyat. Betapa pun berkuasanya, para penguasa hanya meminjam kedaulatan dari tangan rakyat. Dengan demikian, kekuasaannya bisa dicopot dari dirinya.

Dengan kedaulatan yang ada di tangan rakyat, rakyat bisa mengoreksi jika terjadi kesalahan atau penyimpangan oleh para elite. Seperti kata Bung Hatta, kekuasaan harus memperlakukan dirinya sebagai pelayan rakyat. Perilaku oligarkis, korup, dan menganggap dirinya sebagai ”raja” yang harus dihormati dan dilayani rakyat perlu dikoreksi.

Partisipasi rakyat dalam politik membuat harapan terus berlangsungnya kehidupan bernegara ke arah yang lebih baik tetap terjaga.

Kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi perwakilan seperti sekarang ini, lokusnya ada pada saat proses perekrutan kepemimpinan, yaitu pemilu dan pilkada. Di sinilah urgensi partisipasi rakyat. Dalam momen kedaulatan rakyat, rakyat bisa mengoreksi dengan cara mengganti para pemimpin oligarkis dan korup yang tidak pro-rakyat.

Inilah pentingnya Pilkada 2020. Dalam pilkada, rakyat bisa mengganti pemimpin korup dan tidak pro-rakyat. Terkait pemilihan kepala daerah, bangsa ini sudah jauh melangkah. Sejak 2015 telah dilakukan pengelompokan pilkada. Upaya ini dilanjutkan pada tahun 2017, 2018, dan 2020 mendatang.

Pada 2020 terdapat 270 pilkada. Upaya pengelompokan akan mencapai puncaknya dalam pilkada serentak nasional 2024. Partisipasi rakyat akan membuat pilkada menjadi momen perbaikan kepemimpinan republik, khususnya kepemimpinan lokal.

Catatan akhir

Pilkada langsung merupakan pilihan terbaik bagi demokrasi di negeri ini. Inilah pilihan paling cocok dengan konstitusi yang dalam konstitusi dinyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Pilkada 2020 sudah di depan mata, rakyat bisa mengganti pemimpin yang mengecewakan, melupakan tugasnya melayani rakyat, dan memunculkan pemimpin baru, pemimpin pro-rakyat.

Sebagai catatan akhir, meminjam pemikiran Bung Karno bahwa demokrasi kita adalah demokrasi yang memperjuangkan keberesan negeri dan keberesan rezeki, momen Pilkada 2020 merupakan momen untuk memperkuat demokrasi lokal, memperbaiki tata kelola republik.

Pilkada langsung merupakan pilihan terbaik bagi demokrasi di negeri ini.

Perbaikan tata kelola dengan memilih pemimpin baru yang amanah dan pro-rakyat guna mewujudkan tujuan mempercepat tercapainya keberesan rezeki berupa terwujudnya kesejahteraan rakyat.

TOTO SUGIARTO, Analis Politik pada Exposit Strategic; Pengajar Pancasila

Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas. https://kompas.id/baca/opini/2020/01/15/2020-perkuat-demokrasi-lokal-2/