Maret 19, 2024
iden

Tahun Politik 2019, Kala Demokrasi Menjadi Alat Semaunya Elit

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memberikan catatan awal tahun dalam bentuk evaluasi terhadap tahun politik 2019. Dalam satu rangkuman kalimat, Perludem menilai tahun 2019 sebagai tahun dimana demokrasi yang dipercayai oleh masyarakat gagal membuahkan pemerintahan yang baik akibat kebijakan-kebijakan dan kehendak elit yang lahir dari pragmatisme politik. Faktanya, tingkat partisipasi pemilih di tempat pemungutan suara (TPS) mencapai 81 persen. Tingkat partisipasi dipandang sebagai wujud kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Pandangan tersebut selaras dengan hasil survey Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2018 yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik kepada demokrasi kian meningkat(CNN Indonesia, 20 Juli 2018). Sayangnya, kepercayaan publik terhadap demokrasi mesti menemui patah hati sebab kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru tak demokratis.

“Aspirasi masyarakat tidak koheren dengan hasil kebijakan elit. Di satu sisi ada gairah dimana masyarakat menunjukkan dukungan kuat terhadap demokrasi, tapi di sisi lain, partai berkonsolidasi menghasilkan kebijakan-kebijakan yang kurang baik untuk iklim demokrasi. Bersatunya rival politik pasca perhelatan Pemilu menyebabkan fungsi check and balances jadi lemah, ruang pembuatan kebijakan juga semakin gelap. Kita belajar dari perumusan revisi Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) dan Undang-Undang KPK,” tandas Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, saat diskusi media “Catatan Awal Tahun” di Guntur, Jakarta Selatan (10/1).

Perludem mencatat empat hal yang tak menguntungkan demokrasi yang terjadi selama tahun politik 2019. Jika merunut peristiwa, empat hal tersebut terjadi sebagai dampak dari kebijakan yang dihasilkan oleh elit pada tahun-tahun-tahun sebelumnya.

Sengkarut daftar pemilih akibat pewajiban KTP el

Banyak pemberitaan dan laporan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tentang adanya surat suara kurang pada hari pemungutan suara 17 April 2019. Masalah logistik lainnya juga santer diberitakan oleh media, sebagai akibat dari penetapan daftar pemilih berjilid-jilid.

Menurut Perludem, terulangnya sengkarut daftar pemilih di Pemilu 2019 disebabkan oleh pewajiban kartu tanda penduduk (KTP) elektronik sebagai syarat untuk terdaftar di daftar pemilih ditengah kondisi daftar penduduk yang belum tuntas, perekaman KTP el yang belum selesai, dan tak adanya sinkronisasi antara data penduduk yang dikelola oleh Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dengan data warga negara Indonesia di luar negeri yang dikelola oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Ketenagakerjaan. Penetapan daftar pemilih yang berlarut juga merupakan dampak dari penyelesaian pemilih ganda yang tak cukup efektif.

“Memang daftar penduduk kita belum tuntas, KTP el belum selesai, dan sinkronisasi data Dukcapil dengan kementerian yang mengelola data kependudukan dalam negeri dan luar negeri belum sinkron,” tukas Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, pada diskusi yang sama.

Terhadap pewajiban KTP el, Perludem pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan KTP el sebagai syarat memilih. Adapun MK memutuskan untuk tetap menjadikan KTP el sebagai alat untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan benar merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih, serta untuk mencegah terjadinya pemberian suara lebih dari satu kali dan pemberian uara oleh orang tak berhak pilih. Faktanya, janji Dukcapil untuk menuntaskan masalah perekaman KTP el paling lambat Desember 2018 tak dapat dipenuhi meski telah melakukan berbagai strategi, salah satunya membuat posko perekaman di tempat-tempat umum. (Baca: https://rumahpemilu.org/kemendagri-akan-selesaikan-masalah-e-ktp-paling-lambat-desember-2018/).

Pemilu serentak lima kotak sebabkan beban berlipat

Perludem mengapresiasi penyelenggara pemilu yang telah berhasil menyelenggarakan pemilihan serentak lima kotak yang menggabungkan pemilihan legislatif dengan pemilihan eksekutif nasional pada satu hari yang sama. Namun, beban teknis yang ditimbulkan dari model pemilihan serentak lima kotak dinilai terlalu berat.  Penyebutan “Banyak petugas KPPS ((Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) meninggal” memperlihatkan tendensi Perludem bahwa beban teknis berlipat di Pemilu 2019 merupakan faktor yang menyebabkan banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal, selain faktor tekanan politik yang tinggi kepada penyelenggara pemilu akibat polarisasi politik yang tajam.

“Pemilu serentak lima kotak menimbulkan kompleksitas disana-sini. Managemen pemilu menjadi sangat kompleks, petugas KPPS harus bekerja sangat keras. Lalu kita juga dengar banyak petugas KPPS meninggal,” tandas Deputi Direktur Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati.

Ambang batas pencalonan presiden membelah masyarakat

Hal lain yang di-highlight Perludem yakni persoalan ambang batas pencalonan presiden. Sebagaimana dijelaskan oleh Khoirunnisa, pengaturan syarat ambang batas pencalona presiden tak sejalan dengan logika memperkuat sistem presidensil, karena ambang batas diambil dari perolehan suara partai politik pada Pemilu 2014. Tragisnya, aturan tak logis ini menyebabkan masyarakat Indonesia terbelah, sekalipun ajang pemilu telah usai dan calon presiden yang kalah bergabung ke dalamkabinet presiden terpilih.

“Ambang batas pencalonan presiden diadakan agar tidak ada terlalu banyak calon. Sebetulnya, ada masalah apa juga kalau calon presidennya banyak? Di Indonesia, terbanyak calon ada di Pemilu 2004, 5 calon. Aturan ini nyata membelah masyarakat,” ujarnya.

Seperti halnya pewajiban KTP el, Perludem juga melakukan uji materi terhadap norma ambang batas pencalonan presiden. Namun, permohonan tak dikabulkan sebab MK memandang norma ini sebagai kebijakan hukum terbuka yang sah-sah saja diatur oleh pembentuk undang-undang. (Baca: https://rumahpemilu.org/mk-tolak-empat-permohonan-mengenai-ambang-batas-pencalonan-presiden/).

Penyimpangan terhadap sistem pemilu legislatif

Perludem mengaku kaget dengan peristiwa penyimpangan sistem pemilu legislatif yang terjadi paska ditetapkannya anggota legislatif (aleg) terpilih oleh partai politik. Salah satunya kasus Mulan Jameela dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Penetapan dan pelantikan calon anggota legislatif (caleg) yang mendapatkan suara tidak lebih banyak dari caleg lainnya oleh penyelenggara pemilu merupakan praktik yang tak sesuai dengan sistem pemilu proportional representative (PR) daftar terbuka atau daftar calon. Partai politik juga dikecam karena melakukan pemecatan secara sebelah pihak.

“Ada fenomena dimana penentuan aleg dengan suara terbanyak dirusak oleh aktor pemilu yang melibatkan peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan pengadilan. Partai mengganti calon-calon tersebut dengan cara yang tdk layak. Contohnya, selain kasus Mulan Jameela, di Sumatera Selatan, seorang calon sudah ikut gladi resik pelantikan. Tapoi jam 10 malamnya, setelah gladi resik, dia diberi surat pemberhentian. Padahal, besoknya dia dilantik. Caleg ini bahkan mendapatkan suara lebih banyak dari suara untuk partainya,” urai Khoirunnisa.

Kasus pengakalan partai terhadap sistem pemilu legislatif juga terjadi di awal tahun 2020. Kasus ini bahkan melibatkan salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bernama Wahyu Setiawan. Wahyu ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap sebesar 400 juta rupiah dari Harun Masiku, caleg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Masiku, diduga didukung oleh partainya, ingin menggantikan kursi Nazarudin yang meninggal dunia.

“Begitu juga dengan kasus yang sekarang. Ada caleg yang meninggal. Harusnya caleg yang dapat kursi adalah caleg dengan suara terbanyak berikutnya. Tapi kemudian ditempuh jalan lain dengan sistem PAW (pejabat antar waktu),” lanjutnya.

Perludem juga menyinggung masalah lain dalam catatan awal tahunnya, diantaranya, seleksi penyelenggara pemilu di level daerah yang dilaksanakan ditengah tahapan pemilu, politik uang, dan penegakan hukum pemilu yang tak efektif pada Pemilu 2019. Dugaan mahar pencalonan presiden hingga saat ini tak terselesaikan, sengketa pencalonan Oesman Sapta Odang (OSO) yang berlarut-larut dengan hadirnya putusan-putusan pengadilan yang saling bertentangan, dan tak ada transparansi serta kejujuran peserta pemilu terhadap dana kampanye pemilu.

Atas permasalahan tersebut, Perludem memberikan lima rekomendasi. Satu, penataan ulang jadwal pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Tujuannya yakni agar tak ada pemilu borongan yang menyatukan pemilu eksekutif nasional-lokal dan pemilu legislatif nasional-lokal dalam satu hari yang sama. Pilihannya, Pilkada serentak diselenggarakan pada tahun 2022.

“Harus ditata ulang. Kalau tidak, ada daerah yang empat tahun dengan Plt. Apalagi di Aceh, sudah mengatakan kalau mereka yang punya undnag-undang khusus akan tetap mengadakan pilkada di 2022,” tutur Titi.

Dua, diaturnya di undang-undang norma mengenai rekrutmen penyelenggara pemilu, kelembagaan penyelenggara pemilu, serta prinsip dan etik penyelenggara pemilu. Norma ini dinilai dibutuhkan untuk mencegah lembaga penyelenggara pemilu terlibat dalam praktik-praktik ilegal nan koruptif.

Tiga, dihapuskannya ambang batas pencalonan presiden agar pemilu tak menjegal calon-calon potensial dan mencegah keterbelahan politik di masyarakat. Empat, pembenahan institusi partai politik, terutama membuat aturan di undang-undang politik tentang mekanisme demokrasi internal partai dan sistem rekrutmen caleg.

Dan lima, disusunnya omnibus law election yang mengatur pemilu dan pilkada dalam satu naskah yang terkodifikasi. Pilkada merupakan bagian dari pemilu, sebab penyelenggaraan pilkada dilaksanakan berdasarkan prinsip pemilu yang sama dengan pemilu, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

“Sudah saatnya kita berhenti membenturkan pilkada dengan pemilu. Faktanya, pilkada dilaksanakan dengan prinsip pemilu juga,” pungkas Titi.